Retorika pada 1999 berkesempatan mewawancarai “Si Burung Merak†W.S. Rendra perihal ancaman disintegrasi yang mengintai bangsa kala itu. Isu kemerdekaan Timor-Timur dan tuntutan referedum rakyat Aceh menyisakan persoalan pelik yang bagi Rendra berakar dari masalah sentralisasi.kekuasaan.
Wawancara Khusus dengan “Si Burung Merak” W.S. Rendra
Ancaman disintegrasi yang sedang melanda negeri ini terasa membangkitkan kembali gairah untuk menggali apa makna nasionalisme dalam negara-bangsa yang majemuk ini. Merdekanya Timor-Timur dan tuntutan Referendum rakyat Aceh memunculkan pertanyaan: apa yang salah di negeri ini? Bagi W.S. Rendra – yang akrab dipanggiil Mas Willy—akar persoalannya sentralisasi kekuasan. Ketika ditemui Retorika, penyair gaek yang lahir 64 tahun lalu ini menyarankan untuk melihat permasalahan ini dari kacamata kebudayaan.
MENURUT Anda, mengapa ancaman disintegrasi bangsa itu muncul?
Karena rasa kebangsaan ini dirusak oleh Soekarno, Soeharto dan ABRI, dengan doktrin persatuan di bawah pemerintah yang sentralistis. Pemerintah mengklaim bahwa pemerintah itu negara. Jadi Republik Indonesia itu eksekuting. Sebenarnya goblok, tapi rakyat kok ya mau saja… Tahun 1971 ada pengumuman bahwa melakukan oposisi terhadap pemerintah itu namanya oposisi tehadap negara, jadi subversif! Aku tentang itu. Saya menulis sajak tentang hak beroposisisi, tapi sayangnya belum ada sambutan. Jadi kesepian. Tapi yang lain menganggap itu benar.
Sampai sekarang, banyak ahli hukum merasa pemerintah adalah negara! Ya, salah dong! Negara ya rakyat, pemerintah itu kita yang bentuk. Daulat negara tertinggi itu, kita ( Rakyat –Red) Jadi kokI mau dibodoh-bodohin? Lawan dong! Saya pun melawan terus. Dengan Soekarno saya melawan, dengan Soeharto saya melawan. Waktu Soekarno
saya dipenjara, waktu Soeharto saya dipenjara. Tapi saya melawan karena pemerintahan nggak benar.
Ada beda nggak perlawan Anda antara tahun 60’-70’ dengan tahun 80’-90’?
Pendeknya juga menentang ide bahwa pemerintah itu negara. Ini nggak bisa! Sebab, (artinya- Red ) kalau ada yang melawan pemerintah, sama dengan melawan negara. Orang Aceh tak puas kemudian melawan pemerintah, dituduh melawan negara. Padalah warga melawan Gubernur. Melawan Habibie disebut melawan negara, Makar! Lho kok bisa? Tak suka pemerintah kok dibilang makar? Kok kita mau-maunya saja? Lawan dong! Negara ini punya rakyat.
Kalau pemerintah sentralistis itu diubah, akankah kita bisa bertahan sebagai bangsa? Mengubah sistem bukan hal yang mudah…
Iya, dong!
Sesederhana itu?
Iya! Sentralisme harus dibubarkan, ganti dengan otonomi seluas-luasnya. Lho, apa ada bukti sejarah bahwa sentralisme bisa sukses? Gajah Mada bikin sentralisme, gagal. Hasanuddin bikin sentralisme gagal, Panembahan Senopati juga gagal.
Tapi negara yang sifatnya persekutuan… kita mengenenal persekutuan lebih dulu dari Eropa, lho! Eropa mengenal federasi baru setelah revolusi industri. Ya meleklah kalian semua! Baru Bismarck bikin itu federasi di zaman Prussia! Tapi kita? Mataram dan Sriwijaya itu federasi! Sampai-sampai orang Sumatera bisa bikin candi Borobudur, candi Prambanan. Itu bukti ada perdamaian dan kemakmuran dalam persekutuan, hingga orang Sumatera bisa bikin candi di Jawa. Kemudian Majapahit itu apa kalau bukan federasi? Baca lagi dong Negara Kertagama! Perjalanan Hayam Wuruk itu menunjukan Awuku -Awuku (penguasa daerah, semacam bupati – Red ) punya otonomi yang luas. Ada perbedaan bentuk candi, perbedaan agama, tapi semua berjalan baik. Di Pare-Pare ada tujuh federasi, di Bone ada federasi lima kerajaan.
Dan di Bugis… kapan Belanda bisa mengalahkan Bugis? Baru setelah ada kapal uap! Jadi baru abad ke-20, tahun 1905. Bali, kerajaan federasi yang begitu kuat. Sampai sekarang, desa adat di sana, tidak bisa dimasuki gubernur. Keluarga Cendana nggak bisa beli tanah di situ. Dan orang Belanda masuk ke Bali tahun 1910.
Tapi orang Jawa, karena pemerintahannya sentralistis di bawah Sultan Agung, maka bertekuk-lututlah di bawah PT VOC. PT VOC, yang oleh Amangkurat, raja adiluhung itu, disebut dengan sebutan Eyang Kanjeng Gubermen! Apa itu?! (Rendra mencibirkan bibirnya –Red ). Jadi, kalau sentralistis bertekuk lutut selama 350 tahun, sedangkan kerajaan yang tidak sentralistis, tidak dijajah, lho! Contohnya Aceh, baru di abad ke-19 dijajah. Begitu juga Batak. Jawa aja yang begitu (dijajah lebih dulu –Red). Lha Soekarno mendaur ulang cara memerintah Sultan Agung, cara memerintah Mataram… ya berantakan. Soeharto juga. Lha kita jangan mengulang cara yang sentralistis. Itu sumber perpecahan.
Kalau diberikan otonomi luas, apa Anda tidak Khawatir yang tumbuh malah sentimen-sentimen kesukuan?
Hoo…! Memang manusia itu diciptakan untuk berpasangan, bersuku dan berkaum. Justru kebangsaan ini mempersatukan kesukuan itu! Tapi kalau kekuatan politik bisa mencerai -beraikan. Beri wewenang yang luas (kepada daerah-daerah –Red ). Lho apa toh salahnya Irian kaya, Aceh kaya, Jawa miskin?
Masalahnya sekarang, sistem sentralisme ini kan sudah sekian lama diterapkan damn bisa jadi mempengaruhi cara berpikir orang-orang…
Ya diubah! Generasi seperti kalian ini sudah terlalu lama ditatar dengan yang kayak gitu agar takut dengan pemisahan. Jawa dan Sumatera kan beda banget, (tapi, kalau –Red) berfederasi malah bisa bikin Borobudur. Otonomi itu nggak apa-apa kok, persatuan kebudayaan itu lebih penting.
Caranya bagaimana?
Yah… beri wewenang, beri otonomi yang luas. Dulu di Jawa Timur itu ada perbedaan antara Jenggala dan Kediri. Ada yang Budha, ada yang Syiwa, punya syariat masing-masing. Di zaman Majapahit kok rukun? Jadi kalau berpikir yang empiris, jangan pakai doktrin orang politik yang kurang pendidikan itu! Orang angkatan ’45 itu kurang pendidikan semua, jangan dengarkan lagi! Kalian yang muda-muda dengarkan Eep Saefulloh, dengar Teten Masduki! Baca ini! (sambil menyodorkan buku berjudul “Deklarasi Agustus” –Red )
Penulis : Ali Sachon Mujahid dan Wahyu Dhyatmika.
Dimuat dalam Buletin “Cangkruk Retotika” Edisi 14, 31 Oktober 1999.
TAG: #aspirasi #budaya #demokrasi #demonstrasi