» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Takut
28 Januari 2019 | Sastra & Seni | Dibaca 1614 kali
Takut: - Foto: Isha Sadhguru

retorika.id - Pemuda itu terdiam, tangan kirinya bergetar, tapi kakinya terdiam, terkulai lesu dalam dinginnya malam. Di atas lantai trotoar itu, pemuda itu terduduk lesu, angin bebas menerpa tubuhnya dengan beringasnya. Kepalanya merengkuh, menunduk haru mencari perlindungan hangat, di antara tangan dan tubuhnya. Tapi, ia tetaplah diam, meski angin-angin itu menerbangkan debu dan dedauan di depannya. Rasanya, malam ini memang sangatlah dingin, apalagi angin gunung turun dengan cepatnya, menambah dingin udara malam hari ini. Menambah haru, perasaan yang disimpannya malam ini.

“Masih di sini kau rupanya?” seorang dengan suara yang besar tiba-tiba membuyarkan lamumannya. Kepalanya mendongak, mencoba menerawang keadaan sekitar, terlihat sesosok hitam dimatanya. Itulah dia, pria yang selalu menakutkannya. Tubuhnya yang tegap, serta berpegang senjata parang, tengah malam seperti ini, menambahnya ketakutan. Apalagi tubuhnya tertabrak pendaran lampu yang membentuk siluet tubuh lelaki besar, serta senjata yang menakutkan itu.

Pemuda itu diam, tak minat ia untuk menanggapi lelaki itu. Dibalikkannya lagi kepalanya, merebut tempat yang hangat diantara tangan dan tubuh ringkihnya itu. Langkah tegap lelaki itu tiba-tiba terdengar lagi, beranjak menjauh dan menghilang, menenangkannya untuk beberapa saat.

Sebenarnya, pemuda itu sudah tak simpati lagi dengan lelaki itu. Masihlah ia mengingat di kepalanya, lelaki itu menggunakan senjatanya untuk membunuh seseorang. Seseorang itu sangat ia kenal, yang pasti, ia sudah mengikatnya dengan ikatan emosional dengan orang itu. Entah apa yang terjadi pada waktu itu, pemuda itu keluar rumah, saat hari memang sangat malam, ia mendengar suara yang aneh di belakang rumahnya. Gelagat orang-orang merintih terdengar dengan


sangat kerasnya.

Bruakkkk..... Seorang itu terseok lemah dibawah lantai rumah dengan mulut yang tersumpal kain dan tangan yang terikat di belakang. Terlelungkup jatuh dibawah lantai pasir ini.

“Kau ingin mati!” teriak lelaki itu.

Tak ada balasan dari perempuan yang tertelungkup itu, hanya tangisan yang bisa ia utarakan, itupun juga tak terdengar dengan jelasnya. Lelaki itu datang, mendekati perempuan itu. “Maafkan aku,” bisik lelaki itu pada kuping pendar perempuan itu dengan posisi berjongkok di sampingnya.

“Maaf”. Bisikan itu terdengar lagi. Parang yang berkilauan terpantulkan lampu petromax menghujam lehernya.

Craakkk... Pemuda itu menyaksikannya, menyaksikan semuanya, terlalu muda untuk mengetahui itu, ia tak kuasa menahannya.

“Aaaaaaaaa!!!!!!!” teriak pemuda itu. Ia tak sadar dengan apa yang sebenarnya ia lakukan.

“Kau....!!!! Mau apa kau!!!” Lelaki itu melihatnya, tertelisik di antara temaramnya lentera kamar pemuda itu. Tangannya menunjuk-nunjuk, dengan tangan yang bergetar. Lelaki itu meneriakinya, mendekatinya, dan dipeluknya bocah kecil itu.

“Kau tahu apa ini?” Lelaki itu memamerkan bilah parangnya, menggoyang-goyangnya di depan mata bocah itu. Bercak darah terlihat, menakutkan bagi bocah itu untuk melihatnya. Perutnya memelintir, ia ketakukan dan mual. Bocah itu hanya diam.

“Ini darah pengorbanan,” bisik lelaki itu.

“Kau mau berkorban?” Lelaki itu memandangi dalam-dalam bocah itu. Ujung rambut, hingga ujung kaki, lelaki itu memerjah setiap apa yang ada dalam bocah itu. Tak ada tanggapan dari bocah itu, kecuali tangis yang sekuat tenaga ia tahan.

“Kau mau berkorban, Nak?” tanyanya sekali lagi. Wajahnya tiba-tiba sangat berbeda, lebih menenangkan dan terlihat akrab. Tatapannya dalam, sangat terlihat rasa sayangnya terhadap bocah itu. Hingga bocah itu merasa tenang, ia mengangguk-angguk mengiyakan permintaan lelaki bermata biru itu.

“Lepas celanamu!” Lelaki itu berteriak, menakutkan bagi bocah itu. Parang berkelebat darah itu ditancapkannya pada tembok kayu disampingnya. Wajahnnya sumringah, ia senang, dan bocah itu, membukakan celananya untuknya. Anak yang baik, gumamnya. Lelaki itu lalu memersiapkan diri, ia lepas pula celananya, dan bersiap untuk mengadu nasib.

Bocah itu terdiam, ia bingung, kenapa harus melepas celana. Bocah berambut hitam itu ketakutan, bahkan untuk melihat wajah lelaki yang orang kata sebagai “Totok” itu ia tak kuasa. Wajahnya hanya tertunduk, takut dan lesu. Ingin ia berteriak, tapi tak jelas apa yang akan ia teriakkan.

“Minumlah,” lelaki itu menawarkan segelas minuman kuning. “Ayo, tak apa,” terusnya. Bocah itu hendak mengambilnya, tangan lelaki itu dengan cekatannya mengambil parang yang tertancap di dinding kayu itu, meneteskan darah yang mengalir di parang tadi, dan mengaduk minumannya dengan parang tadi. Hingga minuman itu berwarna merah.

“Silakan”. Lelaki itu memberikannya pada bocah itu, diminumnya air merah itu dengan rasa ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dilihatnya, lelaki itu tersenyum, dan jauh di belakangnya, di depan pintu, ibunya tergeletak hina di sana. Hingga semua terasa membingungkan, kepalanya tiba-tiba pusing, bocah itu sudah tak kuasa lagi menahan tubuhnya. Ia pun terjatuh di atas papan kayu rumah-rumah orang-orang totok di tengah-tengah kota seperti ini.

Brakkk ...

Entah apa yang dilakukan lelaki itu pada bocah itu, dalam ketidakmampuannya untuk menahan diri, bocah itu merasakan sakit di perutnya. Tak jelas pula apa itu, dan kenapa saat ia coba untuk menyadarkan diri, malah tubuhnya tak jelas menjamah tempat-tempat yang jauh di sana. Ketika dirasa semuanya sudah beres dan bocah itu bersiap untuk meninggalkan kamar, ternyata semuanya masihlah sama, ia terkurung dalam pusaran-pusaran hina minuman tadi.

“Enak?”

“Iya Papa, enak”

“Besok lagi ya?”

“Iya Papa”

Lelaki bertubuh besar itu meninggalkannya, tubuhnya sempoyongan celananya juga belum dinaikkan. Tangannya menarik ujung-ujung celana, mengikatnya dengan ikat pinggangnya. Langkahnya terhenti, lelaki itu memandangi jasad perempuan di depannya, tergeletak sejak tadi. Tak banyak bicara, perempuan yang matanya masih terbuka itu, ditariknya entah kemana. Bocah itu masih di dalamnya, melihat semuanya dengan ketakutan dan kegembiraan.

Ia kembali, ke tempat lugu di depan teras rumah orang totok itu, semuanya sudah tersadar dan ia yang mengisinya dengan hina.

“Nak, apa kau ingin membunuhku?” bisik orang di sampingnya. Siapa lagi, kalau bukan orang putih bermata biru tadi. Pemuda itu mengangguk, tatapannya tajam, tajam dan masuk menusuk sukma manusia itu.  Orang bermata biru itu kaget, wajahnya terbelalak, tak akan terbayangkan baginya, jika seperti itu jawabannya.

“Baiklah, kau bisa membunuhku kapan saja.” Orang tua dengan tangan dingin itu, tak begitu berani menatap tajam mata pemuda ringkih itu. Tangannya yang dingin, menepuk-nepuk pundak bocah itu, pergi meninggalkannya dengan ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. 

 

PenulisMuhammad Alfi Rahman


TAG#cerpen  #karya-sastra  #  #