retorika.id - Kemunculan media sosial sebagai media baru membuat masyarakat bisa memanfaatkan teknologi untuk berkomunikasi dua arah dalam dunia maya, tanpa ada batasan ruang dan waktu. Era media baru kini telah memberikan kebebasan setiap individu dalam berekspresi, terlibat dalam menyebarkan informasi kepada publik hingga melakukan aktivisme.
Aktivisme atau biasa disebut dengan kepegiatan, merupakan upaya yang dilakukan untuk mengemukakan masalah perubahan, terkait dengan masyarakat, pemerintahan, lingkungan, dan lain sebagainya yang termasuk dalam permasalahan sosial politik. Kepegiatan dapat dilakukan dengan penulisan surat kepada media atau pemerintah. Namun di era sekarang kegiatan penulisan surat tersebut dapat dilakukan di media sosial.
Media sosial dapat menjadi media alternatif dan memberikan kesempatan yang sama pada masing-masing individu untuk memproduksi informasi dan mendistribusikannya. Masyarakat dari berbagai kalangan mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa dengan berbagai latar belakang profesi yang dimiliki, telah mengenal dan mengakses media sosial sebagai sarana untuk transformasi gagasan yang dikemas dalam bentuk status yang naratif, Caranya mudah, hanya dengan posting foto/video. Media sosial saat ini tidak hanya dijadikan sarana untuk narsisisme belaka, tetapi juga telah dijadikan media
untuk memobilisasi solidaritas massa.
Di Indonesia pengguna media sosial twitter didominasi oleh mereka yang berumur 15-39 tahun sekitar 95% pengguna internet di Indonesia. Sedangkan pengguna facebook di Indonesia berjumlah 50.227.060 ID. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negeri terbesar ke empat pengguna facebook di seluruh dunia dan memberikan sinyal positif bagi proses demokrasi di Indonesia.
Jika dikelompokkan berdasar usia, 18-24 tahun merupakan pengguna terbanyak yaitu 42%, kemudian usia 25-29 tahun sebanyak 21 persen. Kedua rentang usia tersebut dianggap mempunyai kekuatan aktivisme sosial politik yang terus meningkat. Sedangkan 13-17 tahun sesungguhnya adalah kelompok usia terbanyak kedua yakni 28 persen, namun kelompok ini tidak berdampak signifikan terhadap dinamika politik Indonesia, mengingat belum dianggap sebagai pemilih dalam pemilu (Priyono, AE, 2014: 18).
Proses distribusi informasi, dukungan maupun kritikan yang disebarkan dan direspon dengan cepat membuat media sosial dimanfaatkan sebagai sarana untuk forum diskusi. Sehingga hal tersebut menjadi ruang konsolidasi dari berbagai gerakan sosial masyarakat.
Kondisi tersebut dibuktikan dengan beberapa kasus misalnya petisi online dari change.org atau tagar #KawalPemilu, #SaveKPK, #KoinuntukPrita, dan #SaveAhok yang sempat mendapat banyak dukungan. Pengunaan tagar sebagai wujud kepedulian atau aktivisme mendukung pihak-pihak atau isu tertentu oleh warganet.
Popularitas media sosial di berbagai kalangan, membuat pesan aktivisme lebih mudah disebarkan tanpa batasan ruang dan waktu. Tagar merupakan simbol sederhana yang mudah digunakan dan melekat pada pengguna media sosial, sehingga tagar bisa menjadi alat yang mampu mengumpulkan solidaritas massa.
Beberapa kriteria yang mendorong kesuksesan aktivisme digital seperti narasi yang sederhana, cenderung berisiko kecil dengan menggunakan simbol tertentu yang mampu memompa keberhasilan aktivisme. Penggunaan simbol dalam aktivisme media sosial seperti tagar, aksi, dan gambar lebih menarik banyak simpati khalayak di ruang publik.
Ketika suatu wacana yang diproduksi dan didistribusikan dalam media sosial telah ramai diperbincangkan, berpotensi untuk diangkat di media-media lain seperti televisi, radio, dan surat kabar akan meningkat. Masyarakat yang menggunakan media sosial sebagai sarana melakukan aktivisme yang pada umumnya dilakukan secara offline dengan gerakan sosial di dunia nyata, beralih dengan aktivisme di dunia maya yang bertujuan untuk menarik simpati warganet dan memobilisasi massa yang kemudian bisa memiliki pengaruh gerakan sosial di dunia nyata.
Namun, efektivitas media sosial sebagai sarana aktivisme yang memiliki potensi hanya sekadar kegiatan mengeklik saja alias clicktivisme. Artinya warganet mempublikasikan konten yang menggunakan simbol yang mengandung unsur aktivisme tertentu hanya sekadar meneruskan aktivitas orang-orang atau apa yang sedang menjadi trending di sosial media, dianggap tidak menyisakan tindak lanjut di dunia nyata.
Alih-alih ikut melakukan aktivisme di media sosial sebagai bentuk simpati atas isu yang sedang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol, tetapi sebenarnya hanya sekadar meneruskan aktivitas orang lain yang berujung pada narsisisme belaka.
Meskipun melakukan aktivisme di media sosial memiliki kemungkinan sebagai ajang pamer diri, namun beberapa fenomena aktivisme di media sosial yang mampu memobilisasi massa membentuk gerakan sosial di dunia nyata. Menunjukkan bahwa media sosial kini bukan hanya sekadar ajang narsisisme tetapi juga memiliki potensi membawa perubahan yang terjadi secara cepat, tidak mengenal batas ruang dan waktu.
Referensi :
Dewantara, Rama W. & Derajad S. W. 2015. Aktivisme dan Kesukarelawanan dalam Media Sosial Komunitas Kaum Muda Yogyakarta. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 19, Nomor 1, Juli 2015 (40-52) ISSN 1410-4946
Penulis : Irma Ayu Sofiyani
TAG: #demokrasi #media-sosial #sosial #