» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Kharisma Dortheis Hiyo Eluay, Habis Terbentur Asa Integrasi Paksa
08 Maret 2019 | Mild Report | Dibaca 2749 kali
“Kan kami sudah lunas membayar kemerdekaan, dengan sekian banyak yang terbunuh,” ujar Theys saat diwawancara oleh wartawan Australia dari ABC news.

retorika.id - Dortheis Hiyo Eluay atau Theys didapuk sebagai Ketua Presidium Dewan Papua, yang mengadakan Kongres Nasional II. Tidak sembarangan ia dipilih sebagai ketua presidium, semua orang tahu bahwa ia dikenal sebagai aktivis pro-kemerdekaan Papua yang mencuat lagi pasca-lengsernya orde baru. Tepatnya 1 Desember 1999, ia memberanikan diri untuk mencetuskan Dekrit Papua, serta mengibarkan lagi bendera bintang pagi di Langit Papua.

Karena ulahnya ini, beberapa media nasional menyatakan bahwa Jakarta kelabakan dengan sikap Theys ini. Bahkan Presiden Abdurrahman Wahid-pun memeringatkan Theys dan kroninya untuk segera mengakhiri aksinya, atau Presiden akan mengambil langkah yang lebih serius tanpa perlu adanya kompromi. Namun, Theys tetap tak gentar menghadapi intimidasi dari pihak-pihak manapun, ia masih saja terlihat mengobarkan semangat merdeka dimana-mana.

Meski terlihat "sangar" karena sebagai seorang resistance leader, Theys dikenal sebagai seorang yang cinta damai. Ia sangat menghindari kontak bersenjata yang dapat menimbulkan korban jiwa. Hal ini juga sangat ditentang oleh beberapa kawannya sendiri, termasuk Sekjen OPM, Thaha Alhamid.

Kecintaannya terhadap perdamaian ini juga tidak terlepas dari personal Theys yang taat beragama, seperti yang diutarakannya pada saat wawancara dengan ABC di tahun 2000, “Tuhan pasti mengerti keadaan kami, Rakyat Papua.”

Sebab itu Theys juga dikenal sebagai orang dengan standar ganda oleh beberapa kawannya, hal ini terjadi karena sikap Theys yang terlalu berhati-hati dalam melakukan gerakan politik. Ketika berhadapan dengan Pemerintah Indonesia dan juga rakyat Papua, ia dikenal bagai dua sosok yang berbeda. Dengan Pemerintah Indonesia ia dikenal santun dan rendah hati, namun ketika bersua dengan rakyat papua, ia dengan semangat dan kepercayaan diri mengobarkan kemerdekaannya.

 

Terkenal Pintar dan ahli Meteorologi Hindia Belanda di Nieuw Guinea

Theys kecil dikenal sebagai anak yang cerdas nan aktif, Theys bersekolah di Jongensvervolgschool, sekolah milik missionaris Belanda yang berada di Yoka, Holandia, nama Jayapura ketika masih dalam kuasa Pemerintah Hindia Belanda. Ia dikenal cakap dan pintar dalam pengembangan diri, utamanya pelajaran matematika dan keilmuan alam. Ia tumbuh sebagai sosok pintar dan disegani.

Menurut Ipenburg, dalam esainya The life and death of Theys Eluay, Theys muda diangkat sebagai ondoafi atau kepala suku karena kecakapannya dan pendidikannya yang tinggi. Karena kecakapannya itu juga, ia diangkat sebagai pegawai pribumi Meteorologi Hindia Belanda di Holandia. Meski dikenal dekat dengan beberapa orang belanda, ternyata Theys menginginkan agar Papua merdeka dari Belanda.

 

Pepera 1969, Andil Theys dalam Integrasi Papua ke Indonesia

Karena keinginannya yang kuat tentang kemerdekaan dari bangsa Belanda, Theys menggandeng beberapa petinggi TNI yang


masuk dalam Operasi Mandala Komando Mayor Jenderal Soeharto. Theys dikenal sebagai aktivis Papua pro-integrasi, apalagi ia dikenal juga sebagai kader Partai Kristen yang berhasil menghimbau massa secara politik. Ia berhasil menghimbau rakyat Papua, utamanya dari sukunya sendiri, untuk memilih bergabung dengan Republik Indonesia.

Pada tahun 1969, ketika UN Act for Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat, dilangsungkan atas mandat Perjanjian New York oleh Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Dalam acara itu, Theys dikenal sebagai sosok yang kuat dalam memengaruhi massa untuk memilih bergabung dengan NKRI.

Pasca integrasi Irian Barat pada NKRI, Theys duduk di parlemen DPR Daerah Tingkat I dari Fraksi Karya Pembangunan. Karir legislasi Theys terkenal moncer dan nyaris tanpa hambatan, selama bertahun-tahun ia tetap melenggang duduk di kursi DPRD. Namun di tahun 1996, tiba-tiba Theys tidak masuk lagi dalam bursa legislasi Golongan Karya dalam Pemilu 1997. Tak ada alasan khusus mengenai ketidak ikutsertaannya dalam bursa legislasi itu, tapi beberapa pihak menilai karena sikap Theys yang sudah tidak sepaham dengan pemerintah Jakarta.

 

Insiden Biak, Mendirikan Presidium Dewan Papua

Ketika Jakarta kelabakan dengan Krisis Moneter 1998 serta krisis kepercayaan moral terhadap kekuasaan, Papua tiba-tiba bergejolak dengan beberapa permintaan yang mengejutkan, termasuk permintaan referendum ulang. Bukan tanpa alasan mereka meminta referendum ulang, selain karena kurangnya pembangunan di tanah Papua, hal ini juga dikarenakan referendum 1969 sarat akan manipulasi.

Selain itu, menurut John Rumbiak, aktivis HAM Papua dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Papua Barat (Demi Persatuan Nasional dan Pembangunan), Indonesia telah menyatakan perang terhadap papua sejak 1963. Ia menuliskan, bahwa operasi-operasi militer besar Indonesia dilakukan sejak 1963 sampai tahun 2004, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Wibawa, Operasi Sapu Bersih I dan II, dan operasi-operasi militer lainnya, sudah teringat betul dalam pikiran masyarakat Papua. Hal ini tentu menimbulkan stigma negatif masyarakat, yang disebut oleh John sebagai, “Jiwa yang Patah.”

Insiden lain yang menewaskan 200 orang di Biak pada 7 Juli 1998 juga menggegerkan seluruh masyarakat Papua, apalagi hal ini didasari dengan adanya temuan bahwa insiden itu didasari oleh Tentara Nasional Indonesia. Sikap anti Indonesia tiba-tiba meluas di kalangan rakyat Papua, termasuk Theys dan beberapa orang yang menjadi tokoh dalam perjuangan kemerdekaan Papua.

Karena kecakapannya, Theys didapuk sebagai anggota tim 100 bersama dengan Tom Beanal, Benny Egay, dan lainnya, berencana menemui Presiden Habibie di Jakarta. Tidak lain untuk membahas isu-isu di Papua, utamanya permintaan referendum dibawah pengawasan PBB. Tak ada pilihan lain bagi Presiden, ia harus menerima mereka. Hal ini karena kuatnya tekanan internasional terhadap Habibie, untuk segera melakukan referendum pada tiga tempat di Indonesia. Yakni, Aceh, Timor Leste, dan Papua. Ketiga tempat itu dinilai tidak memiliki kekuatan politik untuk tetap bertahan dengan NKRI.

 

Referendum Timor Leste, Desakan untuk Melakukan Referendum

Pertemuan dengan Presiden Habibie dilaksanakan akan membentuk organisasi baru bernama FORERI (Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya). Presiden Habibie menerima keluh kesah mereka dengan baik dan hati-hati. Menurut Suryawan, dalam Dari memoria Fasionis ke Foreri, di bawah pimpinan Tom Beanal ingin memisahkan diri dari NKRI dengan pengawasan PBB. Presiden Habibie sekedar menerima semuanya, dan mengizinkan diadakannya Musyawarah Besar dan Kongres Papua 2000.

Hal ini tidak terlepas masyarakat Timor Leste yang berhasil melakukan referendum pasca integrasi mereka dengan Indonesia. Masyarakat Timor Leste mengupayakan kemerdekaan yang gagal, karena diinvasi oleh Republik Indonesia pada tahun 1975. Segala tawaran yang berkaitan dengan Otonomi Khusus diberikan oleh pemerintah Indonesia, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan Provinsi Timor Timur agar tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun ternyata tawaran itu kalah telak dalam Referendum Kemerdekaan Timor Leste tahun 1999.

Dengan semangat yang ditampilkan oleh Timor Leste untuk merdeka, Theys menyatakan diri untuk melakukan hal yang sama. Sampai-sampai ia berani berkata bahwa Papua bukan Indonesia. “Kita dengan mereka berbeda, dari kulit, rambut, kita berbeda. Kita bukan melayu, kita melanesia,” ujar Theys ketika diwawancara ABC News. Suatu sikap Theys yang sangat kontras dengan sikapnya saat era orde baru.

 

Kongres Nasional Papua 2000

Berdesak-desak orang berkumpul, Kongres Papua dijalankan dengan izin yang didapatkan dari Mantan Presiden Habibie yang juga dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, acara itu diselenggarakan dengan khidmat. Semua orang berteriak merdeka, seisi gedung bergemuruh suara merdeka. Theys didapuk menjadi presidium saat itu, pada 23 Februari 2000 di Gedung Cenderawasih, Jayapura. Bendera bintang pagi itu diciuminya, bergetar sambil berteriak merdeka.

Bersama Tom Beanal, ia memimpin Kongres. Segala isu disuarakan, mulai dari Pepera 1969 hingga isu Freeport McMoran juga dikisahkan. Tom dalam wawancaranya dengan ABC News menyatakan bahwa, “Nanti andaikata kita merdeka, mungkin kita bisa atur ulang kontrak itu.” Tom yang juga dikenal aktif bergerak untuk kemerdekaan dan sempat menjadi Ketua PDP sepeninggalan Theys, Tom akhirnya menjadi Komisaris PT Freeport di Tembagapura.

Dianggap kurangnya dampak signifikan dalam Kongres Papua 2000, Presidium Dewan Papua menjalankan lagi kongres untuk kedua kalinya. Kongres yang bertajuk Kongres Nasional II Papua ini dikecam oleh beberapa pihak, mulai dari Kapolri hingga Presiden sendiri. Dalam suatu kesempatan, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan akan mengambil langkah sendiri, tanpa perlu adanya kompromi lagi. Namun begitu Kongres II tetap berjalan dengan hasil yang dirasa kurang memuaskan.

 

Mati Misterius dalam Mobil Kijang yang Masuk Jurang

Dengan keinginan terus untuk merdeka, Theys mencoba mengonsolidasi kekuatan dengan beberapa orang-orang yang berjuang. Taha Al Hamid, Sekjen PDP yang juga aktivis pergerakan kemerdekaan papua menyatakan bahwa, ia masih sempat dihubungi oleh Theys pasca kegiatan upacara hari pahlawan di Kantor Pemda Papua.

Ia juga diminta untuk menghadiri upacara hari pahlawan di Markas Kopasus, Hamadi, Jayapura selatan. Melansir Tempo.co, ia menghadiri acara tersebut bersama sopirnya, Aristoteles Masoka. Lebih lanjut dalam perjalanan pulang pukul 22:00 WIT dari Markas Kopasus, Ari dicegat dan diculik oleh orang-orang Amber (bukan asli papua). Dengan menangis Ari menelpon keluarga Theys di rumahdan menceritakan keadaannya, telponnya terputus saat ia belum selesai berbicara.

Keesokan harinya, pukul 08:00 pagi, polisi menerima laporan dari beberapa orang termasuk Taha Al Hamid, Sekjen PDP. Berbekal laporan tersebut, Mapolda mengirim polisi mengecek TKP serta mengevakuasi jenazah Theys. Dipimpin oleh Kepala Polres Jayapura, Ajun Komisaris Besar Polisi Daud Sihombing, evakuasi dijaga ketat oleh personil TNI maupun Polri. Dalam kondisi mobil yang menyangkut di pohon, Theys sendirian tewas di mobil itu dengan kontak menancap pada kondisi off.

 

Keterlibatan Tentara dalam Pembunuhan Theys

Lembaga Swadaya Masyarakat Elsam, dalam laporannya The Abduction And Assassination Of Theys Hiyo Eluay Was Premeditated And Politically Motivated, menyatakan bahwa dalam laporan otopsi yang dilakukan oleh dokter dari Departemen Patologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia menyatakan bahwa Theys meninggal tidak wajar, baik karena dicekik maupun adanya pembengkakan.

Dengan bukti itu, masyarakat semakin bertanya-tanya dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam hari-hari berikutnya juga, berbagai macam teror melingkupi juga beberapa aktivis kemerdekaan di PDP. Taha Al Hamid contohnya, mendapat teror pesan singkat dengan tulisan, “Bersiaplah, kau akan mengikuti Theys.”

Karena desakan yang kuat dari dunia internasional untuk segera mengusut tuntas kasus ini, Pemerintah Indonesia dengan instruksi khusus memerintahkan Kapolda Papua, Inspektur Jenderal I Made Mangku Pastika untuk mengusut kasus ini. Dalam pengusutannya, ditemukan berbagai macam bukti baru yang didasarkan menurut saksi kunci Aristoteles Masoka serta beberapa saksi-saksi lain, polisi menjadikan tersangka Letnan Kolonel Hartomo, Komandan Kopasus unit Tribuana.

Meski Hartomo terbukti bersalah dan dipecat dalam Mahmilub III di Surabaya, Hartomo dapat menjadi Kepala Bais hingga Staff Khusus Angkatan Darat di kemudian hari. Menurut Elsam, hal ini sangat mencederai kepercayaan rakyat Papua terhadap Pemerintah Republik Indonesia.

 

Penulis : Muhammad Alfi Rahman


TAG#demokrasi  #hukum  #humaniora  #lpm-retorika