» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Modern Times : Puing-Puing Kemanusiaan Masyarakat Industri
28 Maret 2017 | Pop Culture | Dibaca 3999 kali
Review Film (Indonesia) Modern Times: - Foto: commons.wikimedia.org

Judul film                          :  Modern Times
Tahun rilis                        :  1936
Sutradara & Produser    :  Charlie Chaplin
Durasi                               :  1 jam 27 menit
Pemeran                           :  Charlie Chaplin sebagai gelandangan
                                              Paulete Goddard sebagai wanita melarat
                                              Al Emest Garcia sebagai presiden perusahaan 
                                              Chester Choklin sebagai mekanik
                       


                      Hank Mann sebagai perampok
                                              Stanley Sandford sebagai Big Bill
                                              Henry Bergman sebagai pemilik kafe
                                              Stanley Blystone sebagai ayah wanita melarat

                                      *******************
        
Tragedi menjadi semacam hal yang tak dapat dielakkan, bila kita menilik kembali jejak sejarah kemanusiaan. Revousi industri ialah satu di antara serentetan penanda babak-babak pergulatan manusia dalam memaknai kemanusiaannya. Dan semua hal itu, dikemas dengan apik dalam film Modern Times karya seorang maestro film bisu. Seniman multitalenta ini sempat merajai panggung seni pada masa 1920 - 1940an. Selama kiprahnya di bidang perfilman, lelaki dengan kumis sikat gigi ini telah menghasilkan berbagai karya monumental seperti The Kid, The Great Dictator dan terutama Modern Times. Hingga kini, Charlie Chaplin menjadi legenda.


Adalah rahasia umum, bila film lawas karyanya ini menjadi primadona para analis film dan juga sosiolog. Film ini membeberkan ironi sekaligus menyuguhkan oase kepada masyarakat kala itu –mungkin juga sekarang– yang sedang mengalami pengikisan rasa kemanusiaan. Bahkan pada pengantar filmnya saja sudah digambarkan dengan ironisnya  “A story of industry, of individual enterprise—humanity crusading in the pursuit of happiness”. Lalu muncul gambar jam yang menunjukkan pukul 6 pagi atau sore, dan sekumpulan domba yang diibaratkan sebagai sekumpulan manusia pekerja. Dalam filmnya, Chaplin memberi segudang pertanda, sekaligus segudang ruang untuk memaknai tanda-tanda itu. Sebuah master piece yang sayang untuk dilewatkan.


Dikisahkan, seorang pekerja dalam sebuah perusahaan yang terkena dampak dari ‘Revolusi Industri’. Pekerjaan tak lagi murni hasil olah manusia, tapi juga andil mesin-mesin untuk memaksimalkan produksi. Para pekerja dituntut menyamai kecepatan mesin-mesin. Sang presiden perusahaan, seringkali menyerukan frasa “More speed” kepada para pekerjanya dalam film ini. Kecepatan seolah-olah menjadi sesuatu yang sakral, bahkan toleransi menyoal hal-hal manusiawi seperti ke toilet atau beristirahat saja sangat minim, hampir-hampir kandas.


Charlie Chaplin yang bekerja sebagai pegawai perusahaan mengalami pemecatan berulang kali hingga dipenjara karena dianggap melakukan keonaran dan tak professional dalam bekerja. Hingga ia bertemu dengan wanita melarat yang memiliki seorang ayah pengangguran. Film komedi tragika ini memberi pesan satire terhadap peningkatan tajam pengangguran yang tergantikan oleh mesin-mesin. Kapitalisasi mulai merambahi segala lini, bahkan berdampak pada urusan asmara.


Jangan salah sangka, film ini tak seserius yang kita kira. Komedi khas Chaplin tetap menjadi pembalut di setiap alurnya. Sinema tanpa dialog dan pantomim ala Chaplin akan membuat kita terhibur sekaligus membangkitkan reflektivitas akan kemanusiaan, serta harapan untuk menghadapi realitas. Film ini memiliki alur dan durasi yang terbilang lebih panjang dibanding film Chaplin lainnya. Nuansa film ini masih berwarna hitam putih, namun tak mengurangi sisi hiburan yang terkandung di dalamnya.


Modern Times layak ditonton oleh siapa saja yang ingin melegakan dahaganya akan pemaknaan kemanusiaan. Modern Times, begitu juga film Chaplin lainnya yang tak menggunakan dialog, seakan berbicara bahwa bahasa memang mengungkap peristiwa, namun terkadang ia malah menyusutkan realitas. Sama halnya dengan kemanusiaan yang bukan menyoal kosakata semata, tetapi soal rasa dan tindakan. Semoga dengan menonton film ini, kita bisa kembali mengais puing-puing kemanusiaan yang tersisa –atau mungkin terlupa– di tengah masyarakat industri saat ini.

I Gusti Agung Dewi Widyastuti
(Editor: Endah Fitri A.)


TAG#budaya  #ekonomi  #film  #gagasan