Masifnya informasi yang beredar di media sosial mengaburkan garis antara demokrasi dan populisme. Media sosial menjadi tempat untuk mengekspresikan kebebasan, sekaligus menjelma lahan subur bagi elite populis. Hal ini memunculkan tantangan bagi demokrasi ideal yang dikehendaki Indonesia, sekaligus menyerukan evaluasi ulang nilai-nilainya guna mencegah erosi dari prinsip-prinsip demokrasi pancasila.
Retorika-id. Demokrasi membuka kesempatan bagi siapapun untuk dapat bersuara. Konsep negara demokrasi pun menjamin setiap rakyat untuk secara bebas menentukan pilihan politiknya demi kesejahteraan bersama. Sejalan dengan itu, perkembangan media sosial memungkinkan masyarakat mengakses, mengunggah, serta menyebarkan berbagai informasi dalam skala besar. Meski terkesan mendukung gagasan kebebasan dalam demokrasi, pada kenyataannya media sosial memiliki banyak celah yang berujung pada pengekangan kebebasan itu sendiri. Salah satu bentuk pengekangan itu tercermin dalam isu populisme.
Pada dasarnya, populisme mengacu pada metode berpolitik yang digunakan oleh siapapun dan dalam ideologi manapun guna mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasa diabaikan oleh elite penguasa (Herianto et al., 2022, hlm. 55). Dalam hal ini, populisme berangkat dari asumsi dasar demokrasi bahwa setiap orang memiliki hak untuk bersuara dan kepentingan rakyat harus selalu diutamakan. Namun, praktik populisme sendiri berorientasi pada persona aktor populis yang memihak rakyat dengan menuduh pemerintah sebagai pihak yang abai. Tujuannya bukan kedaulatan rakyat sebagai cita-cita luhur suatu negara demokrasi, melainkan peluang untuk mendapat kekuasaan karena didukung rakyat.
Dengan maraknya perkembangan media sosial, ambang batas antara populisme dan demokrasi yang ideal menjadi semakin ambigu. Wacana kebebasan berekspresi dalam media sosial kerap dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis. Melampaui itu, media sosial sebagai badan korporat juga sangat rentan terhadap intervensi dan dominasi pihak tertentu. Tentu, kenyataan ini menjadi ladang subur para aktor populis baik untuk membangun citra maupun mendapat dukungan rakyat. Menghadapi tantangan ini, eksistensi demokrasi pun perlu kembali dipertanyakan agar tetap berada pada lintasan menuju kedaulatan rakyat Indonesia.
Kebebasan dalam Retorika Demokrasi Pancasila
Pemahaman mengenai demokrasi tidak terbatas pada kebebasan mutlak yang dimiliki rakyat untuk mengatur sistem pemerintahan suatu negara. Meski tumbuh dari kedaulatan rakyat sebagai pijakan utama, demokrasi memiliki beberapa jenis yang dibedakan atas dasar konsepsi dan implementasinya. Hal ini dikarenakan tiap negara memiliki realita kemajemukan dengan karakteristik yang berbeda-beda. Alhasil, output kebebasan sebagai produk demokrasi pun mengakar pada nilai-nilai yang dihayati suatu negara.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia menerapkan suatu jenis demokrasi yang dinamakan demokrasi pancasila. Perumusan demokrasi pancasila berkaca dari realita keberagaman suku, ras, agama, dan budaya yang tersebar di segala penjuru nusantara. Perlu adanya sebuah sistem nilai yang mengikat perbedaan-perbedaan itu agar kebebasan yang dimiliki tiap individu tidak berujung pada konflik kepentingan yang dapat merusak keberagaman itu sendiri. Sebagai ideologi bangsa,
nilai-nilai pancasila pun digunakan sebagai dasar pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Konsekuensi penerapan demokrasi pancasila di Indonesia pertama-tama memagari kebebasan individu agar tidak berujung pada definisinya yang mutlak dan mengganggu individu maupun kelompok masyarakat lain. Demokrasi pancasila memang mengakui kebebasan sebagai sarana mencapai kemajuan dan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa pembatasan dari penguasa. Namun, kebebasan itu perlu didasari unsur “...kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan” agar dapat mencapai kedaulatan rakyat yang bebas dari dominasi mayoritas maupun polarisasi minoritas (Agustamsyah, 2011). Dalam hal ini, penerapannya tidak cukup berhenti pada pihak pemerintahan saja, melainkan perlu dihidupi seluruh lapisan masyarakat sebagai satu kesatuan instrumen dalam orkestrasi demokrasi yang berlandaskan ideologi pancasila.
Populisme dan Media Sosial
Apa yang kemudian menjadi permasalahan adalah apakah demokrasi pancasila sudah berhasil memagari Indonesia dari isu pengekangan kebebasan yang mengarah pada populisme? Pada kenyataannya, populisme selalu mencari metode dan celah baru untuk ‘menyusupi’ batas-batas demokrasi yang telah dibuat suatu negara. Menilik prospek perkembangan IPTEK saat ini, media sosial menjadi ruang baru yang sangat rentan terhadap praktik populisme. Melampaui munculnya aktor populis, praktik populisme menjalankan manipulasi dan pragmatisme politik yang meniadakan pancasila dan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Permasalahan dibuka dengan kenyataan bahwa media merupakan suatu badan yang berorientasi pada keuntungan (profit). Keuntungan tersebut didapatkan melalui monetisasi data hasil dari aktivitas pengguna di media sosial: semakin tinggi aktivitas tersebut, semakin tinggi pula keuntungan yang didapat (Julian, 2022). Dalam hal ini, isu sensitif seringkali dimanfaatkan untuk meningkatkan aktivitas pengguna tersebut dengan tujuan tidak lain dari profit atau keuntungan. Celah inilah yang kemudian menciptakan ruang bagi tentakel populisme bergerak bebas melalui serangkaian mekanisme untuk memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya.
Pertama-tama, populisme bertolak dari cara kerja yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok: rakyat biasa dan elit pemerintah (Herianto et al., 2022). Pada umumnya, para aktor populis akan menuduh pemerintah sebagai kelompok penindas, cenderung korup, dan abai terhadap kepentingan rakyat. Dalam melancarkan praktik semacam ini, lagi-lagi media sosial membuka kesempatan emas untuk semakin memperburuk status quo dan kredibilitas pemerintah.
Permasalahannya bukan terdapat pada kenyataan buruknya birokrasi yang kemudian dipublikasikan, melainkan berita bohong yang sengaja dipublikasikan untuk membakar kebencian rakyat. Dengan jumlah pengguna media sosial yang meningkat setiap tahunnya, berita bohong telah diterima sebagai suatu kewajaran sebagai hasil dari wacana kebebasan yang digaungkan di media sosial. Berita bohong pun berpotensi sangat tinggi memunculkan permasalahan politik seperti populisme jika melihat data posisi politik sebagai topik konten yang paling banyak mengandung muatan hoaks. Meski telah dianggap wajar, pada kenyataannya permasalahan ini dapat menghambat mobilisasi kognitif masyarakat dan berujung pada konflik perpecahan yang lebih luas.
Setelah membentuk opini publik yang memandang elite sebagai musuh rakyat, isu nativisme kerap kali dimainkan untuk memperoleh kumpulan massa berdasar pada latar belakang yang sama. Biasanya para aktor populis akan menunjukkan keberpihakannya pada kelompok mayoritas (baik dari segi agama, politik, maupun budaya) dari suatu masyarakat agar mendapat akumulasi dukungan yang tinggi. Fenomena ini pun, contohnya, terjadi pada pemilu tahun 2017 dan 2019 ketika para kandidat berafiliasi dengan kelompok agama tertentu dan menciptakan slogan-slogan keberpihakan terhadap rakyat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah (Welak, 2022).
Dalam mengomunikasikan pesannya, Isu nativisme kemudian bertemu dengan mekanisme algoritma yang umum diterapkan dalam berbagai platform media sosial. Mekanisme tersebut memungkinkan media sosial menciptakan echo chamber, suatu fenomena ketika “...kepercayaan seseorang akan terus diperbesar dan didorong oleh komunikasi repetitif di dalam sebuah sistem tertutup yang bersifat mengisolasi” (Sugiono, 2021). Tentunya mekanisme ini sangat menguntungkan karena kecenderungan seseorang terhadap suatu ideologi maupun persona politisi tertentu akan diperkuat dengan rekomendasi konten yang memang sesuai dengan kecenderungan tersebut. Namun, kecenderungan tersebut dapat membuat seseorang menjadi tertutup terhadap peluang kemajuan yang ditawarkan pemerintah atau politisi lain dan berujung pada polarisasi yang tidak sehat dari masyarakat itu sendiri.
Melihat kembali isu populisme yang berkembang di Indonesia, media sosial kerap dimanfaatkan dalam praktik politik identitas yang juga dipengaruhi oleh rendahnya mobilisasi kognitif masyarakat. Praktik politik identitas biasanya berada dalam ranah agama, dibuktikan dengan munculnya kelompok radikal islam yang ingin mendirikan negara berbentuk khilafah berdasarkan syariat Islam (Herianto et al., 2022, hlm. 60). Maraknya fenomena Ahok Effect pada era pilkada 2017 juga menjadi bukti peran media sosial dalam mengelompokkan masyarakat berdasar identitas agama (Ghofur and Yasak, 2017). Hal ini juga dipengaruhi oleh mobilisasi kognitif masyarakat Indonesia yang tergolong rendah dari tahun ke tahun, bahkan untuk kemampuan dasar seperti literasi dan numerasi. Pada akhirnya, masyarakat mudah menerima pengaruh dari luar tanpa melalui proses berpikir kritis untuk menyeleksi informasi yang relevan dan teruji kebenarannya.
Meraih Cita-Cita Demokrasi
Isu populisme memiliki bentuk dan metode yang sangat beragam. Dikotominya dari ideologi tertentu memampukan para aktornya bergerak bebas dari waktu ke waktu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengekspansi jangkauan komunikasi manusia. Dalam hal ini, populisme tidak melulu mempersoalkan persona aktornya, tetapi juga bagaimana pesan dari para populis sampai dan diterima masyarakat. Media sosial pun menunjukkan prospek yang menjanjikan bagi para aktor populis untuk mengumpulkan dukungan dari masyarakat.
Pada titik inilah nilai-nilai dalam demokrasi pancasila kembali diabaikan dan menuntut baik pemaknaan maupun penerapan dengan bentuk yang baru. Perlu adanya kesadaran dari masyarakat bahwa praktik populisme di media sosial hanya menunjukkan pragmatisme untuk menyerap dukungan tanpa didasari rencana yang jelas untuk mewujudkan agenda-agenda demokrasi maupun pembangunan bangsa dan negara. Serangkaian upaya untuk meningkatkan mobilisasi kognitif pun menjadi langkah yang signifikan untuk menanamkan nilai-nilai nasionalis spiritual agar praktik politik yang dijalankan berdasar pada pancasila sebagai ideologi negara. Upaya ini bukanlah sebatas cara mencegah populisme, melainkan sebuah misi bersama untuk meraih kebebasan yang mengarah pada kedaulatan rakyat sebagai cita-cita demokrasi yang mulia.
Referensi:
Agustamsyah, A. (2011) ‘Konsepsi dan Implementasi Demokrasi Pancasila dalam Sistem Perpolitikan di Indonesia’, Jurnal Tapis, 7(1).
Ghofur, M.A. and Yasak, E.M. (2017) ‘Ahok Effect dan Etika Bermedia’, Mediamorfosa.
Herianto, H. et al. (2022) ‘Populisme Berwajah Politik Identitas Keagamaan di Indonesia’, Jurnal Filsafat Indonesia, 5.
Julian, H. (2022) ‘Prospek Demokrasi di Era Kapitalisme Digital’, Yayasan Basis [Preprint].
Sugiono, S. (2021) ‘Polarisasi sebagai Dampak Menguatnya Kelompok Anti-Vaksin Covid-19 di Media Sosial (Perspektif Echo Chamber)’, Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, 25(2).
Welak, F. (2022) ‘Populisme di Indonesia: Ancaman bagi Integritas Masyarakat dan Reaktualisasi Pancasila’, Jurnal Keindonesiaan, 02(01), pp. 62–70.
Penulis: Francesco Rafaell Cheto
Editor: Jingga R
TAG: #aspirasi #demokrasi #gagasan #humaniora