» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Meninjau Peran Perempuan di Ranah Politik Indonesia
25 Mei 2018 | Opini | Dibaca 1822 kali
Meninjau Peran Perempuan di Ranah Politik Indonesia: - Foto: RJ Blog
Perempuan sudah lama termarginalkan di dunia politik karena perannya dalam partisipasi dan pengambilan keputusan politik masih dianggap lemah. Hal inilah yang membuat peran perempuan sebagai pemimpin dan agen perubahan masih sangat kecil, di dunia yang mengagung-agungkan demokrasi ini. Lalu, seberapa besar urgensi perwakilan politik perempuan dalam perpolitikan Indonesia?

Kesadaran individual perempuan mengenai penuntutan kesetaran hak semakin hari semakin membaik dan tidak sedikit perempuan yang bisa menjadi salah satu agen perubahan yang berdampak cukup luas di masyarakat. Kesadaran para perempuan Indonesia mengenai ini, salah satunya ditandai dengan Women’s March pada bulan Maret lalu yang diselenggarakan di beberapa kota besar di Indonesia. Namun, arena “pertarungan” bagi perempuan secara keseluruhan di berbagai bidang, khususnya bidang politik, dinilai masih belum sejajar dengan laki-laki. Dominasi laki-laki dalam partisipasi politik di dunia masih tinggi, termasuk di Indonesia.

Perempuan sudah lama termarginalkan di dunia politik karena perannya dalam partisipasi dan pengambilan keputusan politik masih dianggap lemah. Hal ini lah yang membuat peran perempuan sebagai pemimpin dan agen perubahan masih sangat kecil di dunia yang mengagung-agungkan demokrasi ini. Diambil dari laman unwomen.org, Majelis Umum PBB 2011 mengatakan bahwa perempuan di seluruh dunia terus terpinggirkan dari ranah politik karena berbagai alasan, seperti akibat dari sistem peraturan perundang-undangan suatu negara, sikap diskriminatif yang disertai dengan stereotip gender,


dan tingkat pendidikan yang rendah.

Secara internasional, peran perempuan dalam representasi politik memang sudah menjadi perhatian besar dan konvensi perihal peran perempuan dalam representasi politik  pun juga sudah  terselenggara, sebut saja Convention on Political Rights for Women dan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang diselenggarakan oleh PBB pada 1952 dan 1979 (Rahmatnnisa 2016). Walau lebih dari 98% negara di dunia sudah ikut meratifikasi konvensi-konvensi ini, namun sayangnya hal ini belum memperkuat peran perempuan dalam partisipasi politik. Rahmatnnisa (2016) menuliskan bahwa pengakuan formal kesetaraan dalam politik saja tidak cukup untuk membuat perempuan melawan hambatan sosial, ekonomi, dan politik yang dialami oleh mereka. Harus ada jaminan yang lebih kuat bagi perempuan dalam partisipasi politik, salah satunya melalui kebijakan affirmative action.

Affirmative action ini hadir untuk menguatkan posisi perempuan dalam representasi politik secara kuantitatif. Menurut Powley (dalam Rahmatnnisa 2016), berdasarkan kajian berbagai ahli, persyaratan minimal untuk menguatkan posisi perempuan dalam representasi politik adalah sebanyak kuota 30%. Persyaratan ini telah disepakati sejak dua dekade lalu dalam Beijing Declaration and Platform for Action dan telah diratifikasi oleh beragam lembaga-lembaga skala nasional serta internasional di seluruh dunia. Kanter (dalam Chen 2010) mengatakan bahwa pengaruh representatif perempuan akan sulit diabaikan jika jumlah kehadiran mereka signifikan dan kuota minimal 30% ini dapat membantu kaum perempuan dalam membentuk koalisi serta meningkatkan pengaruh mereka dalam proses pengambilan keputusan (Rahmatnnisa 2016).

Lalu, seberapa besar urgensi perwakilan politik perempuan dalam perpolitikan Indonesia? Lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, namun pengaruh mereka dalam politik dan pemerintahan sangat lah minim (undp.org, diakses 21/4/2018). Budaya patriarki di Indonesia masih sangat kuat dan dunia politik pun masih dianggap sebagai “dunia laki-laki”. Kuota minimal 30% ini memang sudah lama hadir di Indonesia, namun nyatanya perwakilan perempuan di parlemen masih belum mencerminkan demografi Indonesia. Jika jumlah wakil perempuan yang hadir di parlemen saja tak bisa mewakili persentase jumlah penduduk perempuan di Indonesia, bagaimana bisa suara perempuan Indonesia terwakili? Bahkan, dilansir dari laman undp.org,para anggota parlemen perempuan pun lebih sering ditugaskan dalam urusan mengenai isu-isu perempuan, bukan dalam urusan pertahanan dan keamanan negara.

Perwakilan politik perempuan penting untuk diwujudkan juga demi mewujudkan kesetaraan serta menjalankan asas demokrasi dengan baik. Lembaga Inter Paliamentary Union (1999) mengatakan bahwa demokrasi akan berjalan dengan baik ketika ada kerja sama nyata (genuine partnership) antara perempuan dan laki-laki dalam mengurus berbagai masalah kemasyarakatan (Rahmatnnisa 2016). Perempuan dan laki-laki wajib bekerja setara dan saling melengkapi perbedaan dan kebutuhan masing-masing pihak demi mewujudkan proses demokrasi yang baik. Hak tiap-tiap warga masyarakat yang dijunjung tinggi oleh demokrasi tidak akan pernah dapat diwujudkan jika perwakilan politik perempuan tidak hadir untuk menyuarakan pendapat dan kebutuhan mereka serta tidak terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan.

 

Referensi

"Indonesia: A Political Ground Shift for Women." United Nations Development Programme Web Site. n.d. http://www.undp.org/content/undp/en/home/ourwork/ourstories/indonesia-a-political-ground-shift-for-women.html (diakses April 21, 2018).

Rahmatnnisa, Mudiyati. "Affirmative Action dan Penguatan Partisipasi Politik Kaum Perempuan di Indonesia." Jurnal Wacana Politik, Vol. 1, No. 2, 2016: 90-95.

"What we do: Women’s Leadership and Political Participation." UN Women. n.d. http://www.unwomen.org/en/what-we-do/leadership-and-political-participation (diakses April 21, 2018).

 

Penulis : Pulina Nityakanti Pramesi


TAG#demokrasi  #gender  #pemerintahan  #politik