» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Hasan Tiro dan GAM : Senjakala Merah di Tanah Rencong
24 Mei 2018 | Mild Report | Dibaca 2655 kali
Senja Merah Di Tanah Rencong, Berganti Kembali Menjadi Jingga: - Foto: Muhammad Alfi Rahman
Hasan Tiro menjadi pelopor pembentukkan GAM di Aceh. Ketimpangan yang terjadi di Negeri Serambi Mekah tersebut membuatnya memilih untuk melawan demi mendapatkan hak dan keadilan. Retrospeksi kisah lain yang terjadi di Aceh dalam prahara GAM dan pemerintah pusat. Indikasi pelanggaran HAM yang terjadi, dan kemunculan Hasan Tiro sebagai figur dominan

retorika.id - Kemerdekaan Indonesia hampir menginjak 30 tahun. Gegap gempita bergemuruh dimana-mana, khususnya di Jawa. Namun bagi mereka yang ada di Sumatera, mereka kecewa dengan sikap pemerintah. Sebab, meskipun mereka merasakan kemerdekaan, namun perekonomian di daerah mereka menjadi lebih buruk dibandingkan ketika era kolonial.

Kala itu Aceh menjadi pendulang APBN terbesar se-Indonesia. 14% dari total APBN didulang dari ladang-ladang minyak yang berada di bumi rencong, namun hanya 1% yang dianggarkan pusat kedalam APBD Aceh.  Hal ini kontan menambah kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat.

Dr. Teungku Hasan Muhammad Di Tiro atau yang dikenal Hasan Tiro, pulang dari perantauannya di negeri Paman Sam. Sebagai seorang Teungku, ia muncul di Aceh sebagai sosok yang sangat didambakan. Hasan Tiro merasakan kekecewaan yang sama dengan masyarakat Aceh atas aksi pemerintah pusat. Ia pun meluapkan kekecewaan tersebut di dalam bukunya yang berjudul The Price of Freedom.

Sebelumnya Hasan Tiro sudah menjadi perbincangan karena kedekatannya dengan Daud Bureureh, pemimpin DI/TII di Tanah Rencong. Berbagai perjanjian strategis dilakukan oleh Hasan Tiro dan Bureureh, dan yang paling terkenal adalah perjanjian senjata yang dibeli oleh Hasan Tiro dengan harga 1 juta untuk beberapa ratus pucuk. Namun sayangnya senjata yang ditunggu tak kunjung datang. Hal ini menjadikan Daud Bureureh turun gunung dan mendeklarasikan perdamaian dengan pemerintah pusat.

 

Awal Mula Pergerakan dan Tujuannya

Tanggal 4 Desember 1974, di tengah rimba hutan dengan sejuknya hawa Gunung Halimun, Hasan Tiro dan beberapa pengikutnya mendeklarasikan pendirian Gerakan Aceh Merdeka. Hal ini dilatarbelakangi adanya dua alasan, yakni alasan historis dan simbolik.

Sebagai seorang Teungku dan keturunan ketiga Teungku Chik Muhammad Saman di  Tiro seorang pemimpin perjuangan Aceh melawan Belanda, ia memimpin barisan pergerakan yang ia sebut sebagai rennaisance yang harus dilaksanakan. Ia bertumpu kepada nilai-nilai historis Aceh yang “luar biasa”, bahkan menyebut Aceh tidak pernah dijajah Belanda. Ini terjadi karena pergerakan-pergerakan rakyat Aceh yang sangat intens terhadap Belanda, meski secara de facto sudah terjajah.

Secara simbolikpun demikian, ia merasa ketidakadilan terjadi. Ia mengingatkan kembali kepada sejarah bagaimana Aceh berjuang bersama Indonesia melawan Belanda dan meminta Status Otonomi Khusus yang tidak kunjung diberikan. Sejak zaman Bung Karno hingga gerakan Daud Bureureh diletupkan, Aceh belum juga ditetapkan sebagai Provinsi dengan Status Otonomi Khusus di Indonesia.

Tahun 1975 menjadi awal dari pergerakan Hasan di Tiro, ia turun gunung  dan mengedukasi masyarakat Aceh tentang politik, historis, dan ketimpangan antara Jawa dan Sumatera. Semakin lama semakin banyak pengikutnya, hal inipun berhasil diendus pemerintah pusat, sehingga tidak butuh waktu lama bagi pemerintah pusat untuk menurunkan pasukan demi menumpas anggota-anggota GAM.

Sensitivitas pemerintah pusat dinilai sebagai


arogansi yang berlebihan. Operasi penumpasan GAM gelombang I ini berhasil membunuh lebih dari 100 orang anggota GAM. Akibatnya, Hasan Tiro harus meninggalkan Aceh meskipun sempat ditembak kakinya sebelum berhasil lolos ke Malaysia dan pergi ke Stockholm, Swedia untuk waktu yang tidak ditentukan. GAM sempat menghilang ketika Hasan Tiro meninggalkan Aceh. Sosok yang kharismatik ini hanya meninggalkan ilmu, ilmu yang harus dilawan dengan berondongan peluru.

Di Swedia, Hasan Tiro bertemu Zaini Abdullah, seorang dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis di Swedia dan tertarik dengan pergerakan Hasan Tiro. Mereka sepakat bahwa Aceh harus segera merdeka. Zaini pulang, sebagai seorang dokter ia dihormati masyarakat dan mengonsolidasi kekuatan.

GAM kali ini lebih siap untuk melawan pemerintah pusat, GAM sudah melatih beberapa anggotanya ke Libya dan mendapat pasokan senjata dari Pattani di Thailand. Konsolidasi kekuatan dilakukan dengan cara gerilya dari hulu hingga hilir. Juga belajar dari Perang Vietnam dengan menjebak prajurit TNI yang berjalan di antara hutan-hutan rimba Aceh.

Aceh semakin membara dengan terbunuhnya beberapa prajurit TNI yang masih berlaku operasi GAM I. Pemerintah pusat segera tanggap mengenai masalah ini dan mengirim pasukan tambahan dan memberi nama operasi ini sebagai Operasi Penumpasan GAM Gelombang II atau Operasi Jaring Merah.                                        Prajurit TNI yang naik turun gunung beberapa kali terjebak dengan siasat tembak-lari dari GAM yang membingungkan prajurit. Akibatnya prajurit TNI makin kewalahan kelimpungan dengan pergerakan pejuang dari Tanah Rencong ini.

 

Gerakan Separatisme dan Indikasi Pelanggaran HAM di Aceh

Sebagian besar daerah Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Hal ini mengundang kontroversi, utamanya dari berbagai analisis Hak Asasi Manusia menyatakan kejahatan yang dilakukan TNI ini sudah kelewat batas. Mereka yang tidak bersenjata – mulai dari anak-anak hingga dewasa, laki-laki maupun perempuan – banyak yang terbunuh dalam Operasi Jaring Merah ini.

Hal-hal seperti ini menjadikan GAM mengendurkan intensitas penyerangannya, dan mereka menjadi ketakutan jika harus menghadapi kekuatan pemerintah pusat tersebut. GAM yang dulunya masuk hingga ke kota-kota besar di Aceh, kini hanya berkutat di desa-desa dan hutan rimba.

Kejatuhan Soeharto di Jakarta memulai babak baru. GAM semakin intens menggalang kekuatan dan akhirnya simpati dari masyarakat pun berhasil didapatkan. Kemunduran penjagaan dari pasukan TNI dimanfaatkan GAM untuk segera mengonsolidasi kekuatan dan memobilisasi massa. Pasukan TNI yang ada Aceh dalam perkembangannya banyak ditarik dan dipindahtugaskan untuk menjaga referendum di Timor Timur.

Semangat referendum di Timor Timur membakar semangat rakyat Aceh. Masyarakat Aceh tumpah ruah turun ke jalan, Referendum, tak lupa selingan berupa pekikan kejelekan pemerintah Indonesia di mata rakyat Aceh.

Prajurit TNI terlampau geram ketika, sontak mereka menumpahkan tinta kasus-kasus pelanggaran HAM disini. Seperti kasus pesantren milik Teungku Bantaqiyah yang dibantai Prajurit TNI. Satu kompi prajurit datang tanpa sepatah kata, menyusup, dan memberondong santri serta memasukkan mereka kedalam septic tank.

Di Simpang Kertas Kraft Aceh atau yang dikenal denan KKA masyarakat tumpah ruah menyuarakan referendum seperti apa yang dilakukan pemerintah terhadap Timor Timur. Masyarakat mulai meneriaki referendum dan memaki pemerintah pusat. Muak mendengar hal ini, salah satu prajurit akhirnya menarik pelatuk AK-47 dan memberondong habis satu magazin. Akibatnya, lebih dari 40 orang tewas dalam peristiwa kemanusiaan tersebut.

Kondisi Aceh semakin muram. Beberapa warga dari luar Aceh yang saat itu tinggal di Aceh ketakutan, hingga satu per satu dari mereka melarikan diri dari Aceh kembali ke kota asal masing-masing. Asap-asap kendaraan yang dibakar membumbung tinggi, nama Hasan Tiro kembali didengungkan dalam berbagai unjuk rasa.

Pemerintah pusat dibawah kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid mencoba pendekatan yang lebih manusiawi. Gus Dur menghendaki Otonomi Khusus Daerah dengan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh dan penamaan ulang Provinsi Aceh menjadi Nangroe Aceh Darussalam, yang berarti Negeri Aceh yang Damai. Namun apa daya, semangat kemerdekaan sudah terbakar dan sukar dipadamkan, gerilya dimulai lagi dan seluruh pasukan GAM bersiap siaga untuk referendum.

Tampuk kepemimpinan pun beralih tangan, Gus Dur digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Sang Presiden baru melihat hal ini sebagai hal yang harus tumpas, karena hal ini sudah mengganggu stabilisasi NKRI. Operasi Rencong dilancarkan. Aksi Brimob dan Kostrad dalam menguasai kota-kota strategis membuat GAM semakin kocar-kacir. Masyarakat yang dulu pernah mengalami masa suram dengan aparat, kini dengan berani melempar batu dan mengumpat di depan mereka.

Operasi Rencong terus diberlakukan hingga ke gunung-gunung. Faktor medan yang sulit dan kesiapan pasukan GAM menyebabkan tidak sedikit prajurit Brimob dan Kostrad yang meregang nyawa di Tanah Rencong tersebut. Prajurit Brimob dan Kostrad kelimpungan untuk kedua kalinya, kali ini lebih sulit karena masyarakat seakan-akan mengusir. Ditambah dengan pasukan GAM yang memiliki kemampuan komponen senjata hampir setara dengan Prajurit Brimob dan Kostrad, membuat pihak TNI dan Polri kewalahan mengatasi hal ini.

Pemerintah pusat hampir menemui jalan buntu, sebab mereka hanya mengandalkan strategi dan siasat militer karena sudah sulitnya akses integrasi disini. Namun di saat kebuntuan ini sudah hampir tercapai, bencana besar melanda negeri rencong tersebut.

 

Bencana Tsunami Aceh tahun 2004, dan Klimaks Pergerakan Hasan Tiro

Gempa bumi dan Tsunami tahun 2004 menyisakan pilu bagi seluruh rakyat Indonesia. Aceh menjadi tempat paling parah dalam menerima bencana ini, lebih dari 800.000 jiwa menjadi korban dalam bencana alam tersebut. Seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia, bahu membahu membantu warga Aceh yang ditimpa musibah tersebut.

Berbagai pihak sama-sama menundukan kepala, mengheningkan cipta, dan mengingat akan kuasa-Nya. Pasukan GAM satu-persatu mulai turun gunung dan membantu saudara-saudaranya, serta turut membantu Prajurit Brimob dan TNI meletakkan senjata dan menyingsingkan lengan baju untuk membantu warga Aceh.

Presiden Yudhoyono yang saat itu memimpin, segera menetapkan keadaan darurat nasional dan menjadikan hari itu sebagai hari berkabung nasional untuk masyarakat Aceh. Presiden meminta kita untuk melupakan luka lama saling membantu untuk kemaslahatan bersama. Hal ini juga diamini oleh Pemimpin Gerakan Aceh Merdeka yaitu Malik Mahmud yang turun langsung untuk menenangkan situasi dan menyingsingkan lengan baju untuk terjun membantu korban Tsunami.

Hasan Tiro mengungkapkan duka yang mendalam bagi tanah kelahirannya tersebut. Ia kemudian dihubungi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memprakarsai perdamaian di antara GAM dan pemerintah Indonesia. Hasan Tiro pun mengamini usulan wakil presiden itu. Aksi keduanya disaksikan oleh Mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari yang siap menjadi saksi perdamaian kedua belah pihak.

Diwakili oleh Hamid Awaludin, Republik Indonesia menandatangani MoU Helinski, atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Pakta Helinski. Ketegangan Aceh dan Indonesia yang selama ini menghiasi akhirnya padam. Warga Acehpun berterimakasih kepada masyarakat Indonesia dan Dunia karena bantuan yang diberikan.

Melihat kondisi itu, Hasan Tiro ingin kembali ke tanah peraduannya. Ia mengungkapkan kebahagiaannya ketika melihat Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam yang sebenarnya. Ia mengingatkan kepada masyarakat Aceh agar tetap menjaga perdamaian, ketika beorasi di depan Masjid Baiturrahman. Meski begitu ia tidak bisa berlama-lama di Indonesia karena status kewarganegaraannya sudah dicabut.

Didasari atas hal itu, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan pemberian kembali kewarganegaraan Indonesia terhadap Hasan Tiro, karena keinginan Hasan Tiro sendiri untuk menjadi WNI. Akhirnya Presiden SBY menyetujuinya, dan tanggal 2 Juni 2010 Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menandatangani Surat Kewarganegaraan Hasan Tiro.

Namun dengan kondisi kesehatan yang semakin memburuk, Hasan Tiro menghembuskan nafas terakhirnya keesokan harinya yakni tanggal 3 Juni 2010. Masyarakat Aceh berduka, karena menurut sebgaian rakyat Aceh, selain sebagai seorang Teungku , Hasan Tiro telah membuat pemerintah pusat tertarik terhadap kondisi Aceh yang sebenarnya. Aceh yang menyumbang APBN terbesar, dan Aceh yang penuh dengan noda pelanggaran HAM.

 

Referensi :

Buku Sejarah Perjuangan Pergerakan Aceh (2008) merekam jejak sejarah perjuangan Hasan Tiro dan GAM

Unfinished Story of Aceh ( 2010 )

Konflik dan Integrasi Politik GAM ( 2008 )

Aceh : Serambi Martabat ( 2007 )

 

Penulis : Muhammad Alfi Rahman


TAG#demokrasi  #demonstrasi  #pemerintahan  #politik