
Dalam lanskap perpolitikan Indonesia, absennya ideologi yang jelas di kalangan partai dan bangkitnya populisme menjadi ancaman bagi demokrasi negara. Fokus partai yang terletak semata pada akumulasi kekayaan ketimbang kejelasan ideologi menempatkan esensi demokrasi di ambang batas beresiko.
Retorika-id. Apa yang menjadi ciri utama politik di Indonesia? Tidak jelasnya ideologi. Rasa-rasanya begitu banyak partai dengan nama yang indah-indah tapi isinya sama saja : perebutan kekuasaan by any means necessary. Tentunya politik semacam ini sama sekali melenceng dari ide demokrasi karena demokrasi bukan hanya soal kebebasan berserikat dan kebebasan berbicara tetapi dalam demokrasi ada yang baik dan yang buruk dan ini harus dipenuhi agar tercipta demokrasi yang sehat.
Ketidakjelasan ideologi ini berkaitan erat dengan populisme. Partai populis tentu tidak punya ideologi oleh karena itu menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaaan. Ketika visi misi partai itu klise dan itu-itu saja niscaya partai itu tidak jelas mewakili siapa. Maka, jalan satu-satunya untuk merenggut suara massa adalah dengan seruan “Rakyat!”. Jangan heran jika partai yang Anda dukung itu tiba-tiba memutar kemudi politiknya menjadi apa yang Anda tidak sukai. Itu semua adalah konsekuensi demokrasi tanpa ideologi.
Bergerak ke dalam ranah yang lebih konkret, di tahun 2019 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dari partai Gerindra menggunakan strategi populisme untuk kebutuhan beretorika (Alwi Dahlan Ritonga, 2020). Prabowo dan Sandi yang dibekingi oleh populis, kalah dalam pemilu, kaum populis kecewa dengan kekalahan tersebut. Akan tetapi tidak berselang lama Prabowo Subianto menjadi mentri dalam kabinet Joko Widodo.
Pertanyaan yang langsung mengemuka adalah di mana pendirian Prabowo Subianto? Apakah memang dalam politik hanya perihal kekuasaan? Di mana nilai asas sebagai oposisi yang diperjuangkan?
Rakyat mana yang ia perjuangkan? Tetapi itu semua jika dilihat dengan lebih cermat tidaklah mengherankan. Karena tidak adanya ideologi yang diperjuangkan, politik lepas tanpa kendali dan tidak jelas. Dikotomi kawan dan lawan yang menjadi ciri populisme luntur seketika ketika sang calon masuk ke kubu lawan. Yang merasa jadi rakyat yang dizalimi mendadak kebingungan. Elite zalim yang mereka lawan ternyata adalah pemimpin mereka sendiri.
Menengok ke belakang lebih jauh yaitu pada tahun 2014, Joko Widodo pun tidak lepas dari dukungan populis. Akan tetapi bukan dari golongan Kanan tetapi dari golongan Kiri (Faedullah, 2014). Kiri menempatkan harapan mereka ke tangan Joko Widodo akan tetapi mereka dikecewakan setelah mengetahui kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Joko Widodo bertentangan dengan asas politik mereka yang menitikberatkan pada keadilan sosial dan restriksi ekonomi dari pasar bebas yang rentan akan eksploitasi. Harapan mereka dihempaskan dan dihancurkan dengan kebijakan pro pasar bebas dan yang paling parah dengan disahkannya Omnibus Law yang menjadi pukulan telak dari pemerintahan Joko Widodo untuk politik Kiri (Redaksi IndoProgress, 2023). Kini, Kaum Kiri menjadi sadar akan kesalahan mereka dan balik menjadi oposisi kembali.
Ketika telah meneropong masa lalu, penting juga kiranya untuk mencermati masa kini dan meraba masa depan. Di tahun yang semakin dekat dengan pesta demokrasi ini sering kita melihat wajah-wajah para politisi di baliho. Masing-masing dengan slogan yang membuat geli mereka yang cermat dengan keadaan politik sekarang ini. Tidak lupa juga dengan berbagai simbol yang bisa menunjang perolehan suara mereka. Ada kesunyian dalam baliho itu. Kesunyian yang dihasilkan oleh nihilnya ideologi dan strategi populis. Kesunyian itu adalah kesunyian akan gagasan, ide-ide yang ditawarkan.
Ke mana gagasan itu? Hilang di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi. Massa tidak peduli, yang penting paslon dari golongan kami. Ketika sudah sadar mereka dibohongi, mereka mengutuk, “Demokrasi dicengkram oligarki!” Padahal secara tidak sadar massalah yang menaikkan oligarki. Di media massa pun tidak kurang parahnya. Di layar kaca kerap para simpatisan tidak memperlihatkan dan menyuarakan kebijakan macam apa yang diusung paslon, malah mengungkit kepribadian paslon.
Politik masa kini jika diibaratkan adalah sebuah biduk tanpa kompas di tengah samudra. Biduk itu terombang-ambing di tengah samudra kebebasan tetapi tidak tahu harus ke mana. Sang pemegang dayung hanya ingin mencari duit dari penumpangnya saja tidak peduli dengan tujuan si penumpang. Sementara penumpang duduk dan bercakap-cakap sembari menanti sampai di destinasi mereka. Akan tetapi, biduk itu hanya berputar-putar saja dan uang penumpang terkuras untuk membiayai sang pendayung.
Dengan iklim perpolitikan yang seperti ini tentu demokrasi ternodai. Ketika demokrasi ternodai, massa mudah dimanipulasi. Bagaikan serigala, partai memanfaatkan strategi populis mereka dan menerkam domba-domba massa yang haus akan perubahan. Sebelum disantap, mereka menyihir massa dengan kata-kata untuk menarik simpati. Ketika kenyang dan hendak menikmati kekuasaan mereka mengabaikan massa yang telah mengorbankan diri mereka.
Di masa depan tentunya masih ada harapan. Harapan untuk sebuah iklim politik yang sehat dan memenuhi asas-asas demokrasi. Diperlukan massa yang cerdas untuk itu. Pendidikan politik penting bagi massa agar tidak mudah disantap oleh pasangan calon dengan strategi populis mereka. Demokrasi dengan segala kelebihan dan kecacatannya bisa ditegakkan demi kesejahteraan seluruh warga negara. Karena sejatinya, dalam negara modern demokrasi adalah sistem politik terbaik yang tersedia. Oleh karena itu, demokrasi harus dibersihkan. Dari segala ancaman, entah itu populisme maupun kebebasan yang kebablasan.
Referensi:
Alwi Dahlan Ritonga, F. P. A., 2020. Mencermati Populisme Prabowo Sebagai Bentuk Gaya Diskursif Saat Kampanye Politik Pada Pemilihan Presiden 2019. POLITEIA : Jurnal Ilmu Politik, 12(Populisme), p. 6.
Faedullah, D., 2014. IndoProgress. [Online]
Available at: https://indoprogress.com/2014/07/jokowi-demokrasi-ekonomi-dan-koperasi/
[Accessed 24 September 2023].
Redaksi IndoProgress, 2023. Indoprogress. [Online]
Available at: https://indoprogress.com/2023/04/editorial-cukup-sudah-jokowi/
[Accessed 20 September 2023].
Penulis: Sifaul Khuluf
Editor: Jingga R
TAG: #aspirasi #demokrasi #gagasan #humaniora