» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Maaf Tuhan, Aku Tidak Mesra Lagi
07 Februari 2019 | Sastra & Seni | Dibaca 1882 kali
Karena Terorisme: Perubahan Besar Foto: World Hijab Day
Ini adalah prosa perjalanan religiku, yang menyuarakan diri dengan kalimat-kalimat mengenai toleransi dan penolakan terorisme. Hidup tak selalu mulus, ia yang kucintai pergi setelah membunuh "orang lain". Maaf Tuhan, aku tidak mesra lagi.

retorika.id - Aku Mutiara, seorang mantan mahasiswa di sebuah universitas negeri di Surabaya. Kota Pahlawan dengan segala macam hiruk pikuk kelalaian. Tidak banyak yang ingin aku ceritakan. Hanya sebatas ujung kuku jari kelingking dari luasnya perjalanan hidupku. Singkatnya ini adalah kumpulan prosa perjalanan religiku. Aku muslim, berhijab lebar dan tidak pernah segan memakai gamis-gamis yang luar biasa panjang. Seorang penulis yang enggan menyuarakan diri hanya dalam kalimat, tapi juga berteriak lantang di atas mimbar dengan kalimat-kalimat Tuhan. Banyak orang telah mengenal diriku, juga banyak pula yang justru mengidolakan aku. Karena tulisan dan dakwahku yang kritis.

Sempat terpikir semalaman menolak ajakan Risma untuk mengisi acara kajian di Masjid Al-Hakim yang tak jauh dari rumah. Tapi tak enak hati rasanya apabila menolak permintaan dari saudara apalagi ini bulan Ramadhan. Di atas mimbar aku menjelaskan dengan tegas mengenai toleransi serta penolakan atas terorisme. Kajian hari ini didatangi oleh cukup banyak jamaah. Hal yang kemudian menjadi api semangat tersendiri bagiku untuk lebih banyak menyebarkan kebaikan.

Dengan tangan mengepal, hati yang berapi-api dan suara lantang aku berteriak “Allahu Akbar… Allah Maha Besar. Allah bersama kita. Toleransi dan persatuan adalah kuncinya. Mari kita jaga Indonesia dari terorisme, teroris dan keluarganya! Sungguh manusia-manusia biadab. Semoga Allah membalas yang setimpal.”

Tak sadar dengan apa yang baru saja aku ucapkan, semua pasang mata kini tertuju pada seorang perempuan tua berbaju serba hitam dengan khimar yang tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju ke arahku. Matanya merah sembab, dan air


matanya sudah meluluhlantahkan seluruh riasan yang dikenakannya. Aku tekerjut bukan main, karena wanita ini tak lain adalah seorang yang sangat aku kenal, meski mungkin ia tak lagi mengenaliku. Ia adalah bagian dari masa laluku.

Bu Fatimah namanya, ia seorang juru masak yang memiliki usaha katering di rumahnya, sebuah rumah sederhana namun cukup menyejukkan bahkan sangat nyaman bagiku. Dulu aku memang tidak setiap hari datang kerumahnya, hanya bila mempunyai alasan tertentu baru dapat menjenguk keluarga yang terlihat harmonis ini.

Terlihat harmonis memang, namun tidak pada kenyataannya. Suaminya adalah seorang penjual obat herbal dan memiliki dua putra dan dua putri.

Putra pertamanya sebaya denganku, bernama Firman. Ia lah teman sekelasku selama bertahun-tahun mulai SMP hingga mahasiswa meskipun kami tidak begitu dekat karena dia adalah lelaki yang pendiam, sholeh, nan pandai. Dia jugalah yang menjadi lelaki pertama dalam hidupku, yang begitu aku dambakan sewaktu remaja bahkan mungkin hingga sekarang.

Setiap hari kami bertemu, namun pembicaraan kami hanya sebatas tugas sekolah. Aku sempat-sempatkan mencari waktu untuk datang ke rumahnya dengan alasan belajar kelompok. Karena itulah dulu keluarganya juga mengenaliku. Tapi itu tak juga membuat kami menjadi lebih dekat. Setidaknya melihat ia dari jarak dekat membuat aku merasa lebih mengenalinya.

Dulu memang aku tak berhijab, berbicara seenaknya, bertingkah semaunya, dan sangat berbeda dengan sekarang. Tapi memang itulah titik balik dalam hidupku. Dan setiap orang pasti memilikinya.

Firman, laki-laki yang aku kagumi selalu berhasil membuat aku menjadi kagum berlipat-lipat setiap harinya. Lisan dan perilakunya yang selalu ia jaga, melihatnya saja sudah dapat menentramkan jiwa. Badannya yang tinggi tegap, rambut yang rapi, dan jauh berbeda dengan teman laki-laki lain di sekolahku. Ia begitu pendiam, karena itulah ia tak banyak punya teman, tapi aku tahu bahwa banyak kaum hawa yang diam-diam mengaguminya seperti aku.

Kisahku sebagai pengagumnya terus berjalan belasan tahun. Aku terus berusaha mencari celah dari dirinya agar aku dapat mengambil perhatiannya. Aku belajar setiap hari agar ia merasa memiliki pesaing dan ia akan ingat bahwa itu adalah aku.

Tapi tidak sama sekali, ia tidak memberi respon apa pun, sekali pun kami kemudian selalu menjadi juara kelas dengan peringkat yang bergantian. Aku mulai geram, aku harus bisa lebih dari itu. Aku belajar mengaji hingga khatam dan sengaja aku mengikuti kegiatan-kegiatan tilawah hanya untuk membuatnya tersadar akan suaraku. Tapi ia tidak juga kunjung memberikan komentar. Pernah sekali waktu aku sengaja memamerkan diri bahwa aku sudah hafal sepertiga juz Al-Qur’an. Dan tau kau apa yang terjadi? Dia hanya tersenyum dan kemudian pergi. Aku kirimkan dia doa setiap malam. Tapi tak juga ada hasil dari Tuhan. Aku belum tumbang, hingga sesuatu di luar kendaliku kini telah di jawab Tuhan.

Firman meninggal, 13 Mei 2004. Ia laki-laki yang sangat aku cintai harus meninggal dengan badan yang tidak berbentuk lagi. Badannya hancur terkoyak bom yang dia pangku di atas motor bersama saudaranya. Bila ditanya, mungkin aku adalah orang yang paling merasa kehilangan setelah keluarganya. Aku sangat terpukul sekaligus tidak percaya bahwa Firman adalah pelaku bom bunuh diri yang menewaskan beberapa jemaat gereja minggu pagi itu.

Hati ini rasanya hancur. Laki-laki yang aku dambakan, yang aku pikir begitu dekat dan mesra dengan Tuhan ternyata telah salah langkah. Ia pergi dengan cara yang tak wajar bahkan biadab. Aku mengutuk hati kecilku sendiri, mengapa bisa aku tidak membaca tanda-tanda itu, mengapa bisa aku mencintai orang macam itu.

Tuhan, cintaku selama belasan tahun harus lenyap begitu saja. Rasanya hidup ini begitu berat setelah Firman pergi. Aku mulai mengumpat pada takdir, dan seluruh hal yang berhubungan dengan Firman, ia yang biadab tega membunuh orang-orang tak berdaya. Membunuh mereka yang akan beribadah, menyembah yang mereka percayai dan yakini.

Tapi, keluargaku benar. Ke mana pun aku pergi, kepada-Nya lah aku kembali. Aku terus berusaha mendekatkan diri pada-Nya setelah sempat melarikan diri pada hal-hal buruk di luar kendali.

Dan pada hari ini lah, seluruh kedamaian yang berusaha aku jaga kembali terombang-ambing. Perempuan tua yang menangis sesenggukan berjalan ke arahku. Air matanya yang mengalir deras tak sempat tertahankan.

Aku tak kuasa, aku salah bicara. Aku tak berdamai dengan keadaan selama ini. Aku hanya berpura-pura baik sementara hatiku masih hancur.

Aku berlari dari mimbar menuju ibu tua itu. Aku bersimpuh, kuciumi kaki ibu Firman yang suci, meski entah kini Firman di neraka mana. Yang jelas ibu tak bersalah atas apa-apa, ia juga terpukul melihat anak yang dididiknya gagal dan pergi mendahuluinya.

Ia membangkitkanku dan terisak sembari berkata “Nak, Kami tak perlu dimusuhi. Rasanya Tuhan sudah cukup marah dan mengutuk keluarga kami. Ajak kami pada kebenaran, apabila kami selaku keluarga adalah kesalahan.”

 

Penulis : Diva


TAG#agama  #cerpen  #humaniora  #karya-sastra