Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan pemerintah untuk menjamin pendidikan sebagai hak setiap warga negara Indonesia. Namun kenyataannya, pemerintah Indonesia tidak mampu untuk menyediakan institusi pendidikan tinggi sebagai sektor publik yang terjangkau. Kebijakan PTN-BH yang dibuat oleh pemerintah kian mendorong kampus sebagai lembaga yang berorientasi kepada keuntungan, bukan kemanusiaan. ITB sebagai salah satu kampus yang berstatus PTN-BH turut merasakan dampaknya. Mahasiswa ITB sekarang terbebani dengan tingginya UKT dan sulitnya mengajukan keringanan. Hal tersebut mendorong mahasiswa ITB melakukan protes dan mendesak Rektorat pada Senin (29/1/2024).
Retorika.id- Pendidikan merupakan hak asasi bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi rakyat Indonesia. Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, secara jelas edukasi menjadi tujuan dari berdirinya negara Indonesia. Frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi bukti bahwa setiap warga negara Indonesia—tanpa memandang agama, ras, maupun etnis—berhak mendapatkan pendidikan yang dijamin oleh negara. Namun, makin ke sini rasanya amanah Pembukaan UUD 1945 sulit untuk terealisasi. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi media belajar bagi para mahasiswa, kini semakin menghadapi tantangan berupa komersialisasi. Institusi pendidikan tinggi yang seharusnya didirikan untuk menciptakan generasi penerus bangsa, kini malah menjadi tempat “investasi” kapital. Hal tersebut sebagai akibat laten dari praktik liberalisasi ekonomi dalam dunia pendidikan tinggi.
Dalam tulisannya yang berjudul “Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan”, Fellang (2022) mendefinisikan liberalisasi pendidikan sebagai sistem yang dibuat oleh kalangan pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari institusi pendidikan, termasuk institusi pendidikan tinggi. Liberalisasi pendidikan tersebut, lantas memicu terjadinya komersialisasi pendidikan tinggi.
Dalam tulisan yang sama, Fellang (2022) mendeskripsikan komersialisasi pendidikan sebagai upaya untuk menjadikan pendidikan seperti barang dagangan. Adanya komersialisasi pendidikan, dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang memposisikan pendidikan sebagai sektor jasa untuk diperjualbelikan. Merujuk pada dua definisi di atas, adanya liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi berarti menempatkan institusi pendidikan tinggi—atau kampus—sebagai sebuah komoditas. Dua hal tersebut, mendorong institusi pendidikan tinggi lebih mengutamakan paradigma pendidikan dalam hal ekonomis atau profit, bukan humanisme atau kemanusiaan.
Akar dari liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia dapat ditelisik dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola institusi pendidikan tinggi sebagai sektor publik yang terjangkau. Salah satu bentuk kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi oleh pemerintah untuk perguruan tinggi yang dirasa layak, yakni menciptakan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Saat ini, tercatat ada 21 kampus yang diberi status PTN-BH oleh pemerintah Indonesia (Detik, 2022). Status PTN-BH memungkinkan kampus untuk mendapatkan otonomi di bidang keuangan dan tata kelola manajemen
(Yudiatmaja, 2016). Dengan kata lain, kampus dituntut untuk mencari dana sendiri dalam membiayai operasional mereka. Cara paling efektif yang dipraktikkan oleh kampus adalah membuka lebih banyak kuota jalur mandiri dan menaikkan uang kuliah tunggal (UKT). Di sini, mahasiswa seolah-olah menjadi “sumber modal” utama untuk membiayai operasional kampus.
Salah satu kampus yang mendapat status PTN-BH adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada awal tahun 2024, sosial media sempat ramai soal keluhan mahasiswa ITB untuk membayar UKT. Keluhan para mahasiswa awalnya disampaikan melalui status di akun X @itbfess. Akun @itbfess sendiri merupakan akun menfess kampus yang memungkinkan mahasiswa ITB mengirimkan status secara anonim. Namun, perlu diingat bahwa akun @itbfess adalah akun otonom yang tidak terafiliasi secara resmi dengan institusi ITB. Banyak mahasiswa mengeluhkan sulitnya mengajukan keringanan pembayaran UKT, baik pengurangan nominal maupun pengajuan cicilan.
Nominal UKT yang ditetapkan oleh ITB dirasa memberatkan para mahasiswa. Kampus seolah-olah menetapkan nominal yang hampir sama bagi setiap mahasiswa, tanpa mempertimbangkan penghasilan orang tua mereka. Tidak hanya melalui menfess, beberapa mahasiswa bahkan mengeluhkan sulitnya membayar UKT melalui akun pribadi mereka. Mahasiswa yang memiliki tunggakan UKT berdampak mengalami kendala saat mengisi formulir rencana studi (FRS) di semester ini.
Di tengah keramaian mengenai keluhan membayar UKT, pihak ITB justru memberikan opsi kepada para mahasiswa untuk meminjam dana online melalui aplikasi Danacita. Hal tersebut tentu menimbulkan kemarahan dari para mahasiswa. Mahasiswa yang kesulitan secara finansial justru didorong untuk menggunakan pinjaman online (pinjol) yang akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Banyak mahasiswa kemudian beramai-ramai menggunakan tagar #InstitutTapiBerpinjol, baik di akun menfess @itbfess maupun di akun pribadi, sebagai bentuk protes dan kekecewaan terhadap ITB. Keluhan dari para mahasiswa pun menuai pro dan kontra. Di sisi kontra, banyak netizen yang memandang mahasiswa ITB kurang bersyukur dan menganggap nominal yang ditetapkan oleh kampus merupakan jumlah yang wajar. Di sisi pro, tidak sedikit netizen yang menunjukkan simpatinya kepada para mahasiswa dengan me-repost keluhan mereka dan berharap permasalahan pembayaran UKT cepat menemukan jalan keluar.
Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB) sebagai organisasi intra kampus di ITB pun turut bersuara. KM ITB kemudian melakukan audiensi dengan Direktorat Kemahasiswaan dan Direktorat Keuangan pada Kamis (25/1/2024). Namun, audiensi yang dilakukan oleh KM ITB tidak serta merta menjamin Direktorat untuk menyelesaikan permasalahan pengisian formulir rencana studi (FRS) dan pembayaran UKT, seperti yang ditulis oleh Muhammad Yogi Syahputra, selaku Ketua Kabinet KM ITB 2023/2024 melalui akun X-nya @RTPVX_ pada Jumat (26/1/2024). Selain itu, KM ITB juga menyusun MoU yang menuntut pihak ITB untuk memberikan alternatif pembayaran UKT selain pinjol, menjamin seluruh mahasiswa ITB dapat mengisi FRS dan mencetak kartu studi mahasiswa (KSM) tanpa terkecuali, serta memberikan transparansi terkait pengelolaan dana mahasiswa. MoU tersebut dibuat secara sepihak oleh KM ITB dan menuntut pihak ITB untuk menandatanganinya sebagai bentuk komitmen dengan tenggat waktu sampai Minggu (28/1/2024).
Kenyataannya, sampai batas waktu yang ditetapkan, ITB belum menandatangani MoU sebagai bentuk komitmen kelancaran pengisian FRS oleh mahasiswa yang masih menunggak. Hal tersebut mendorong aksi protes oleh mahasiswa yang diinisiasi oleh KM ITB pada Senin (29/1/2024). Mahasiswa ITB menuntut adanya negosiasi antara mahasiswa dengan Rektorat untuk membahas jalan keluar dari permasalahan pembayaran UKT hingga pengisian FRS. Pihak Rektorat akhirnya mau bernegosiasi dengan perwakilan mahasiswa—sebelumnya Rektorat menolak ajakan negosiasi—dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Kesepakatan antara KM ITB dan Rektorat kemudian disampaikan dalam press release oleh akun X @KM_ITB pada Selasa (30/1/2024). Namun, permasalahan terkait opsi pembayaran UKT menggunakan skema pinjol masih belum ada solusi nyata dari Rektorat.
ITB menjadi contoh nyata bagaimana liberalisasi pendidikan tinggi berdampak langsung kepada mahasiswa. Bahkan, mahasiswa harus melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Rektorat yang memberatkan mahasiswa. Mahalnya UKT ITB justru menciptakan stigma baru di masyarakat, misalnya anggapan bahwa ITB adalah kampus mahal. Hal tersebut tentu membuat calon mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah akan berpikir dua kali ketika ingin mendaftar ke ITB. Tentu menjadi ironi, ketika calon mahasiswa harus melepaskan mimpinya akibat kendala biaya padahal dia mampu secara akademis untuk berkuliah di sana. Di sisi lain, tingginya UKT ITB tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas pembelajaran yang memadai seperti yang diungkapkan oleh N, mahasiswa Teknik Sipil. Menurutnya, kebanyakan gedung di ITB masih terbilang lama dan tidak diimbangi dengan fasilitas memadai, seperti tidak adanya sabun di toilet. Bahkan, beberapa gedung masih masih rawan mengalami genangan ketika terjadi banjir.
Sulitnya mahasiswa untuk membayar UKT juga menimbulkan solidaritas antar mahasiswa maupun alumni. Beberapa himpunan bahkan menggalang donasi untuk membantu teman-teman jurusannya membayar UKT, seperti yang diungkapkan H, mahasiswa Teknik Geodesi. Donasi yang dilakukan pun terbuka untuk umum, tetapi mayoritas donatur berasal dari sesama mahasiswa dan alumni. Menurut H, donasi yang dilakukan oleh himpunannya berhasil mencapai setengah target dan akan didistribusikan kepada para mahasiswa yang memiliki tunggakan UKT.
Komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi sudah menimbulkan korban. Dibentuknya status PTN-BH menunjukkan lepas tangannya pemerintah terhadap pembiayaan institusi pendidikan tinggi. Padahal, pendidikan tinggi menjadi pondasi bagi generasi muda untuk membangun bangsa. Liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia justru memposisikan mahasiswa sebagai “sapi perah” yang dianggap rela membayar berapapun agar dapat berkuliah. Di sisi lain, keluhan mahasiswa terkait fasilitas yang tidak sebanding dengan besarnya UKT juga menimbulkan pertanyaan lain. Apakah ITB memiliki manajemen keuangan yang buruk? Apakah ITB keliru dalam menyusun skala prioritas? Mahasiswa ITB dan perguruan tinggi lainnya berhak untuk menyelesaikan studi, tanpa ancaman drop out akibat tunggakan uang kuliah. Pemerintah perlu berbenah terkait alokasi anggaran pendidikan. Status PTN-BH harus dikaji ulang. Terakhir, apakah isu mahalnya UKT perguruan tinggi negeri menunjukkan gagalnya pemerintah dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945?
Referensi:
Detik, 2022. “Daftar 21 Kampus PTN-BH Terbaru di Indonesia, Ada Kampusmu?” [daring]. dalam https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-6372307/daftar-21-kampus-ptn-bh-terbaru-di-indonesia-ada-kampusmu [diakses pada 11 Februari 2024].
Detik, 2024. “Protes Bayar UKT Via Pinjol, Mahasiswa ITB Geruduk Gedung Rektorat” [daring]. dalam https://www.detik.com/jabar/berita/d-7166173/protes-bayar-ukt-via-pinjol-mahasiswa-itb-geruduk-gedung-rektorat [diakses pada 11 Februari 2024].
Fellang, Iskandar, 2022. “Liberalisasi Dan Komersialisasi Pendidikan”, Dirasat Islamiah: Jurnal Kajian Keislaman, 3 (1):13-26.
Yudiatmaja, Wayu Eko, 2016. “Liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia”, Dialektika Publik, 1 (2): 107-124.
Penulis: Adil Salvino
Editor: Marsanda Lintang
TAG: #akademik #demonstrasi #pendidikan #