» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Seksis Sejak Dalam Pikiran, Pun Dalam Perbuatan
17 Februari 2019 | Opini | Dibaca 3729 kali
Seksisme yang Terus Dilanggengkan: Seksis Foto: Personnel Today
Relasi kuasa dan wacana patriarki yang dibangun oleh konstruksi sosial, mengarah kepada kemunculan pemikiran seksis yang dimiliki tidak hanya laki-laki saja, namun juga perempuan. Tradisi dan stigmatisasi turun menurun ini, menyebabkan mengakarnya permasalahan seksisme yang menjadi kebiasaan kultural masyarakat. Menyebabkan perilaku seksis telah muncul sejak dalam pemikiran maupun perbuatan.

retorika.id - Seksis merujuk pada seseorang yang melakukan diskriminasi, dan hal tersebut diekspresikan melalui tindakan, perkataan, maupun hanya berbentuk suatu keyakinan / kepercayaan (Salama, 2013). Perilaku seksis berkaitan erat dengan wacana patriarki yang dibentuk melalui pengorganisasian dalam masyarakat. Hubungan sosial yang tercipta di antara laki-laki dan perempuan bergantung pada kekuasaan. Hal ini membuat relasi kuasa dalam masyarakat menunjukkan posisi laki-laki lebih superior dan perempuan ditempatkan pada posisi inferior, sehingga kerap dijadikan objektifikasi dalam praktik sosial.

Paham seksisme menempatkan posisi antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan, baik secara biologis maupun sifat yang cenderung bias gender. Perempuan dan laki-laki dianggap sebagai makhluk sosial-politik yang dipengaruhi konstruksi budaya yang membentuk identitas. Hukum-hukum yang tidak tertulis pada masyarakat dibangun melalui budaya, seperti pada suatu tingkatan produk tubuh manusia yaitu jantan dan betina. Tubuh perempuan direpresi dalam wacana patriarki. Budaya tersebut membangun sistem dan pola pikir masyarakat mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan.

Pemisahan sosial budaya yang berbasis gender membentuk paling sedikit dua perbedaan, yaitu: Pertama, masalah hubungan sosial. Hubungan perkawanan dan kebiasaan bermain yang sejenis pada masa


anak-anak dan kemudian berlanjut sampai persahabatan dewasa, akan melahirkan adanya kelompok laki-laki dan perempuan, di mana keduanya mempunyai sub-budaya masing-masing dengan pola-pola dan gaya bahasa yang sesuai dengan kelompok mereka. Hal tersebut akan memicu munculnya standardisasi sosialisasi anak yang tidak netral, sehingga masalah akan timbul ketika anak perempuan dan laki-laki ingin berkomunikasi.

Kedua, berkaitan dengan faktor biologis dan proses sosialisasi. Mudahnya hal ini bisa diilustrasikan seperti anak laki-laki dilarang bermain bunga karena melambangkan hal yang lembut, dan lembut itu identik dengan perempuan. Di sisi lain, perempuan dilarang memakai celana, bermain bola, pedang-pedangan, dan permainan yang melibatkan fisik karena itu merupakan permainan khusus anak laki-laki, dan jika anak perempuan tetap bermain, bola maka akan dijuluki sebagai perempuan tomboy.

Standardisasi proses sosialisasi yang tidak netral menyebarkan bibit-bibit perilaku seksis dalam sistem pengetahuan masyarakat sedari dini. Anak perempuan sudah mendapatkan proteksi yang ketat sedari kecil dibandingkan anak laki-laki. Apabila ada anak perempuan yang duduk atau berbicara kurang sopan, maka orang tua akan menegur dengan berbagai mitos yang diyakini, tetapi jika anak laki-laki yang berperilaku kurang sopan maka dianggap sebagai anak yang aktif. Sehingga peneguhan praktik diskriminasi berbasis gender yang dilakukan oleh masyarakat dengan keterikatan konstruksi budaya patriarki menjadi hal yang diwajarkan dalam masyarakat itu sendiri.

Masyarakat telah melakukan simplifikasi terhadap seksisme, dengan asumsi perilaku seksis merupakan hal yang sepele dan cenderung dijadikan bahan ‘guyonan’ dengan anggapan tidak akan membawa dampak yang serius. Perilaku seksis yang diwarnai perasaan negatif seperti kebencian dan kekecewaan terhadap perempuan, maupun perilaku seksis yang diwarnai dengan afeksi, rasa hormat dan kagum terhadap perempuan. Keduanya secara bersamaan menunjukkan ambivalensi-perasaan tidak sadar terhadap hal yang bertentangan (mencintai sekaligus membenci) yang dapat memungkinkan individu dapat berperilaku seksis secara berlebihan. Hal tersebut dapat memicu terjadinya kekerasan seksual, pemerkosaan, dan berbagai bentuk pelecehan seksual lainnya.

Perilaku seksis dalam masyarakat cenderung dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, karena budaya patriarki yang memandang posisi laki-laki yang superior daripada perempuan. Bentuk perilaku seksis yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dapat terejawantahkan melalui bahasa seperti “kamu PMS ya, kok marah-marah terus”, “kamu nggak akan bisa mengerjakan tugas ini karena ini hanya mampu dilakukan sama laki-laki”, “wajar kamu baperan soalnya ‘kan perempuan selalu pakai perasaan”. Berbagai ujaran yang bias gender tersebut akan berimplikasi terhadap perilaku seksis yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Namun, tidak sedikit pula perempuan yang melakukan perilaku seksis terhadap laki-laki atau sesamanya, dan menerima secara tidak langsung perlakuan laki-laki yang cenderung mensubordinasi dirinya, seperti “jangan tunjuk aku jadi ketua, ‘kan takdirnya perempuan sudah jadi makmum”, “yang cowok rek yang ngangkat barang”, “kamu jadi cewek itu duduknya yang sopan jangan ngangkang”.

Dengan demikian, perbedaan yang memisahkan batas bagaimana laki-laki dan perempuan dalam menempatkan dirinya ketika berperilaku akan bersinggungan. Perilaku yang mendiskriminasi dan cenderung mendiskreditkan jenis kelamin tertentu menunjukkan bahwa masyarakat telah seksis sejak dalam pikiran, pun dalam perbuatan. Sebagian perempuan telah mengalami kesadaran palsu, alih-alih melakukan perilaku seksis terhadap sesamanya malah semakin menunjukkan mereka membenarkan dirinya telah terobjektifikasi dan menenggelamkan dirinya sendiri dalam arus subordinasi.

 

Daftar Pustaka :

Salama, Nadiatus. 2013. Seksisme Dalam Sains.  SAWWA – Volume 8, Nomor 2, April 2013.

 

Penulis : Irma Ayu Sofiyani

 


TAG#gagasan  #gender  #sosial  #