Mari merefleksikan kembali, apakah negeri ini benar-benar merdeka? Apakah pikiran bangsa ini sudah merdeka?
Surabaya, retorika.id - Dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia, menandai bahwa negara ini telah terlepas dari belenggu penjajah, secara fisik bangsa Indonesia telah merdeka. Boni Hargens, pengamat politik Universitas Indonesia, pernah menulis bahwa Indonesia ketika memasuki usia ke-62 pada tahun 2007, justru masih gagal “menjadi Indonesia”. Pandangan itu cukup membuat bangsa Indonesia tersentak. Menginjak tahun 2017 ini, pantas rasanya kita merefleksikan kembali dan mempertanyakan relevansi pandangan itu dengan kondisi saat ini.
Selepas kemerdekaan, bangsa Indonesia memang belum memiliki identitas diri yang pasti, termasuk pendidikannya. Tiba-tiba bangsa Indonesia terkepung oleh nilai-nilai budaya global. Generasi sekarang hidup nyaman menikmati kemerdekaan. Namun, tanpa sadar kita sesungguhnya masih terjajah. Sekali lagi, pemikiran bangsa Indonesia masih “dijajah”.
Adalah logis mengatakan Indonesia masih terjajah atau belum merdeka secara intelektual. Masih terngiang dalam ingatan akan lontaran sastrawan Taufiq Ismail (2003) dalam Pidato Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan Sastra di Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, dikatakan bahwa anak bangsa (Indonesia) rabun membaca dan lumpuh menulis. Menurut Taufiq Ismail di beberapa negara maju seperti AS, Belanda, dan Perancis, siswa (tingkat SMA) wajib membaca sekurang-kurangnya 30-32 judul buku. Berbeda dengan jumlah peserta didik di Indonesia yang membaca buku sastra sangat minim bahkan hampir nol persen.
Dalam kesempatan lain, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS,2006) menyatakan bahwa anak-anak belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton TV (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%). Realita ini bagai tamparan yang harusnya menyadarkan kita bahwa masa berperang fisik ketika pra-kemerdekaan sudah usai, pasca-kemerdekaan kita haruslah mengisi diri untuk memaknai kemerdekaan itu sendiri.
Maka, relevanlah sebuah falsafah lama yang dicetuskan oleh kakak
dari R.A Kartini, Drs. R.M.P Sosrokartono, “nglurug tanpa bala”, yang memiliki kesamaan arti dengan sepenggal kalimat Jawa Kuno, “perange tanpa bala” yang termuat dalam ramalan Jayabaya. Keduanya sama-sama bermakna berperang tanpa pasukan atau tentara. Hari ini bangsa Indonesia tidak sedang berperang secara konvensional yang memperjuangkan kebenaran menggunakan fisik atau kekerasan. Relevansinya, kini zamannya bangsa Indonesia seharusnya berjuang menggunakan akal dan pemikiran untuk membangun bangsa. Keberhasilan ‘perang’ yang demikian tergantung dari bagaimana generasi muda memaknai kemerdekaannya.
Bahasa dan Hegemoni Intelektual
Dalam merawat akal dan pemikiran agar tetap sehat, anak bangsa memerlukan “asupan gizi” yang baik. Oleh karena itu, sangat diperlukan usaha menumbuhkembangkan budaya baca pada generasi muda. Kegemaran membaca membantu anak bangsa memetik berbagai pelajaran hidup serta bagaimana menanggapi suatu permasalahan dari pengalaman tokoh-tokoh dalam buku bacaan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak gemar membaca? Kurangnya minat membaca buku tentu akan berpengaruh pada kualitas berpikir.
Menyehatkan pemikiran melalui budaya baca itu erat kaitannya dengan bahasa karena bahasa merupakan media bagi manusia untuk berpikir. Manusia memahami realitas ketika hal itu terbahasakan. Bila dicermati, Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional belum dimaknai secara mendasar oleh warga negara Indonesia. Bila bahasa Indonesia saja belum dimengerti, lalu bagaimana bisa memaknai konstitusi negara yang menggunakan bahasa Indonesia? Dengan pemahaman yang masih terombang-ambing itu, jelas akan terjadi banyak kesenjangan penafsiran dan penerapan hukum. Akhirnya, banyak masyarakat yang tidak paham hukum karena bahasa tidak dianggap sebagai hal yang esensial.
Bahasa yang merupakan perwujudan identitas bangsa pun kerap dilecehkan oleh segelintir oknum di berbagai media. Misalnya saja media televisi, sebagian besar narasi penutup dalam sinetron, penulisannya tidak mengindahkan kaidah bahasa Indonesia. Bahkan, lebih parah lagi, terkesan asal-asalan. Hal ini membiaskan pemahaman penonton tentang mana kata yang keliru dan tidak. Media pun turut andil dalam mendangkalkan pemahaman masyarakat akan bahasa Indonesia.
Permasalahan bahasa dalam media ini berakhir di atas pangkuan hegemoni. Media massa saat ini semakin memperkokoh dominasi kelompok atau ideologi tertentu untuk mencapai tujuannya. Hegemoni menurut Antonio Gramsci merupakan penguasaan yang dilakukan oleh kelas dominan terhadap kelas bawah menggunakan pola pikir. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran kelas bawah hingga tanpa disadari, mereka akan tergiring dan rela mendukung kelas dominan dengan sendirinya. Meski, praktik hegemoni ini sebuah kegiatan yang lumrah dan pasti terjadi di setiap kehidupan manusia. Berkuasa dan dikuasai. Dalam hal ini, bahasa adalah alat kekuatan yang strategis dalam praktik hegemoni.
Hegemoni lewat bahasa ini menjelma menjadi budaya konsumtif, fanatisme, budaya instan, dan yang sering terjadi sebagai ajang politis. Mendekati perhelatan demokrasi, pemilu, bahasa para politisi semakin retoris. Diksi-diksi memukau mengalir bahkan memabukkan. Tak heran, sebagian besar generasi muda sekarang terjerembab dalam pemaknaan dangkal akan sesuatu hal. Menginginkan jawaban cepat dan tunggal tanpa melalui proses berpikir. Sibuk mengikuti trend yang berkembang, hingga mungkin mereka kesulitan membedakan mana budaya asli dan budaya luar karena hal itu lama kelamaan menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value).
Inilah yang menjadi bahaya laten bagi intelektualitas generasi bangsa kita. Kita perlu mengembangkan sikap kritis yang tentu harus diimbangi dengan moral dan intelektual yang memadai supaya kita menyadari akan adanya praktik hegemoni ini. Karena itu, peran generasi muda dalam memerdekakan diri secara fisik dan intelektual sangat dibutuhkan. Bahasa, dalam hal itu perlu dimaknai dengan budaya supaya tidak berujung pada kedangkalan makna dan selebrasi semata. Minimal, kita memiliki visi yang sama dalam memberantas hegemoni intelektual ini diantaranya dengan menumbuhkan budaya baca.
Berjuang dalam Diam
Diam adalah emas. Kutipan klasik yang berkembang luas di masyarakat, diam bukannya berhenti atau tidak berjuang, diam disini berarti tidak berjuang secara brutal, tetapi dengan karya dan gagasan. Banyak pejuang yang lahir dan ‘berperang’ dalam ‘diam’, namun dalam ‘diam’, tak terhingga gagasan muncul sedemikian sehingga membawa angin perubahan bagi sekitarnya.
Tan Malaka, pahlawan kemerdekaan nasional yang hingga kini sering terlupakan sejarah, menuangkan pandangan-pandangannya mengenai ekonomi, politik, sosial dan lain-lain. Sikapnya yang membela rakyat, secara dramatis membuat perjuangannya dijuluki sebagai petualangan Pacar Merah Indonesia. Sebagai pejuang sikap serta pemikir, banyak karya-karya tulisnya yang menggugah dan memberi sumbangan yang positif bagi kemajuan bangsa ini. Ia memimpikan Indonesia yang maju dengan menyuguhkan cara berpikir yang harus dimiliki masyarakat lewat Madilog-nya (materialisme, dialektika, dan logika).
Begitu pula, Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa yang terkenal dengan buku Catatan Seorang Demonstran yang berisi gagasan dan catatan-catatan hariannya ketika menjadi mahasiswa. Pemikiran kritis dan sikapnya terhadap ketidakadilan memicu pergerakan mahasiswa kala itu. Ia menyiratkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan kaum intelektual yang bukan saja kaya akan konsep-konsep tetapi juga mau terjun langsung dan mengabdi dalam masyarakat. Artinya, sebagai penimba ilmu, ilmu itu harus diaktualisasikan dalam setiap dimensi kehidupan pada masyarakat.
Kedua tokoh tadi setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa mereka berjuang dengan tulisan, gagasan atau pemikiran mereka. Sebagai generasi muda yang hidup dalam era pasca kemerdekaan, kiprah keduanya layak dijadikan panutan. Bangsa kita membutuhkan generasi pembaharu yang cakap dalam berpikir dan menyumbangkan aspirasi serta karya-karya kreatif bagi kemajuan bersama. Untuk itulah tidak pantas rasanya generasi muda melupakan budaya baca dan budaya tulis. Tajamnya pena dan tangguhnya bahasa dapat meruncingkan kembali semangat generasi muda dalam memaknai kemerdekaan. Bila waktunya telah tiba, waktu dimana kita telah benar-benar ‘merdeka’, kita bersama-sama akan memekikkan kata itu kembali dengan lantang. Merdeka!
(I Gusti Agung Dewi Widyastuti)
Editor : Dwi Agustin
TAG: #aspirasi #gagasan #humaniora #sosial