» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Menggugat Hari Kebangkitan Nasional
23 Mei 2019 | Opini | Dibaca 3370 kali
Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hanya tentang Budi Utomo ataupun berkembangnya semangat-semangat nasionalisme. Ia tidak bisa hanya ditetapkan sebagai lahirnya satu organisasi tertentu. Kebangkitan Nasional seharusnya adalah suatu proses panjang, bukan hanya satu ledakan sejarah.

retorika.id - 20 Mei selalu diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Ia mulai ditetapkan oleh Soekarno sebagai Hari Nasional ketika pada tahun 1948. Penetapan tersebut memanglah sangat politis. Seperti yang ditulis oleh redaktur historia.id, Hilmar Farid berpendapat bahwa Budi Utomo dipilih sebagai pemersatu bangsa untuk menetapkan hari kebangkitan nasional. Budi Utomo dipilih karena dianggap paling moderat, nasionalis, menawarkan jalan tengah, dan yang paling penting Budi Utomo tidak cemerlang secara politik. Maka dari itu, Soekarno menggunakan hari kelahiran Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional. Tanpa banyaknya pertimbangan dan semangat nasionalisme pasca kemerdekaan yang meninggi, Presiden Soekarno memilih tanggal itu, karena keadaan kala itu sedang tidak stabil secara politik.

Tentu saja, penetapan Soekarno terkait hari Kebangkitan Nasional tidak serta-merta tanpa masalah. Penetapan tersebutlah yang akhirnya menciptakan permasalahan cara pandang yang mendalam hingga hari ini.  Kita selalu memperingati hari Kebangkitan Nasional hanya sebatas refleksi atas lahirnya organisisasi modern yaitu Budi Utomo. Selain itu, hari kebangkitan nasional selalu dimaknai sebagai munculnya gelombang nasionalisme yang besar.

Konskuensi dari penetapan tersebut adalah, kurangnya pemahaman kita terhadap hari kebangkitan nasional. Kita cenderung menekuk dan melihatnya sebagai fenomena yang parsial. Parsialis ini terjadi karena bentuk – bentuk kebencian masyarakat terhadap sejarah kolonialidme. Sebenarnya, hari Kebangkitan Nasional adalah suatu proses panjang dari banyak tokoh, mencoba untuk mengumpulkan dan menanam semangat kesadaran nasional pada warga hindia waktu itu. Hari itu tidak bisa dipahami hanya sebagai peringatan atas satu momen tertentu.

Konsekuensi selanjutnya adalah banyak tokoh-tokoh sebelum lahirnya Budi Utomo dipinggirkan perannya. Karena, telah banyak tokoh yang sudah mengumpulkan masyarakat dan mengkonsolidasi gerakan, guna membangkitkan kesadaran nasional di era Penjajahan. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo misalnya, perintis gerakan pers pribumi ini berhasil menggugah semangat kebangsaan lewat tulisan – tulisannya. Tidak hanya Tirto, namun juga ada Marco Adikromo yang menerbitkan Rasa Merdika, dan beberapa tokoh pergerakan lain yang terpinggirkan.

Untuk itu, kita bisa melakukan refleksi tersebut melalui Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Melalui buku tersebut, Pram mengajak kita untuk melihat keadaan


hindia sebelum lahirnya organisasi Budi Utomo. Tentu, sudah rahasia umum bila tokoh utama yang disajikan Pram sebagai Minke adalah tokoh Tirto tersebut, tokoh pergerakan pers nasional. Maka dari itu, untuk melihat pergerakan dan penghimpunan masa yang telah dilakukan Tirto (Minke sebagai tokoh utama), Pram menggambarkannya dengan apik kisah roman pergerakan di awal era politik etis kolonial belandaini.

 

Refleksi atas Tetralogi Pulau Buruh

Sosok Minke digambarkan oleh Pramoedya dalam bukunya Bumi Manusia adalah manusia Jawa yang hidup dengan gaya eropasentris. Pram mengandaikannya sebagai seorang pribumi yang sangat mencintai segala kehidupan Eropa. Dengan gaya hidup yang serba eropa, minke seolah – olah sudah menjadi orang eropa itu sendiri, meninggalkan budaya – budaya jawa yang harusnya dilakoninya. Tetapi, cara pandang Minke semakin tergerus ketika perjumpaanya dengan berbagai tokoh yang dihadirkan Pram, salah satunya Nyai Ontosoroh. Dalam novel Bumi Manusia, Minke masihlah seorang pribumi yang sangat mengagungkan kehidupan Eropa.

Tetapi, pada roman selanjutnya yang berjudul Anak Semua Bangsa, Pram menuliskqn bagaimana Minke menempa intelektualitas dan kepribadiannya sendiri, Pram menggambarkannya dengan Minke yang dihadapkan realitas pada bangsanya sendiri. Kita dapat melihatnya pada roman Anak Semua Bangsa. Roman ini bercerita tentang pengalaman langsung Minke ketika turun langsung melihat bangsanya. Ia semakin dibenturkan tentang keadaan bangsanya kala itu, dengan kehidupan eropa yang menjunjung kehidupannya.

Titik balik tersebut bermula ketika Minke bertemu seorang petani di Tulangan. Ia melihat bahwa masih terdapat penindasan dari sebuah pabrik gula kepada salah satu seorang petani di Tulangan. Dalam roman itu, tertulis bahwa terdapat seorang petani yang tinggal dengan keluarganya yang bersebelahan dengan pabrik gula. Petani tersebut hidup di bawah garis kesejahteraan karena ulah pabrik gula.

Minke melihat bahwa ternyata politik etis bukanlah suatu hal yang gratis. Ternyata, politik etis juga mengandung bentuk penindasan lainnya. Penindasan tersebut sama seperti yang dialami oleh petani di Tulangan tersebut. Lahan yang digarapnya ternyata disumbat pengairannya (irigasi) oleh pabrik gula. Pabrik gula menyumbatnya guna kepentingan pertanian pabrik sendiri. Akibat dari penyumbatan tersebut, petani itu tidak bisa memanfaatkan lahannya dengan semaksimal mungkin.

Tidak hanya masalah irigasi, Minke juga melihat bahwa janji politik etis terkait edukasi juga tidak memihak kepada pribumi. Ia berpendapat bahwa edukasi hanyalah milik segelintir pribumi tertentu. Pribumi tersebut bahkan setelah mendapatkan pendidikan hanya hidup untuk melayani guberment atau penjajah. Bagi Minke tentu saja hal tersebut sangat menciptakan ketimpang kepada pribumi bangsanya.

Lalu, janji politik etis terkait masalah emigrasi. Emigrasi yang kini dikenal dengan sebagai transmigrasi. Ia merupakan suatu proses perpindahan masyarakat desa ke kota, untuk mendapatkan kehidupan lebih layak. Namun bagi Minke ternyata emigrasi ini tidak seindah yang dibayangkan. Akibat dari kebijakan ini banyak lahan di desa ternyata mulai tak tergarap. Selain itu, masyarakat desa yang berada di kota hanyalah bekerja untuk mengabdi kepada pabrik gula pula.

Melalui kegelisahan tersebut Minke mulai terpukul atas tindakan orang-orang Eropa pada bangsanya. Ia ingin meluapkan kegelishan melalui tulisannya. Tetapi, Minke bukanlah orang yang terbiasa menulis dengan bahasa bangsanya. Mengingat bahwa, Minke adalah orang yang sangat mencintai dan mengagumi kebudayaan eropa, khususnya Belanda.

Maka dari itu, Nyai Ontosoroh menyuruh Minke untuk menuliskan keresahan tersebut dengan bahasa ibunya. Akhirnya, Minke harus belajar ulang untuk mempelajari menulis dengan bahasa ibunya. Namun proses penulisan keresahan Minke tidak berjalan mulus. Minke juga mengalami hambatan.

Tulisan Minke ditolak ketika dikirimkan kepada redaktur kepada surat kabarnya. Bagi redaktur surat kabar Minke tulisan tersebut akan membuat kerugian kepada surat kabar itu. Selain itu, tulisan tersebut belum layak terbit karena tidak memiliki data-data yang kuat. Minke harus melakukan pendalaman data lagi agar tulisan tersebut bisa terbit. Penolakan penerbitan tulisannya menyebabkan Minke akhirnya mulai geram.

Akibat dari kekecawawaan itu, Minke kelak akan membuat surat kabar miliknya sendiri. Proses panjang pembuatan surat kabar itu diceritakan pada roman Jejak Langkah. Minke ingin melakukan pengorganisiran dan penyadaran kepada masyrakat bangsanya. Bentuk penyadaran tersebut adalah membuat surat kabar dengan bahasa ibunya sendiri. Dari situlah, Minke atau Tirto Adhi Soerjo dikenal sebagai bapak jurnalisme Indonesia.

Jejak Langkah merupakan roman yang menceritkan masa dimana minke mulai memobilisasi segala kekuatan untuk melawan Belanda. Tetapi, Minke melakukan perlawanan tersebut melalui surat kabar. Surat kabar itu diberi nama Medan Prijaji dan telah menjadi surat kabar dengan bahasa pribumi pertama di Hindia Belanda (Indonesia).

Minke menggunakan Medan Prijaji sebagai alat penyampaian keresahannya. Ia selalu mendengungkan tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Tiga hal tersebut adalah pesan-pesan yang selalu dimuat dalam surat kabarnya. Minke memilih jalan jurnalistik dan menciptakan bacaan sebanyak-banyaknya bagi pribumi.

Tiga hal tersebut diceritakan oleh Pram sangat jelas dan detil dalam Jejak Langkah. Bagaimana Minke terinsipirasi dari gerakan masyarakat Samin yang melakukan pemogokan kepada pabrik gula. Ketika itu, pabrik gula tersebut dipimpin oleh Captain Boycott. Maka dari itu, Minke menyebut pemogokan kepada Belanda sebagai boikot.

Lalu, Minke bertemu dengan Sarekat Islam juga menginspirasi soal berogranisasi. Ia menghimbau kepada seluruh pribumi untuk saling berorganisasi untuk menyatukan kekuatan. Bagi Minke dengan berorganisasi Pribumi tidak akan mudah untuk dipecah oleh pihak Belanda. Untuk itu, Minke menyerukannya untuk membuat sarekat.

 

Wacana tandingan dari Tetralogi Pulau Buruh

Hari Kebangkitan Nasional bukanlah hanya tentang Budi Utomo ataupun berkembangnya semangat-semangat nasionalisme. Ia tidak bisa hanya ditetapkan sebagai lahirnya satu organisasi tertentu. Kebangkitan Nasional seharusnya adalah suatu proses panjang, bukan hanya satu ledakan sejarah.

Memang wacana terkait nasionalisme sangatlah meledak ketika pada zaman Budi Utomo dan Sumpah Pemuda. Moment tersebut memang seakan menjadi gerbang awal dari wacana terkait nasionalisme. Puncak wacana tersebut semakin meledak ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Tentunya, Nasionalisme tidak hanya lahir ketika momen tersebut. Bila kita membaca dengan cermat pada Tetralogi Pulau Buruh sebenarnya telah ada perdebatan soal Nasionalisme. Kita dapat melihatnya pada Roman Jejak Langkah.

Ada satu bagian dimana Minke dan Kommers berdebat seru terkait nasionalisme. Akhirnya, perdebatan tersebut membuat Minke harus bertanya-tanya terkait nasionalisme. Meski Minke harus mencarinya di kamus, menurutnya belum ada definisi yang tepat untuk nasionalisme.

Nasionalisme ataupun kebangkitan nasional sebenarnya tidak berawal dari momen Budi Utomo atau Sumpah Pemuda saja. Ia sudah hadir jauh sebelum momen tersebut. Melalui Roman milik Pramoedya, kita dapat melihat keadaan zaman yang hadir sebelum dua moment tersebut meledak.  Ternyata, wacana terkait kebangkitan nasional sudah ada jauh sebelum kedua momen tersebut, baik wacana pers kebangsaan maupun Budi Utomo yang ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

 

Penulis: Anugrah Yulianto


TAG#tokoh-nasional  #  #  #