“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata : lawan!†Penggalan kalimat dari Wiji Thukul tersebut terus menjadi inspirasi bahwa sastra dan kesenian dapat menjadi sebuah simbol perlawanan, dan rakyat kecil juga dapat turut bersuara. Kita terinspirasi olehnya akan makna kebebasan, terlepas dari keberadaannya yang lenyap dan hilang entah kemana
retorika.id - Prahara Orde Baru telah lama berakhir dan reformasi telah mencapai dua dekade usia lamanya, sejak jenderal yang murah senyum itu turun dari tampuk kekuasaannya pada 21 Mei yang lalu. Namun masih terdapat banyak kasus yang belum terselesaikan, terlepas era perubahan yang telah berlangsung selama 20 puluh tahun.
Salah satu dari sekian kasus yang ada adalah hilangnya para aktivis reformasi yang seolah raib ditelan bumi. Terdapat 13 orang yang masih hilang hingga saat ini, setelah diciduk oleh rezim Orde Baru karena sepak terjang mereka menuntut reformasi untuk dijalankan, dalam sebuah rezim yang otoriter dan lalim yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Berbagai nama yang mungkin sering kita dengar seperti nama Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah yang merupakan salah dua mahasiswa FISIP Unair yang aktif menjadi aktivis di Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang memiliki peran besar untuk menurunkan rezim yang mengusai tampuk pemerintahan hingga 32 tahun lamanya.
Selain berbagai nama yang muncul sebagai “orang hilang” di tengah prahara Orde Baru tersebut, terdapat sosok lain yang menonjolkan sebuah nuansa baru, dan terus memperjuangkan pergerakan dan perlawanan lewat medium yang membuat namanya terus dikenang, yakni melalui sastra dan seni, lewat kata-kata yang tak lekang oleh waktu, melalui puisi dan sajak-sajaknya.
Salah satu penggalan sajaknya yang ikonik yang mungkin sering kita dengar dan didengungkan kembali dalam setiap aksi massa yakni sajak Peringatan (1986) yang menjadi ikonik. Penggalan sajak tersebut adalah, “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang / suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan / dituduh subversif dan mengganggu keamanan / maka hanya ada satu kata : lawan!” Sosok tersebut adalah Wiji Thukul si penyair pelo dari Solo.
Dari Kapel, Wiji Thukul Mengenal Teater dan Sastra
Melansir Buku Seri Laporan Jurnalistik Tempo Wiji Thukul : Teka – Teki Orang Hilang (2017) dirinya lahir di Sorogenen, Solo pada 26 Agustus 1963 dengan nama asli Wiji Widodo, lahir dari seorang bapak tukang becak bernama Kemis Harjosuwito, dan ibunya Sayem yang kesehariannya menjual ayam bumbu di pasar.
Dengan latar belakang keluarganya yang bukan dari kalangan berpunya, Wiji Thukul sebagai anak tertua telah mencari nafkah sejak dari SMP untuk sekedar mencari uang jajan untuk dirinya atau kedua adiknya. Berbagai pekerjaan telah digeluti Wiji Thukul sejak bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dari loper koran hingga menjadi calo tiket bioskop.
Selepas lulus SMP, Wiji Thukul dirinya melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Karawitan Solo, Jurusan Tari. Wiji Thukul sejak dari bangku SMP aktif dalam kelompok paduan suara kegiatan Kapel / Gereja Katolik dan sampai suatu ketika Wiji dikenalkan kepada salah seorang pemain teater kepada Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang dikembangkan oleh penyair W.S. Rendra. Wiji Thukul akhirnya bergabung menjadi anggota Teater
Jagat.
Wiji terus ditempa dan diganti namanya oleh Lawu. Nama aslinya Wiji Widodo diganti menjadi Wiji Thukul, yang berarti biji yang tumbuh. Setelah aktif di teater, Wiji Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih untuk memberikan kesempatan kepada adik -adiknya untuk melanjutkan studi. Adapun Wiji Thukul memilih untuk terus menulis puisi dan berlatih teater. Layaknya sebuah biji yang tumbuh sesuai dengan nama baru dari dirinya, bakat kepujanggaan Wiji Thukul juga turut berkembang dan dipengaruhi oleh dua figur yang menjadi mentor bagi Wiji Thukul, yakni Cempe Lawu Warta dan Halim H.D.
Lawu dan Halim Menempa Penyair Pelo
Cempe Lawu Warta, pemimpin Teater Jagat menemukan bakat Wiji Thukul di bidang puisi.
“Dia suka membaca dan menulis. Ketika membaca tulisannya saya tahu dia punya bakat sebagai pujangga. Karena itu saya mengarahkan dia untuk membuat puisi,” begitulah penjelasan yang diberikan Lawu. Ia mendidik Thukul dengan keras untuk menghilangkan pelo –tidak bisa melafalkan huruf “r” alias cadel dari Wiji Thukul.
Latihan vokal dengan pengucapan kata sekeras dan sekuat mungkin, serta mengajak para anggota teater jagat untuk ngamen puisi untuk memupuk rasa kepercayaan diri di depan publik. Cara ini terbukti berhasil mengembangkan karir kepenyairan Wiji Thukul. Puisi seolah menjadi bagian dari setiap tarikan napas Wiji Thukul dan dirinya semakin piawai dan bernas untuk menulis dan menampilkan puisi.
“Menulis puisi itu tak beda dengan beribadah di gereja, ada pengalaman religius,” ujar Wiji Thukul di suatu ketika.
Halim H.D., aktivis budaya dan pentolan dari Fakultas Filsafat UGM, mengenal Thukul di Teater Jagat. Berbagai buku banyak dipinjamkan oleh Halim kepada Thukul, dan perdebatan intelektual banyak dilakukan diantara mereka berdua.
Kepenulisan dan karya Thukul semakin matang, yang membuatnya semakin gamblang menulis puisi. Hubungannya dan Halim semakin akrab dalam perjalanan mengamen puisi pada tahun 1986 - 1987 berbagai kota yang mereka sambangi dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat, dari Solo, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, hingga Bandung dan Jakarta.
“Saya yang memberikan gagasan agar penyair yang mendatangi publik, dan Thukul tertarik untuk melakukan itu dengan cara mengamen puisi,” ujar Halim.
Gagasan ini terbukti berhasil mempengaruhi cara pandang Wiji Thukul dalam melihat sastra dan seni. Melalui karya-karyanya yang sarat dengan kritik sosial dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, muncul pandangan dari Wiji Thukul bahwa kesenian adalah sebuah cara melawan tradisi bungkam akan kesewenang-wenangan yang terjadi dalam kekuasaan otoriter Orde Baru.
Kepopuleran dan ketenaran dari Wiji Thukul semakin berkibar setelah ngamen puisi, serta jaringan dirinya dengan para aktivis dan seniman semakin luas. Wiji Thukul pun semakin jarang aktif di Teater Jagat, dan memiliki pandangan yang berseberangan dengan Lawu mengenai keterlibatan Wiji Thukul yang semakin aktif di politik praktis.
Hingga akhirnya pada 1987 setelah menikah dengan Sipon, dan menumpang di rumah Halim, trio yang terdiri dari Thukul, Sipon, dan Halim mendirikan Sanggar Suka Banjir.
Seni dan Sastra sebagai Senjata
Thukul dalam upaya mendirikan Sanggar Suka Banjir terinspirasi oleh konsep teater Augusto Boal dari Brazil yang menjadikan teater sebagai cara untuk mengorganisasikan massa, dari desa ke desa. Wiji Thukul juga sering mengutip perkataan dari penyair terkenal dari Jerman Bertolt Brech yang mengatakan bahwa, “Setiap orang adalah seniman, dan setiap tempat adalah panggung”.
Sekali waktu dalam sebuah lokakarya Wiji Thukul berkata diantara 20 pemuda. melalui bahasa Jawa yang tegas, ia berkata, “Wong mlarat mung duwe paitan cangkem, piye kowe nyuworo (Bagi orang miskin, mulut adalah modalnya, bagaimana kalian bersuara).
Sebagaimana disaksikan oleh Halim yang terkesima dengan cara Thukul membawa workshop tersebut. Wiji Thukul berpendapat lewat mulut dan bersuara yang dimanifestasikan melalui seni dan sastra, rakyat kecil dapat bersuara, dan kedua medium ini menjadi sebuah senjata.
Berbicara mengenai perlawan Wiji Thukul maka juga tidak lepas dengan sajak-sajak dan puisinya yang keras dan sarat akan muatan kritik bagi rezim Orde Baru, namun dapat lebih mudah dimengerti oleh masyarakat awam, buruh, dan aktivis yang mengganggap sastra adalah sebuah hal abstrak dan sukar untuk dimengerti. Penciptaan puisi menurut Thukul haruslah menjadikan data dan pengamatan sosial sebagai dasar inspirasi. Pemikiran yang dipengaruhi oleh bacaan Wiji Thukul mengenai pendidikan yang membebaskan seperti Paulo Friere dan Ivan Illich.
Arman Dhani dalam Artikel Tirto, Puisiku Kabar Buruk Bagimu (20 Januari 2017) mengungkapkan bahwa “Puisi Thukul merupakan sikap anti-kanosisasi, dan selera dirinya yang makin kental. Wiji Thukul membuka puisinya dengan tantangan untuk melupakan para kritikus sastra, dan menuntut para penyair untuk menyegarkan pemikiran dengan pemandangan baru, dengan realitas sosial yang sumbing, kumuh, miskin, dan berlumpur, bukan hanya melihat dari jauh dan dari segi estetikanya saja.”
Sajak-sajaknya seperti Penyair (1988), Sajak (1988), Para Penyair adalah Petapa Agung (tt), dan Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair (1985) menjadi sebuah sajak mendobrak kanonisasi sastra yang abstrak dan mengunggulkan estetika saja dan menyuarakan perlawanan melalui bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.
Dalam salah satu penggalan Sajaknya Apa Guna (tt) Wiji Thukul menyinggung suara-suara bungkam yang ada, “Apa gunanya punya ilmu tinggi / kalau hanya untuk mengibuli / apa gunanya banyak baca buku / kalau mulut kau bungkam melulu.”
Goenawan Muhammad dalam Catatan Pinggir, Thukul (2009) juga turut berpendapat mengenai puisi Wiji Thukul, “Dalam beberapa bait saja, sajak ini berhasil memotret satu ruang dan waktu sosial-politik Indonesia”. Puisi dan sajak Wiji Thukul juga terbukti begitu menakutkan bagi sebuah rezim, dan pasca Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996, nama Wiji Thukul menjadi salah satu buron yang paling dicari oleh intel Orde Baru.
Peristiwa Kudatuli : Awal Wiji Thukul Mengembara, dan Akhirnya Raib Hingga Kini
Pemikiran Wiji Thukul yang semakin kritis, dan pro-demokratis disertai namanya yang semakin dikenal oleh masyarakat luas membawa Thukul terjun langsung dalam politik praktis. Melalui Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat) yang turut didirikannya pada 1994, ia akhirnya membawa nuansa pergerakan seni dan sastra dengan bergabung dalam PRD yang menjadi organisasi massa yang getol melawan rezim Orde Baru.
Wiji Thukul juga sempat memimpin dan mengorganisasi aksi unjuk rasa buruh PT Sritex, di daerah Sukaharjo pada 11 Desember 1995. Ia menyaksikan bagaimana para aparat akhirnya dengan membabi buta menghentikkan aksi unjuk rasa ini, “Saya mendengar ibu-ibu menjerit ketakutan. Tapi jeritan itu tak bisa menghentikan pukulan.”
Wiji Thukul sendiri mengalami luka permanen di mata kanannya, dan nyaris buta setelah dibenturkan ke jip oleh polisi. Mengalami derita dan kekerasan Wiji Thukul makin gencar mengobarkan api perlawanan. Melalui berbagai selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda pro-demokrasi. Rezim Orde Baru segera mengecap Wiji Thukul sebagai penghasut dan agitator. Ketika pendeklarasian berdirinya PRD pada 22 Juli 1996 Wiji Thukul membacakan “Sajak Suara” dan “Peringatan” di depan publik, yang menjadi deklamasi puisinya yang terakhir di depan publik sebelum akhirnya peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Juli) terjadi. Saat itu PRD menjadi partai yang terlarang dan status Thukul menjadi buronan.
Wiji Thukul akhirnya mengembara dan mengasingkan diri dari satu kota ke kota yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain. Jejak persembunyian dari Wiji Thukul tercatat muncul dari daerah Jakarta, Bekasi, Pontianak, Bengkulu dan Yogyakarta. Wiji Thukul pun sempat kembali aktif di PRD pada Maret 1997 dan menjabat sebagai Ketua Divisi Propaganda PRD. Namun pencarian aparat yang gencar dan menyebar ke seluruh wilayah memaksa Wiji Thukul untuk bergerak secara bawah tanah. Sebuah panggilan telpon yang ditunjukkan kepada Sipon saat kerusuhan Mei 1998 yang menjadi bulan klimaks dari Orde Baru menjadi kabar terakhir dari dirinya, dan Wiji Thukul raib hingga kini.
Kita mengenal Wiji Thukul melalui puisinya, dalam stanza dan pilihan kata yang sederhana, namun sarat akan makna pergerakan. Wiji Thukul menunjukkan bahwa sastra dan kesenian dapat menjadi sebuah simbol perlawanan, dan rakyat kecil juga dapat turut bersuara. Kita terinspirasi akan makna kebebasan, terlepas dari keberadaannya yang lenyap dan hilang entah kemana. Namun layaknya sebuah biji yang terus tumbuh, Wiji Thukul tetap ada dan terpotret dalam salah satu penggalan sajaknya, “Aku memang masih utuh, dan kata-kata belum binasa”.
Penulis : Septyawan Akbar
TAG: #aspirasi #demokrasi #humaniora #karya-sastra