Jumat (8/3/2024) bertepatan dengan Hari Perempuan, terjadi demonstrasi di depan Kantor Kejaksaan Negeri Surabaya. Massa aksi yang terdiri dari elemen masyarakat, tim advokasi, buruh, dan mahasiswa menggeruduk Gedung Kejaksaan tersebut. Demonstrasi ini menuntut keadilan bagi Dwi Kurniawati, seorang buruh perempuan yang ditahan dari jerat kriminalisasi yang sepihak. Dwi yang memperjuangkan haknya, malah dituntut balik oleh perusahaan yang memperkerjakannya. Kurangnya validitas akan barang bukti untuk menuntut Dwi pun menjadi pertanyaan besar bagi tim advokasi dan kuasa hukum yang bersangkutan.
Retorika.id - Bertepatan dengan Hari Wanita Dunia, Jumat (8/3/2024), Kejaksaan Negeri Surabaya diwarnai dengan aksi demonstrasi dan panggilan solidaritas dari elemen buruh, masyarakat sipil, dan mahasiswa. Massa demonstrasi sempat mengalami ricuh dengan petugas kepolisian karena massa ingin menerobos ke gedung kejaksaan.
Disinyalir, massa menuntut pembebasan Dwi Kurniawati, salah satu buruh perempuan dari jerat kriminalitas. Dikutip dari rilis media Tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri, Dwi merupakan buruh kontrak dari PT. Mentari Nawa Satria atau dikenal Kawloon Palace Surabaya dan menempati posisi staff accounting. Selama tiga bulan bekerja, Dwi tidak mendapatkan hak ketenagakerjaannya. Dwi menerima upah di bawah ketentuan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan tidak menerima fasilitas program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Dwi sempat melaporkan ketidakadilan ini kepada Dinas Tenaga Kerja dan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Namun, laporan tersebut tidak membuahkan hasil dan diberhentikan. Dalam perjuangannya meraih keadilan, Dwi justru dilaporkan ke Kepolisian Sektor (Polsek) Genteng Surabaya dengan dugaan pemalsuan surat oleh Eko Purnomo yang
mengatasnamakan perwakilan perusahaan.
Pelaporan ini berujung pada tuntutan kepada Kejaksaan Negeri Surabaya untuk membebaskan Dwi, menghentikan kriminalisasi terhadap Dwi, memandang proses kriminalisasi ini sebagai Strategic Lawsuit Againts Public Participation (SLAPP), serta menghapuskan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap pekerja perempuan, memenuhi dan melindungi hak-hak normatif perempuan, dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Perwakilan massa aksi, khususnya tim advokasi dan tim kuasa hukum Dwi sempat menemui Jaksa Penuntut Umum. "Kalau tidak salah kontrak kerja (Dwi) itu awalnya selama enam bulan, (tapi) Dwi ini tidak masuk kantor, dihubungi tidak ada. Kemudian dilihatlah pekerjaannya, (ternyata) ada kekeliruan dalam hal pembayaran gaji tiga orang karyawan. Kalau tidak salah itu ada kelebihan bayar 24 juta sekian," Klaim dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). JPU menambahkan, "kemudian dilihat lampiran lamaran pekerjaan yang disodorkan. Begitu dilihat oleh satu karyawan bahwasanya surat keterangan sebagai accounting di William Booth itu ada yang janggal. Tanda tangan (pihak) yang mengeluarkan surat keterangan itu dengan (tanda tangan) Kartu Tanda Penduduk (KTP) Dwi itu identik."
Dinilai adanya kejanggalan, JPU menjelaskan bahwa pihak PT Mentari sudah konfirmasi ke Rumah Sakit William Booth. Pihak William Booth menjelaskan bahwa Dwi pernah dipekerjakan sebagai tenaga administrasi, bukan sebagai accounting. Lebih lanjut, William Booth tidak pernah mengeluarkan surat rekomendasi terhadap Dwi. Adanya tudingan ini membuat JPU berkesimpulan bahwa Dwi memalsukan surat. "Jadi kami berkesimpulan ini palsu," pungkas JPU.
JPU mengklaim bahwa pihaknya sudah mempertimbangkan restorative justice (RJ). Namun, setelah beberapa pertimbangan, JPU tetap meneruskan kasus Dwi ke ranah pengadilan karena tidak memenuhi kriteria yang cukup untuk mendapatkan RJ. Hal tersebut menyebabkan deadlock antara tim advokasi dan tim JPU, sehingga massa pun melakukan walk out.
Elsa, selaku asisten pengabdi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menyayangkan hasil dari pertemuan tersebut dan ketidakhadiran perwakilan kejaksaan yang diinginkan, yaitu Ketua Kejaksaan Negeri Surabaya. Kelalaian JPU untuk menghadirkan perwakilan yang substantif akan mempersulit upaya pembebasan Dwi. Selain itu, tuduhan pemalsuan dokumen yang dilakukan Dwi dianggap janggal oleh pihak LBH. Tuduhan itu dikirim oleh Eko, seseorang yang tidak bersangkutan dengan perusahaan. Maka, validitas tuduhan tersebut menjadi rancu dan dirasa tidak perlu untuk dibawa ke persidangan.
“Penyelesaian perkara tersebut di pengadilan merupakan sesuatu yang sangat tidak kami inginkan karena kasus ini sangat bias. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pelaporan balik kepada Dwi setelah melaporkan perusahaan kepada kepolisian,” tegas Elsa.
Kuasa hukum Dwi menegaskan bahwa Dwi adalah korban kriminalisasi setelah memperjuangkan haknya sebagai buruh. Tuduhan pemalsuan dokumen terhadap Dwi sulit dibuktikan karena sebagai buruh, aksesnya terhadap dokumen tersebut, apalagi untuk menandatanganinya, sangatlah terbatas. Ketidakjelasan tuduhan ini semakin memperkuat keyakinan kuasa hukum bahwa Dwi harus segera dibebaskan.
“Kami menganggap (kasus ini) sebagai kriminalisasi karena (posisi) perempuan tersebut rentan. (Dwi) seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara. (Dwi) juga jadi pejuang hak asasi manusia, karena memperjuangkan hak normatifnya,” ujar Habibus Shalihin, seorang penasihat hukum dari LBH Surabaya.
Penulis: Pinkan & Vanyadhita Iglian
Editor: Naomi Widita
TAG: #demokrasi #demonstrasi #humaniora #kerakyatan