retorika.id - Seperti biasa kereta itu berangkat pukul lima sore, tapi kali ini sore tidak lahir seperti biasanya. Di sebelah bangku pemberangkatan ini aku bersebelahan dengan seorang yang begitu indah parasnya, entah bagaimana bisa seorang itu begitu kuat menarik kedua mataku untuk sekadar memeriksa sedang apa adinda.
Kudapati ia sedang membaca sebuah buku bersampul hitam, bertuliskan Sua. Matanya tentram menyayu, dan lagi-lagi dia selalu berhasil menarik gerak mataku untuk melihatnya lagi, lagi dan lagi. Namun, aku tak banyak menuruti rayu, aku tetap menjaga pandang. Kulanjutkan saja kebiasaanku, kegemaranku menghabisi waktu tunggu dengan menulis sebuah frasa sederhana. Kali ini sengaja tidak kuberi judul.
Tidak pun detak jantung itu berhenti
Kecuali ikut diam-diam mencuri detiknya dari parasmu.
Sudah puan, jarum jam itu berkata tiga puluh,
Sampai jumpa di sua yang lain.
Surabaya, 23 Desember 2018
Sudah tiga puluh menit berlalu dan akhirnya keretaku tiba tepat waktu. Tapi aneh, di mana seorang puan itu, bukankah dia sedari tadi berada di sebelahku. Secara cepat ke segala penjuru arah tak kulihat gerangan. Ah, sudahlah mungkin dia hanya mengantar keluarganya saja.
Kecemasanku
sedikit naik tatkala melihat orang-orang bergemuruh menyerbu pintu masuk di seberang peron. Tanpa mau tahu, aku berlari menuju gerbong satu. Ruang kereta ini tidak begitu riuh, aku tahu letak gerbong paling akhir tidak begitu disukai karena mungkin orang-orang enggan berjalan lebih jauh.
Aku duduk di sebelah jendela, dan tanpa kusangka seseorang yang tak asing menghampiriku.
“Mmm, kertas ini jatuh di bawah kursimu, benar punyamu?” ujar dia sembari berdiri di samping kanan kursiku.
“Oh iya benar, makasih,” kataku kacau merangkai kalimat balasan.
Aliran darahku terisi euforia aneh, semacam kejut bercampur heran. Dia menaruh ransel cokelatnya, dan yang benar saja, dia duduk tepat disamping ku, lagi!. Aku mengalihkan gumam batinku dengan memutar lagu-lagu di gawaiku, dengan tetap beku karena tanda tanya seseorang itu.
“Mau ke mana?” ujarnya memecah beku dengan kalimat mula yang terdengar lancang.
“Oh aku? Eee, aku mau ke Cirebon. Ya, Cirebon. Tau?” jawabku.
“(tersenyum) Iya lah tau, tahu gejrot?” sambutnya sambil tersenyum seperti ada yang istimewa
“Empal gentong!”
“Nasi lengko! Hahaha”, secara beruntun kita menyebut makanan khas kota rebon itu.
Kita berdua tertawa, “Kenalkan namaku Ading” kataku padanya yang masih tertawa,
“Oh aku Yuna”, timpalnya sembari menyambar tanganku sebagai ujud perkenalan.
Percakapan kita tak peduli ke mana, membahas paus di laut sampai bunga di sawah, menjadi topik bincang tak berkesudahan. Hingga pada akhirnya malam itu datang dengan perlahan, dan tiba-tiba dia mengingatkan aku tentang suatu hal.
“Ding, kamu tahu Banda Neira nggak?” tanyanya padaku.
“Iya tahu, nama pulau?” sahutku padanya.
“Oh iya, tapi maksudku Banda Neira duo musikus itu?” jelasnya.
“Oh itu, iya tau, suka banget malah. Kenapa?” jawabku pada perempuan senja itu.
“Hari ini tepat dua tahun setelah obituari matinya Banda Neira”, jawabnya sambil memandang keluar jendela kereta.
“Iya aku tahu, tapi kata Mas Anandanya ‘kan walaupun yang patah tumbuh yang hilang berganti, kita harus berjalan lebih jauh lagi. Pernah denger belum?” tanyaku padanya.
“Belum, tapi aku sih merasa tembang yang mereka suarakan, nggak berhenti sebatas definisi lagu. Mereka membawa kisah-kisah beku yang kemudian mereka nyalakan ceritanya hingga mencair dan mereka begitu seru. Tapi ya bagaimanapun aku memaksa tidak ingin mendengarkan album peninggalan itu. Banda Neira udah selesai, dan udah nggak ada, Ding” jawabnya dengan nada menegas.
“Yun, kamu tahu semua yang berpisah diawali dengan bersua, tapi tidak semua pisah berkawan lupa. Kebanyakan orang menjadi kalut kala pikirannya mengingat masa lalu, bahkan aku tidak membenci ingatan itu, kalau kita saja bisa mencipta banyak rasa, kenapa takut akan berpisah membuat kita resah?”
Dia memandangiku seperti telah lama mengenal seorang akrab. Pertanyaannya menjadi kian dalam. “Lalu kalau perjalanan ini berakhir, dan aku turun terlebih dulu, kamu tidak merasa ada yang hilang?”
“Eh, maksudku …” belum sampai penuh kuutarakan suara tanda itu memotong pembicaraan. Dan bunyi denting pemberitahuan memberi tahu bahwa kereta akan segera tiba di Semarang Tawang.
“Makasih ya, Ding, udah nemenin perjalanan pulangku. Walaupun hanya beberapa jam, senang bertemu denganmu. Oh iya kalo kamu ingin mengingat hari ini, putar saja lagunya Mbak Rara sama Mas Nanda yang judulnya Biru hihi”, ucapnya begitu ringan.
Aku tidak berani memintainya nomor telepon atau apapun itu yang dapat kuhubungi, namun ...
“Yun, boleh aku tanya dan jawab singkat aja. Lalu kenapa kamu tadi bisa begitu paham sama Cirebon?” tanyaku sebelum ia beranjak dari tempat duduknya.
“Oh itu, aku dulu punya seorang kasih dari sana, tapi ya dia bukan “rumah” ternyata”, jawabnya sambil memberi senyum kecil.
Aku terdiam melihat kedua matanya seperti ingin berkisah lebih tapi ...
“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Kita harus tetap berjalan lebih jauh lagi”, untuk kedua kalinya kita menyebut kalimat yang sama untuk sebuah temu yang singkat ini.
Diambilnya ransel dan buku di tangannya, ia bergegas keluar sembari kuantar hingga pintu keluar gerbong itu, “Ding, aku pulang ke surabaya tanggal 19 Januari, tunggu aku di Gubeng, aku yakin akan ada persuaan yang lain!” Tangannya ia lambaikan sebagai salam perpisahan dari seberang gerbong.
Dan aku berdiri di atas kereta yang sedang rehat dari larinya.
Hari ini begitu menyenangkan. Sampai jumpa. Aku akan menunggumu, Yun !
Penulis : Fiqki Azhar Adriansyah
TAG: #cerpen #karya-sastra #romansa #