Prahara 1965 pasca G30S/PKI mengarah kepada dilantiknya Pranoto Reksosamudro menggantikan A. Yani yang gugur saat prahara ini. Namun, pasca naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, manuver politik dilakukan untuk menggantikan Pranoto, dalam mozaik sejarah prahara 1965. Hilangnya jejak jenderal pilihan Soekarno.
retorika.id - Ketika 1 Oktober 1965, Presiden mendengar beberapa kabar burung tentang kejadian terbunuhnya Jenderal-Jenderal dan Perwira Angkatan Darat, Presiden langsung berinisiatif untuk memilih Menteri – Panglima Angkatan Darat caretaker untuk mengondisikan dan menertibkan keadaan. Lantaran saat itu Letnan Jenderal Ahmad Yani gugur dalam pembunuhan para Jenderal di Lubang Buaya, Jakarta Selatan. Keadaan menjadi genting. Banyaknya Perwira Angkatan Darat yang gugur dalam pembunuhan itu, mengecilkan pilihan-pilihan bagi Presiden untuk memilih caretaker yang memungkinkan sepaham baginya. Tak kehabisan akal, Presiden Soekarno memilih seorang Jenderal muda, 42 tahun umurnya, yang saat itu menjabat Asisten III / Menteri Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro.
Huru-Hara dan Pemilihannya Menjadi Panglima
Jenderal muda itu dipilih Presiden Soekarno menjadi caretaker Menteri / Panglima AD (Menpangad), menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang menghilang dalam gerakan tersebut, tak ada alasan khusus mengenai pilihannya itu. Banyak pihak menilai, alasan personal dan sikap loyalitas Pranoto-lah yang menjadi alasan tersendiri bagi Presiden Soekarno untuk memilihnya. Pemilihan ini tak pelak mendapatkan tentangan dari Perwira Angkatan Darat lain, apalagi semenjak sentimen anti-presiden menguat di kalangan prajurit-prajurit TNI.
Menurut Restu Gunawan dalam bukunya, Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan Bermula hal. 61, dinyatakan bahwa pilihan Presiden Soekarno itu ditentang oleh Perwira Tinggi lain, termasuk Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto menganggap Letnan Ahmad Yani jika hidup tak akan memilih Pranoto sebagai caretaker-nya meskipun dalam keadaan mendesak sekali pun. Apalagi dalam pemilihan tersebut, lebih lanjut Presiden Soekarno memilih dua orang Perwira Pembantu (Paban) Asisten Personil daripada Mayor Jenderal Pranoto sebagai Menpangad, adalah Kolonel Swasono dan Kolonel Moestofa Soedirjo, perwira yang dikenal pro-PKI sejak awal.
Kuatnya desakan kontra terhadap kebijakan Presiden Soekarno dari prajurit-prajurit Angkatan Darat, membuat Soeharto yang dianggap beberapa pihak sebagai ‘yang dituakan’ dalam tingkat Perwira Angkatan Darat merasa terdesak. Keputusan Soeharto untuk menolak keputusan Soekarno disetujui banyak pihak dalam tubuh Angkatan Darat sendiri.
Dalam memoarnya, Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra, Pranoto menyatakan, “Atasdasar panggilan dari utusan-utusan Presiden / Pangti tersebut di atas, saya pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Soeharto. Akan tetapi, Mayjen Soeharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden / Pangti dengan alasan bahwa dia (Mayor Jenderal Soeharto) tidak berani mereskir (menjamin, ed.) kemungkinan 3 tambahnya korban Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menanti perintahnya untuk tinggal di MBAD.”
Esok harinya, 1 Oktober 1965, Jenderal Abdul Haris Nasution datang ke Markas Besar Angkatan Darat. Sebagaimana hal itu juga dijelaskannya lebih lanjut dalam memoarnya sebagai berikut, “Pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar 19.00 WIB saya dipanggil oleh Jenderal Nasution, Kepala Staff Angkatan Bersenjata, di markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat. Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh Mayjen Soeharto, Mayjen Moersyid, Mayjen Satari, dan Brigjen. Oemar Wirahadikoesoemah. Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh Presiden / Pangti untuk menjabat sebagai Caretaker Menpangad yang selanjutnya menanya kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi. Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatannya secara resmi secara hitam di atas putih.”
Gagal Jumpa Pers, Awal Mula Malapetaka
Akibat penolakan akan
pengangkatan dirinya itu, Mayor Jenderal Pranoto, mendapat beberapa cercaan dan fitnah dari berbagai institusi maupun dari media. Pranoto dianggap sebagai penghianat Panglima Tertinggi Presiden Soekarno. Jenderal Nasution yang paham akan keadaannya, memberinya kesempatan untuk menjelaskan keadaannya dalam “jumpa pers”di Senayan esok pagi, tanggal 2 Oktober 1965, untuk mengklarifikasi terkait penolakannya menjadi Menpangad.
Dalam memoarnya dilanjutkan, bahwa Pranoto tidak begitu berminat untuk menjabat sebagai caretaker, tapi mengusahakan ketertiban terlebih dahulu, terlepas dari siapa pun itu yang memimpin. “Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden / Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pangkostrad (Mayjen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan Pimpinan AD.”
Esok hari, ketika jumpa pers telah dipersiapkan, Presiden Soekarno memanggil beberapa Perwira Tinggi termasuk Mayor Jenderal Pranoto dan Mayor Jenderal Soeharto menuju
Istana Bogor, dengan terpaksa jumpa pers akhirnya ditunda. Tidak hanya untuk sementara, tapi untuk selamanya, karena setelah itu tak pernah Mayor Jenderal Pranoto tidak pernah lagi mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan keadaannya lewat “Jumpa Pers”.
Istana Bogor, Meredupnya Hegemoni dan Pamor
Dalam rapat di Istana Bogor itu, Soekarno masih saja getol untuk mengangkat Pranoto menjadi Menpagad. Tentu hal ini membuat sakit hati Jenderal Soeharto. Soeharto dengan perasaan marah, mengungkapkan bahwa, “Bapak Presiden, pada kesempatan ini saya juga ingin melaporkan bahwa atas inisiatif saya sendiri, saya telah mengambil komando dan mengambil alih sementara pimpinan Angkatan Darat. Inisiatif ini saya ambil karena biasa apabila Jenderal A Yani berhalangan selalu saya yang ditunjuk mewakili beliau. Selain daripada itu, untuk menjaga kekosongan pimpinan AD, dan untuk memberi ketenangan kepada umum dan para Panglima Kodam, inisiatif saya itu sudah saya umumkan lewat RRI.”
Belum sempat dijawab oleh Presiden, Soeharto meneruskan pernyataannya, “Tetapi, saat ini karena Bapak Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian, dan supaya jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam Angkatan Darat, saya serahkan tanggung jawab keamanan ini dan ketertiban umum pada pejabat baru.”
Pernyataan marah Soeharto itu didengar oleh Soekarno. Tak enak hati melihat jasa-jasa Soeharto menertibkan keadaan, Presiden Soekarno berkilah bahwa, "Jangan, bukan maksud saya begitu. Harto tetap bertanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban."
"Lantas dasar saya apa? Dengan tertulis Bapak telah mengangkat Mayor Jenderal Pranoto dan harus ditaati. Orang bisa mengira, saya ini tidak tahu diri, ambisius dan tidak patuh. ‘Kan repot Pak," kata Soeharto.
Atas pertimbangan Presiden Soekarno dengan mendengar penjelasan Mayor Jenderal Soeharto. Diputuskan pada hari itu, bahwa Mayor Jenderal Soeharto yang menjadi caretaker Angkatan Darat dan menyerahkan urusan sehari-hari (daily duty) kepada Mayor Jenderal Pranoto. Tak pernah ia jelaskan kepada publik, mengapa ia menolak perintah penting dari Presiden Soekarno, membuat citranya memburuk hari demi hari.
Menjadi Perwira Tak Berpegangkan Senjata
Diangkatnya Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengurus utama sehari-hari Angkatan Darat, sebenarnya dapat disejajarkan dengan jabatan Menpangad dalam mengatur kebijakan, serta mengatur huru-hara restrukturisasi dalam tubuh Angkatan Darat. Akhirnya, Soeharto menempatkan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro menjadi Staf Umum Angkatan Darat. Di mana ia sendiri, ditempatkan dalam posisi yang tidak jelas.
Pranoto tiba- tiba ditempatkan sebagai pembantu Kepala Staf Angkatan Darat pada 4 Oktober 1965. “Tanggal 4 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayjen. Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan 4 membentuk susunan staf-nya yang baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD,” tulisnya dalam memoarnya.
Sikap yang dilakukan Soeharto terhadap Pranoto, mendapat banyak sekali pro-kontra dalam tubuh Angkatan Darat sendiri. Pasukan-pasukan yang loyal terhadap Pranoto, sangat menolak keputusan Soeharto, apalagi sempat ada isu bahwa Pranoto akan ditempatkan sebagai Pangkostrad. Hal ini tentu menambah kekecewaan beberapa prajurit setelah mengetahui pimpinan mereka ditempatkan ditempat yang tidak semestinya.
Tapi semua itu cepat berlalu, apalagi negara dalam keadaan kacau balau. Pelan tapi pasti, nama Pranoto mulai tenggelam dalam hiruk pikuk kekacauan massa yang terjadi antara tahun 1965 - 1966. Santer di mana-mana, orang dengan bangganya menyebut nama Soeharto daripada Pranoto, yang secara langsung menenggelamkan hegemoninya.
Masuk Penjara dan Nista
Karena hegemoni Soeharto yang menguat, Soekarno berusaha mencari-cari celah untuk Mayor Jenderal Pranoto agar dapat menggantikan posisi Soeharto saat itu. Hal ini terjadi karena Presiden Soekarno berusaha menempatkan orang-orang pilihannya dalam tempat-tempat yang strategis. Hal ini tentu dengan cepat dirasakan oleh Letnan Jenderal Soeharto.
Maka, dengan legitimasi yang didapatkan oleh Letnan Jenderal Soeharto, tertanggal 16 Februari 1966, sebagaimana yang ditulisnya secara gamblang dalam memoarnya bahwa, “Tanggal 16 Februari 1966, atas perintah dari KASAD Mayjen Soeharto, saya ditahan Di Blok P Kebayoran Baru Jakarta dan dituduh terlibat dalan G.30 S/PKI, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966”. Pranoto ditahan atas dugaan keterlibatannya dalam upaya-upaya G30S, dugaan yang dianggapnya tidak mendasar.
Pranoto yang sebelumnya sempat ditahan di MBAD, tertanggal 7 Maret dipindah status tahanan sebagai tahanan rumah. “Dengan perubahan status penahanan dari Ketua Tim Pemeriksa Pusat, tersebut dalam Surat Perintahnya No.Print. 018/TP /3/1966 saya mendapatkan perubahan penahanan rumah mulai pada tanggal 7 Maret 1966,” tulis Pranoto dalam memoarnya.
Tak ada upaya khusus darinya, Pranoto terlihat pasrah, dan memang menginginkan kepasrahan. Sebagai orang bernegara yang baik, Pranoto hanya menunggu peradilan, agar ia dapat membuktikan apa-apa saja yang dituduhkan adalah fitnah dengan bukti- bukti yang disiapkannya.
Dalam berbagai catatan, meski berstatus sebagai tahanan rumah, Pranoto masih sering memengaruhi pikiran pasukan loyalisnya, apalagi sentimen tentang Soeharto menguat dalam tubuh loyalis Pranoto. Mereka tidak terima dengan kejadian ini, terus menerus mereka berupaya agar pembentukan mahkamah dan peradilan disenggelarakan dengan cara saksama. Namun ketika peradilan yang dinanti-nanti akan berlangsung, para loyalisnya tiba-tiba menghilang, peradilan tidak jadi dilaksanakan. Semakin reduplah pengaruh Pranoto dalam tubuh Angkatan Darat maupun dalam bermasyarakat.
Ketika pengaruh Pranoto menghilang, ia tiba-tiba dipindah tahankan dari rumahnya menuju Tahanan Militer di Nirbaya. “Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan yang sama,” tulis Pranoto.
Tak sampai disitu, Pranoto diberhentikan sebagai anggota aktif TNI Angkatan darat lewat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI, No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20 November 1970, ditandatangani oleh Jenderal Maraden Panggabean. Semua aset-aset dan upah dalam keanggotaan dinas Angkatan Darat diputus. Tapi, Pranoto masih merasa menjadi Prajurit Angkatan Darat, dikarenakan, “Surat Pemberhentian ataupun Pemecatan secara resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak pernah saya terima,” tulisnya.
Atas dasar Keputusan Komkamtib, No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981, lewat Surat Perintah TEPERPU No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, Pranoto dibebaskan. Ia telah ditahan selama 15 tahun. Menurut Pranoto sendiri, penahanan itu terhitung sejak penangkapannya tanggal 16 Februari 1966, hingga 16 Februari 1981, tanpa kurang maupun lebih. Keluar dari Rumah Tahanan Militer Nirbaya, Pranoto berjalan kaki pulang menuju rumahnya di Kramat Jati.
Letnan Jenderal Sarwo Edhie, yang masih kerabat dekat Pranoto, turut mengerti keadaannya saat itu. Apalagi, Sarwo Edhie menambahkan pemahamannya akan kejadian yang amat mengerikan saat 1965-1966. “Om, aku ternyata hanya menjadi alat, aku mohon nanti kalau aku mati jangan dimakamkan di Taman Pahlawan ya, Om. Aku mau dikubur disamping Bapakku saja.” Pranoto yang dipanggil Om oleh Sarwo Edhie, saat itu langsung menghentikan pembicaran Sarwo Edhie.
“Jangan ditelepon, kita nanti ada yang menyadap. Kamu mampir saja ke rumah.”
“Iya, Om, aku nanti ke rumah, Om.” Pungkasnya dalam percakapan itu. Namun, tak lama setelah itu, Sarwo Edhie jatuh sakit, dan meninggal di Rumah Sakit MMC. Tentu, janjinya untuk berkunjung dan menemui Jenderal Pranoto tidak pernah bisa ia penuhi.
Lebih lanjut, Pranoto menuliskan pula isi hatinya dalam memoar itu, “Untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik materi barang sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal- kebaktian saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut serta mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang beratribut bekas tahanan G.30-S/PKI , bahkan mungkin menurut persepsi mereka, saya ini sebagai “dedengkot” nya G.30-S/PKI dari segala aspek. Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya sebagai umatnya. Manusia tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya dan digariskan-Nya, justru DIA -lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang memperagakan umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia ini. Saya harus mengetahui diri, di tempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana saya ini.”
Ia menyesalkan pula kawan-kawannya yang sinis melihat kondisinya sekarang, apalagi embel-embel keterlibatannya membuatnya malas untuk beraktivitas layaknya dulu. Hal ini juga diceritakannya lewat memoarnya, “Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan yang dahulunya saya anggap dekat / akrab. Justru bagi mereka, yang tidak mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun mau maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati.”
“Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan teman/kenalan, yang masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran kota, yang sebagian perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki. Di antaranya saya merasa terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan kakinya, untuk mengunjungi saya di rumah Kramatjati yang sesempit itu.” Tulisnya mengenang seorang kawan yang sangat menghiburnya, dan mengerti kondisinya kala itu. “Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang timur, kalau orang itu dapat berteladan pada panutan sikap dan sifat, sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman itu. Maka kunjungan yang semacam itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun yang menyiram hati saya.” Tulis Pranoto dalam akhir Memoarnya.
Penulis : Muhammad Alfi Rahman
TAG: #pemerintahan #politik #sejarah #tokoh-nasional