Aku mengeluarkan lembaran-lembaran foto yang kusimpan di dalam tas selempang maroon-ku. Foto-foto lima tahun yang lalu, saat aku masih duduk di SMA. Aku menatap foto-foto itu satu persatu. Bahkan sebelum menoleh ke belakang, aku sudah tau bahwa saat ini, sosok dalam foto itu tak lagi berada dalam jarak ribuan kilometer jauhnya. Dia ada di sini lagi, bersamaku.
retorika.id - Aku termenung menatap jalanan melalui jendela mobil. Aku ingat, saat itu kami –aku dan lelaki itu– duduk di warung tenda kuning Bu Ani sambil menyantap soto ayam dan es teh favoritku. Kukatakan padanya, aku tidak mau memakan kuning telur rebus yang ada di dalam mangkuk sotoku, dan kemudian ia memakannya. Ia menyantap bersih kuning telur yang tadinya menempel pada putih telur di mangkuk sotoku, seolah-olah dia sangat paham bahwa aku sangat tidak menyukai kuning telur pada telur rebus –satu hal yang sangat aku suka darinya.
Aku mengeluarkan lembaran-lembaran foto yang kusimpan di dalam tas selempang maroon-ku. Foto-foto lima tahun yang lalu, saat aku masih duduk
di SMA. Aku menatap foto-foto itu satu persatu. Tiba-tiba fokusku jatuh kepada sebuah foto yang menampilkan aku–yang sedang mengenakan seragam SMA–sedang duduk sambil menyilangkan kaki di atas sebuah motor bersama seorang laki-laki yang berdiri di sampingku. Foto ini mengingatkanku bahwa dulu, aku pun pernah mengalami kisah cinta SMA seperti yang ada dalam kisah novel dan sinetron.
Dia adalah Ardi. Ardian. Dulu kami sering pulang sekolah berdua menggunakan sepeda motornya yang selalu ia kendarai kemana pun. Seperti pasangan remaja yang lain, sesekali kami akan mampir ke tempat-tempat yang sekiranya cocok untuk kami berkencan sepulang sekolah, sebelum ia mengantarku ke rumah. Tapi itu dulu.
Kemudian aku melanjutkan menatap lembaran-lembaran foto di tanganku. Lagi-lagi fokusku tertuju pada sebuah foto. Foto saat pentas seni sekolah. Aku ingat, tahun itu aku ditunjuk sebagai perwakilan kelas dalam ajang fashion show yang selalu diadakan setiap pensi. Aku juga ingat, saat itu Ardi memalingkan wajahnya ketika aku bertanya apakah penampilanku cukup bagus. Awalnya, kukira dia cemburu karena aku melakukan fashion show berpasangan dengan laki-laki lain yang merupakan salah satu teman kelasku, bukan dengannya–tentu saja! Kami kan tidak sekelas–tapi belakangan aku tahu bahwa dia bukan cemburu. Dia hanya terlalu malu untuk memuji penampilanku saat itu.
Sekali lagi aku menatap ke luar jendela, memandangi jalanan dekat sekolah yang dulu kami lalui sambil menuntun motor Ardi–yang saat itu sedang mogok–berdua. Dia berkali-kali bertanya apakah aku lelah, dan berkali-kali pula kujawab “tidak”. Aku selalu menikmati saat-saat bersamanya.
Aku turun dari mobil dan melangkah menuju gedung sekolah SMA-ku. Aku memandang sekitar sambil memutar kenangan masa lalu bersama Ardi yang masih bisa kuingat. Dari arah belakang, aku mendengar namaku disebut.
“Aliya!”
Bahkan sebelum menoleh ke belakang, aku sudah tau bahwa saat ini, sosok Ardi tidak lagi berada dalam jarak ribuan kilometer jauhnya. Dia ada di sini lagi, bersamaku.
Penulis : Sang Ayu Putu Yuanita Pramesti (Ilmu Komunikasi 2017)
TAG: #cerpen #karya-sastra #romansa #