» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Dua Tahun Sejak Dikriminalisasi, Kepala Desa Kinipan: Tolong Tinjau Kembali izin PT SML
20 Februari 2024 | Liputan Khusus | Dibaca 210 kali
Dua Tahun Sejak Dikriminalisasi, Kepala Desa Kinipan: Tolong Tinjau Kembali izin PT SML: - Foto: Save Our Borneo & Facebook Willem Hengki
Sudah 6 tahun sejak perjuangan masyarakat desa Kinipan dalam mempertahankan hutan adat yang terancam oleh investasi PT Sawit Mandiri Lestari (SML) mencuat ke publik. Selama itu juga, telah terjadi tindak kriminalisasi terhadap 7 tokoh adat, 2 permohonan pengakuan hutan yang tak kunjung dikabulkan, dan 72 individu serta kelompok yang bersatu demi membebaskan kepala desa Kinipan, Willem Hengki, dari tuduhan pidana korupsi. Bicara dua tahun setelah divonis bebas, Willem masih menunggu solusi dari pemerintah daerah dan pusat hingga saat ini.

Retorika.id - Kinipan merupakan sebuah desa yang terletak sekitar 636 km dari Kota Surabaya, tepatnya di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Desa ini dihuni oleh Masyarakat Adat Dayak Tomun, yang telah berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman perusahaan perkebunan sawit, yaitu PT Sawit Mandiri Lestari (SML), selama 19 tahun. Selain menjadi bagian penting dalam budaya Dayak setempat, hutan Kinipan juga merupakan salah satu dari sedikit hutan hujan yang tersisa di Kalimantan, serta menjadi habitat asli bagi spesies endemik yang dilindungi, seperti orangutan dan macan Dahan. 

Akan tetapi, walaupun perjuangan untuk mempertahankan hutan sudah berusaha dimasifkan dalam tagar #SaveKinipan sejak tahun 2018, pengakuan atas kepemilikan hutan adat tidak kunjung diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Klaim masyarakat Kinipan atas kepemilikan hutan adat didasari pada sejarah hak asal-usul dan pemetaan partisipatif warga desa pada tahun 2012. Masyarakat Kinipan jugalah yang menjaga kelestarian hutan tersebut secara turun-temurun. Akan tetapi, dilansir dari savekinipan.carrd.co, antara tahun 2012 hingga 2017, pemerintah pusat dan daerah justru menerbitkan sekitar lima Surat Keterangan (SK) perizinan operasi untuk PT SML beroperasi di wilayah Kinipan tanpa melibatkan warga desa dalam prosesnya.  Maka sebagai respons terhadap perampasan hutan adat ini, Masyarakat Kinipan mulai berorganisasi dan bersatu dalam


tagar #SaveKinipan, sembari didampingi oleh Lembaga Walhi Kalteng & Save Our Borneo, dengan tujuan utama mendapatkan pengakuan atas hutan adat melalui SK atau Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Namun, alih-alih diberikan pengakuan atas hutan dan wilayah adat dari pihak berwenang, masyarakat desa Kinipan justru harus menghadapi tindakan kriminalisasi terhadap 7 warga desanya. Dua tokoh diantaranya merupakan Effendi Buhing, ketua adat Masyarakat Kinipan yang video penangkapan paksanya sempat viral pada Agustus 2020, serta Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan yang sempat didakwa melakukan tindak korupsi terkait dana desa namun diputuskan bebas murni oleh Pengadilan Tipikor Palangka Raya pada tahun 2022. Semua peristiwa ini terjadi di bawah kepemimpinan dua keponakan Abdul Rasyid—pemilik PT Sawit Sumber Sarana yang dulunya memegang PT SML—yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Tengah (Sugianto Sabran) serta Bupati Lamandau (Hendra Lesmana).

Perjalanan Masyarakat Laman Kinipan agar hutan adatnya diakui telah berlangsung begitu lama dan melalui banyak masalah. Lantas, apa kabar perjuangan #SaveKinipan sekarang?

“Tidak ada lagi perambahan hutan baru secara masif di wilayah adat laman kinipan,” tutur Willem Hengki, yang masih menjabat sebagai Kepala Desa ketika dihubungi pada Senin (12/02/2023) lalu. “Kami juga berkoordinasi, di antaranya berkoordinasi dengan pemerintah melalui tokoh kinipan kepada Pj. Bupati Lamandau. Akan tetapi, bila PT SML tetap menggusur kembali, maka kami akan melakukan tindakan lapangan berupa menghalau aktivitas tersebut.”

Willem juga mengonfirmasi bahwa hingga kini, pengakuan negara terkait wilayah dan hutan adat Masyarakat Kinipan belum kunjung diberikan oleh pemerintah daerah maupun pusat. Permohonan atas pengakuan hutan adat sudah dua kali diajukan, namun selalu ditolak dengan alasan ketidaklengkapan berkas. Masyarakat Kinipan pun tidak diberikan petunjuk lanjut untuk melengkapi berkas-berkas tersebut.

“Masyarakat kami sampai saat ini menunggu itikad baik. Kami juga meminta pemerintah meninjau kembali izin PT SML yang masuk wilayah Kinipan, karena kami menilai ini bentuk perampasan hak masyarakat dengan iming-iming kesejahteraan yang tidak benar,” pungkas Willem.

Bicara tentang tindakan kriminalisasi yang sempat ia alami, Willem menduga bahwa perusahaan dan pemerintah daerah yang berkepentingan di wilayah Kinipan turut ikut campur dalam proses hukum. 

“Semua proses hukum yang dituduhkan kepada warga Kinipan terdapat banyak kejanggalan,” ujarnya. “Saya selaku Kepala desa Kinipan hanya menjalankan mandat masyarakat. Terkait peristiwa hukum yang saya alami, merupakan bukti nyata bahwa aparat penegak hukum tidak mengayomi masyarakat, melainkan berpihak kepada oligarki, dan ini bentuk pelemahan perjuangan kinipan yang mandatnya saya pegang.”

Untuk menanggapi hal ini, ia kembali menegaskan bahwa masyarakat Kinipan akan tetap pada pendirian mereka untuk meminta negara mengakui wilayah adat dan hutan adat Laman Kinipan. Ia juga meminta Pj. Bupati Lamandau agar segera menyelesaikan konflik antara Kinipan dan PT SML.

“Kinipan tidak anti investasi, hanya saja investasi yang dimaksud adalah investasi yang mensejahterakan masyarakat serta berkeadilan dan konsepnya lestari, tidak merusak alam. Kami berpendapat bahwa kehadiran PT SML ini sangat merugikan masyarakat adat, karena alam rusak, kesejahteraan yang dijanjikan tidak benar, dan yang ada perampasan-perampasan tanah masyarakat yang kami anggap seperti penjajah,” tegas Willem.

Meskipun tidak ada lagi perambahan hutan baru secara masif di wilayah adat Kinipan, Willem mengungkapkan pendapatnya tentang keputusan-keputusan peradilan yang sudah ditetapkan oleh pengadilan yang ada.

“Garda hukum terakhir harapan masyarakat hanya pada para hakim yang berintegritas. Untuk putusan peradilan terkait hak-hak masyarakat adat kami, kami menilai belum memadai untuk melindungi hak-hak Masyarakat adat,” simpulnya, yang sekaligus menutup sesi wawancara pada hari itu.

 

Penulis: Naara Nava Athalia Lande

Editor: Vraza Cecilia

 

 


TAG#demonstrasi  #humaniora  #lingkungan  #sosial