» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Revolusi 1945: Kekerasan pada ‘Masa Bersiap’
29 Agustus 2020 | Mild Report | Dibaca 4260 kali
Revolusi 1945: Revolusi pada Masa 'Bersiap' Foto: Sindonews
Masa awal kemerdekaan Indonesia selalu dinarasikan dengan cerita heroik dan penuh patriotik. Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, masyarakat pun tumpah ruah untuk turut menyambut bebasnya Indonesia dari cengkeraman penjajah. Namun dalam masa-masa ini, terjadi juga suatu peristiwa penuh darah dan penuh dengan kekerasan. Pembantaian atas dasar rasial dan kecurigaan, suatu luapan amarah dan kegeraman yang menghasilkan tragedi sejarah.

retorika.id- Memori atas peristiwa revolusi 1945 selalu digaungkan dengan semangat nasionalisme dan patriotik. Hadirnya proklamasi pada 17 Agustus 1945, membuat segenap masa rakyat turun ke jalan untuk segera ‘bersiap’ dalam menyambut kemerdekaan. Euforia kekalahan Jepang dalam perang pasifik ternyata juga diiringi dengan ancaman kembalinya Belanda, yang dibarengi oleh sekutu, untuk kembali mengukuhkan kuasanya di Indonesia. Kontak fisik pun selanjutnya tidak dapat terhindarkan.

Pada tahun-tahun awal ini, terdapat masa yang dinamakan dengan ‘Masa Bersiap’. Masa ini dikenal dengan suatu pergolakan di mana massa rakyat, bersiap untuk menyambut kedatangan tantara sekutu yang tengah bertugas untuk melucuti tantara Jepang yang masih berada di Indonesia.

“Semangat kemerdekaan itu, di kalangan sebagian orang Indonesia, dicampuri nafsu balas dendam kepada segala hal yang berbau Belanda. Orang-orang ini tidak menyukai orang-orang yang dekat dengan Belanda. Mereka yang bekerja untuk orang Belanda, terutama orang Belanda yang bekerja untuk NICA, dijuluki sebagai Andjing NICA,” tulis Petrik Matanasi dalam liputannya pada Tirto.id, berjudul “Masa Bersiap Pasca-Merdeka: Masa Ngeri Tak Ada Sedapnya (2018)”.

Kenangan pahit kolonialisme Eropa atas kepulauan nusantara, membuat rakyat geram dan bangkit bergerak. Aksi-aksi sepihak dan penuh kekerasan pun menghantui orang-orang Belanda dan Indo-Belanda, serta beberapa golongan lainnya yang dituding dekat dengan Belanda. Aksi-aksi sepihak dan berbagai macam bentrok pun tidak dapat dihindarkan.

Dalam liputannya, Petrik Matanasi menyantumkan tulisan


berjudul “Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an” dari Tri Wahyuning  M. Irsyam, yang mengatakan bahwa masa bersiap ditandai dengan banyaknya tindakan kriminal dan kekerasan yang menyasar orang Belanda dan Indo Belanda.

Pada artikel yang sama, disebutkan pula bahwa pembunuhan yang terjadi juga disertai dengan penyiksaan dan pemerkosan. “Perkiraan jumlah orang Eropa yang dibunuh berkisar antara 3.500 sampai 20.000 orang,” tulis Mischa de Vreede dalam “Selamat Merdeka: Kemerdekaan yang Direstui” yang dikutip oleh Petrik Matanasi.

Rosalind Hewett, staf pengajar Department of Political and Social Change, College of Asia and Pacific, Australian National University, dalam tulisannya  yang berjudul “The Forgotten Killing”, menyebutkan bahwa sejarah poluler yang ada di Indonesia memang menggambarkan aksi para pemuda tersebut sebagai respon atas penindasan kolonial yang selama ini telah mereka terima.

Namun ia juga menambahkan bahwa dalam aksi-aksi tersebut, sejarah populer Indonesia sering kali tidak menyebutkan mengenai ‘korban-korban’ yang turut terdampak dalam penggerakan aksi massa tadi. Namun Hewett menambahkan bahwa catatan dari Belanda dan Inggris memberikan pemaparan lain.

“Catatan-catatan arsip tersebut mengindikasikan para pemuda sengaja mengumpulkan dan membunuh pria, wanita, dan anak-anak tak bersenjata, atau memaksa orang-orang Indonesia lain melakukannya”, pungkas Rosalint Hewett, yang tulisannya telah diterjemahkan oleh Muhammad Faisal Javier dengan judul “Sisi Kelam Narasi Kepahlawanan: Pembantaian yang Terlupakan”, dan diunggah pada situs resmi LPM Mercusuar UNAIR.

 

Cerita dari Surabaya

Kekerasan yang sama juga terjadi di Surabaya. Rosalind Hewett menuliskan bahwa antara September hingga November 1945, telah terjadi peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Eropa, Indo, Ambon, dan Manado. Orang-orang yang kedapatan memiliki atau berhubungan dengan benda-benda yang berkaitan dengan Belanda, seperti bendera, pin, dan lain sebagainya, biasanya akan langsung ‘dihabisi’ di tempat.

“Menurut saksi mata, anggota gerombolan itu menyerang para tahanan dan membunuh mereka. Pemimpin pemuda kemudian membayar para pembunuh dengan perhiasan dan emas yang diambil dari para korban,” tulis Rosalind Hewett

Kalaupun tidak ditemukan barang-barang terkait, para korban akan dibawa ke penjara Kalisodok dan Bubutan untuk diinterogasi. Orang-orang yang dibawa ini dikabarkan tidak pernah kembali dan tidak diketahui keberadaannya lebih lanjut.

Sorak-sorak anti Belanda dan ujaran-ujaran kemarahan lainnya juga turut terdengar.“Dari kesaksian Meelhuijsen dan Yik saat itu teriakan “Merdeka atau Mati!”, “Londo Jancuk!”, “Bunuh Anjing NICA!”, dan lainnya yang sejenis amat jamak terdengar,” tulis Adrian Perkasa dalam penelitiannya berjudul “Dua Muka Janus: Revolusi dan Kekerasan di Surabaya 1945-1949”, yang dimuat dalam jurnal Mozaik Humaniora Vol 15 (2): 131-141 (2015).

Selain itu, salah satu tempat yang terkenal sebagai tempat dalam pelaksanaan kekerasan pada masa itu adalah Simpang Club, yang sekarang dinamai dengan Balai Pemuda. Dahulunya gedung ini merupakan tempat bagi para pemuda-pemudi Belanda untuk berpesta dan melakukan pertemuan-pertemuan. Ketika revolusi pecah, kompleks Simpang Club dijadikan markas besar bagi PRI (Pemuda Republik Indonesia) cabang Simpang.

Di tempat ini, orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan Belanda, pro-Belanda, atau mata-mata sipil NICA, dikumpulkan menjadi satu oleh para pemuda PRI. Di tempat ini kemudian dilakukan penyiksaan dan eksekusi mati..

“Pembunuhan terhadap orang Eropa ini berawal dari pengadilan jalanan terhadap mereka yang dicurigai sebagai antek atau mata-mata NICA yang sebenarnya juga terjadi di berbagai tempat di seluruh kota. Hanya saja peristiwa di markas besar inilah yang paling banyak dikenal dan disinggung di kebanyakan tulisan,“ tulis Adrian Perkasa.

 

Penulis: Bagus Puguh

 

Referensi:

Tirto.id. 19 Maret 2018. Masa Bersiap Pasca-Merdeka: Masa Ngeri Tak Ada Sedapnya. https://tirto.id/masa-bersiap-pasca-merdeka-masa-ngeri-tak-ada-sedapnya-cGog [diakses pada 28 Agustus 2020]

Perkasa, Adrian. 2015. Dua Muka Janus: Revolusi dan Kekerasan di Surabaya 1945-1949. Mozaik Humaniora, Vol. 15 No. 2 (Juli-Desember) 2015. Airlangga University Press: Surabaya.

LPM Mercusuar UNAIR. Sisi Kelam Narasi Kepahlawanan: Pembantaian yang Terlupakan. http://persmercusuar.com/2019/11/12/sisi-kelam-narasi-kepahlawanan-pembantaian-yang-terlupakan/ [diakses pada 28 Agustus 2020]

 


TAG#sejarah  #  #  #