» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Resensi : Buruh Menuliskan Perlawanannya
28 Maret 2017 | Pop Culture | Dibaca 3121 kali
Buku Buruh menuliskan Perlawanannya: - Foto: arahjuang
“Lupakan semua teori menulis, dan bersegeralah menulis sesuai dengan kemampuan. Kalau memang harus mengumpulkan status facebook pun bisa dilakukan. Nanti, buruh yang bersangkutan dapat mengembangkannya” (Syarif Arifin)

Judul                            : Buruh Menuliskan Perlawanannya

Penulis                         : Agus Japar Sidik, Atip Kusnadi, Budiman, Dayat Hidayat,

                                       Gito Margono, Hermawan, Lami, Fresly Manulang, Salsabila, 

                                       Nuzulun Ni’mah, Sri Jumiati, Sugiyono, Supartono,

                                       Samsuri, Muryati.

Tebal Buku                  :  482 halaman

Cetakan Pertama        :  2015

ISBN                            :  987-620-99608-3-9

Penerbit                       :  LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane),


Bogor.

Editor                           :  Bambang Dahana, Syarif Arifin, Abu Mufakhir, Dina Septi,

                                        Azhar Irfansyah, Alfian Al-Ayubby Pelu.

Harga                           :  Rp 60.000,-

 

                                                           ********************

retorika.id - Sejarah mencatat, sejak pertengahan tahun 2000-an secara berangsur-angsur banyak orang mulai tersadar bahwa menjadi buruh murah tanpa kepastian kerja adalah sesuatu yang menjengkelkan. Sejak saat itu, banyak buruh yang marah terhadap kebijakan upah murah (warisan orde baru) dan pasar tenaga kerja fleksibel. Ada yang marah sejak awal, ada pula buruh baru menyadari pentingnya melakukan perlawanan terhadap tindak sewenang-wenang dari majikan dan ketidakpedulian Dinas Tenaga Kerja.

Buku ini menjadi bukti bahwa buruh pun bisa menulis. Dunia jurnalistik bukan hanya didominasi oleh para akademisi dan aktivis. Buruh mampu merangkai sendiri kata-kata dan menjadikan tulisannya itu sebagai alat perjuangan. Buruh tidak lagi bergantung pada kata-kata para sarjana ataupun aktivis LSM. Dengan demikian, tulisan buruh dapat dijadikan senjata perlawanannya atas kaum kapitalis.

Buku ini memuat tulisan dari 15 buruh Indonesia. Mereka menceritakan bagaimana kehidupan harian sebagai penggiat serikat buruh, pengalaman ketika bekerja, kerumitan di dalam keluarga, dan bagaimana kegelisahan melawan kapitalis dan negara yang menindas mereka. Mereka semua datang dari beragam latar belakang dan memiliki pengalaman organisasi yang tidak seragam. Lima di antara mereka adalah perempuan: Lami, Nuzulun Ni’mah, Muryanti, Sri Jumiati, Salsabila (nama samaran). Tiap penulis memiliki titik-berat yang berbeda di dalam tulisannya. Kiranya dapat disimpulkan bahwa tiap penulis memiliki perhatian yang beragam berdasar latar belakang dan pengalamannya masing-masing. Kebanyakan buruh tersebut baru sadar akan hak-haknya yang telah dirampas oleh kapital industri setelah masuk serikat buruh.

Salah satu tulisan di dalam buku ini mengulas tentang bagaimana buruh terlibat dalam gerakan grebek pabrik. Dalam gerakan ini, buruh mengaku bahwa dia pada awalnya tidak mengetahui bahwa gerakan itu adalah gerakan grebek pabrik, yang membuat asosiasi pengusaha marah. Namun, ketika buruh terlibat dalam diskusi (pasca grebek pabrik) dan memahami makna grebek pabrik di dalam serikat, baru dia sadar kalau itu adalah gerakan grebek pabrik—tindakan berlawan. Dari gerakan-aksi massa ini buruh belajar kalau kapitalis bisa dilawan. Jadi, kesadaran buruh muncul dari pengalamannya melakukan aksi massa. Di dalam buku ini juga diceritakan bagaimana buruh bersiasat dengan upahnya yang murah.

 

Penulisan buku ini dibagi menjadi 4 kategori :

Bagian pertama, menceritakan tentang kehidupan penulis sebelum menjadi buruh sampai menjadi pengurus serikat buruh. Melalui tulisan tersebut, penulis mendeskripsikan perjalanan hidupnya  yang sejak remaja telah merantau ke kota-kota industri seperti Bekasi, Karawang, Tangerang, Jakarta, dan Surabaya dengan harapan ingin memperbaiki nasibnya.

Bagian kedua, menceritakan tentang generasi buruh yang dirampas masa mudanya oleh pabrik dan dihancurkan masa depannya oleh sistem outsourcing. Mereka dipekerjakan sebagai buruh tidak tetap yang hak-haknya dilucuti.

Bagian ketiga, buku ini mengisahkan tentang kekerasan fisik yang pernah mereka terima dari para preman pabrik. Di sana penulis juga memaparkan bagaimana buruh dikepung oleh banyak kebijakan yang membuat hak mereka dirampas oleh berbagai pihak, baik mandor maupun HRD. Mereka hanya paham cara menghitung jam kerja, upah dan produksi. Tapi tidak paham cara mengukur derajat kelelahan dan tekanan batin yang dirasakan para buruh.

Keempat, kesadaran penulis melihat realitas ketidakadilan akibat ketidaktahuan mereka tentang regulasi dan kecurangan kapitalis. Hampir semua penulis awalnya terpaksa untuk ikut berserikat. Namun karena adanya kegelisahan dalam memperjuangkan keadilan mereka memilih berserikat. Apalagi kebanyakan mereka sudah berkeluarga. Belum lagi momok ancaman PHK yang bisa datang kapan saja. Penulis juga menceritakan bagaimana sebuah serikat mengalami kekacauan akibat korupsi oleh pimpinan serikat, diperdaya perusahaan, adapula yang dimanfaatkan oleh LSM lain.

 

Final Thought

Buku yang berjudul Buruh Menuliskan Perlawanannya sangat layak untuk dijadikan literatur  yang sejajar dengan buruh di negara lain. Alur yang disajikan sangat menarik karena mencerminakan realitas kehidupan buruh sesungguhnya. Sehingga buku tersebut diharapkan menumbuhkan motivasi serta lesson learn bagi buruh lainnya agar gemar membaca dan menulis. Selain itu, gaya bahasa yang disajikan juga mudah dipahami karena ditulis sendiri oleh para buruh.

 

-Roudlotul Choiriyah-

 (Editor: Endah Fitri A.)


TAG#aspirasi  #budaya  #demokrasi  #gagasan