Nisa, pemandu program ramah anak Kinderflix, tengah kebanjiran komentar tak senonoh di platform media sosial belakangan ini. Membawakan konten edukasi dengan pakaian tertutup, Nisa adalah bukti bahwa hingga detik ini, perempuan masih belum bebas dari belenggu objektifikasi terlepas sebesar apapun usaha perempuan untuk menutup aurat.
Retorika.id- Belakangan ini, media sosial sedang panas membahas komentar tak senonoh yang ditujukan pada Nisa, pemandu acara edukasi ramah anak Kinderflix. Kasus ini memantik amarah publik lantaran berbagai komentar itu ditujukan pada sosok yang sangat jelas sedang membawakan konten edukasi—konten yang bebas dari indikasi pornografi. Tidak hanya itu, Nisa juga berpakaian sesuai dengan aturan agama ketika memandu acara, pakaian tertutup.
Meski begitu, video cuplikan Kinderflix di media sosial terus dibanjiri komentar yang senada dengan “akhir2 ini tisu abis terus”, “pengen
crt sama kak nisa”, dan “idaman anak balita umur 21-24 tahun”. Bahkan, Nisa pun mengaku bahwa ia sempat terpuruk membaca tanggapan ofensif tersebut.
Fenomena ini lantas membangkitkan kembali pertanyaan lama yang sepertinya tidak akan terjawab selagi manusia berotak kotor masih ada di dunia ini; mau sampai kapan terus menerus objektifikasi perempuan?
Mau sampai kapan terus menerus menjadikan perempuan sebagai objek pemuas nafsu semata? Mau sampai kapan terus menerus memperlakukan perempuan seolah mereka tidak punya martabat dan harga diri? Mau sampai kapan perempuan dianggap layaknya bukan manusia?
Tidak ada argumen tandingan atau sanggahan yang pas untuk pertanyaan retoris di atas. Sampai perempuan berpakaian tertutup? Survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (2019) juga membuktikan bahwa mayoritas dari korban pelecehan seksual memakai baju longgar, celana panjang, dan seragam sekolah (seragam sekolah!) ketika pelecehan terjadi. Sampai perempuan bertindak sopan dan sepantasnya? Nisa hanya membawakan konten edukasi untuk anak-anak, nir-pornografi. Sarat ajaran agama, pula. Tetapi, tetap dilecehkan.
Lucunya, masih banyak pihak yang merasa bahwa “sekadar berkomentar” tidak termasuk kategori pelecehan seksual. Masih banyak pula yang merasa bahwa komentar yang mereka tulis adalah “hal biasa” sehingga setiap orang yang terusik perlu “santai” dan “tidak menganggap ini hal serius”. Seakan-akan menghina dan melabeli perempuan sebagai penuntas hasrat seksual belaka adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan.
Miris rasanya melihat kejadian seperti ini masih banyak dinormalisasi, bahkan setelah bertahun-tahun advokasi dan edukasi mengenai pelecehan seksual dilakukan. Jadi, mau sampai kapan?
Penulis: Vraza Cecilia
Editor: Marsanda Lintang
TAG: #aspirasi #gender #humaniora #sosial