Raden Ajeng Kartini adalah tokoh perjuangan emansipasi wanita yang mementingkan pendidikan dalam mencapai kesetaraan. Emansipasi yang diperjuangkan tidaklah untuk melawan atau bahkan memusuhi laki-laki. Namun, perjuangan itu bertujuan agar terdapat kesetaraan di antara kaum perempuan dan laki-laki dalam memajukan bangsa.
retorika.id- Raden Ajeng Kartini adalah sebuah nama yang tak asing di telinga kita, karena ia dianggap pahlawan emansipasi wanita. Hari kelahirannya dijadikan peringatan di setiap tahun pada tanggal 21 April dengan berbagai seremonial seperti memakai pakaian kebaya, upacara dengan serangkaian pidato tentang histori perjuangannya, menggelar bakti sosial, dan berbagai acara lainnya.
Kartini adalah pemikir feminisme awal di indonesia, yang dimana gagasannya mencerahkan dan mengilhami kalangan yang lebih luas. Hal tersebut dapat dilihat dari surat kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar yang kemudian dijadikan buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dalam buku itu mencatat berbagai hal seperti kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian yang terjadi saat itu, dimana dunia ide seringkali tak semudah kenyataan.
Surat yang bertanggal 25 Mei 1899 itu terdiri dari 32 paragraf. Raden Ajeng Kartini menulis banyak hal mengenai belenggu adat, pingit, azab sengsara pernikahan, silsilah, dan bahaya candu. Dalam surat tersebut, Kartini memperkenalkan dirinya tanpa gelar dan nama keluarga. Hal itu
terlihat pada kalimat yang berbunyi “Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku.”
Disini bisa dilihat kesetaraanlah yang diinginkan Kartini, dimana manusia tidak dibedakan oleh pangkat, jabatan atau gelar kebangsawanan bahkan oleh jenis kelamin. Nilai kesetaraan manusia bisa terjadi apabila pemberian pendidikan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Selain itu, juga dibuktikan dengan membangun sekolah perempuan meski tidak terlalu besar pada tahun 1912 kala itu.
Kartini bukanlah seorang orator. Ia juga bukan pemikir massa. Namun, Kartini menyuarakan kesetaraan bagi peran perempuan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Perjuangan Kartini adalah menuntut hak-hak perempuan tanpa harus mengkambing hitamkan laki-laki apalagi memusuhinya.
Dalam salah satu surat dari Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya Abendanon pada tanggal 4 Oktober 1902, disampaikan bahwa ia tidak menyalahkan laki-laki atas apa yang terjadi pada diri kaum perempuan. Pesan itu berbunyi “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama."
Saat ini, ibuku lah Kartini sesungguhnya bagi diriku. Dia bisa memilih dengan bebas menjadi apapun tanpa tekanan dari siapapun. Pendidikan dan pengetahuan adalah tujuannya menjadi seorang ibu yang baik di mata keluarga.
Ibuku sangat mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya ke jenjang yang tertinggi dan mengusahakan agar aku tidak tertinggal dalam pembelajaran. Tak jarang ia pun membuat tulisan yang ditempel di dinding tembok untuk mempermudah cara belajarku. Ibu juga sering memotivasi ketika kondisiku sedang malas untuk belajar.
Menjadi ibu rumah tangga merupakan pilihannya setelah menikah dan memiliki anak. Semua itu dilakukan agar perawatan serta pendidikan anak secara lahir dan batin dapat diterapkannya. Dan ia pun selalu mengembangkan diri dengan banyak membaca buku dan surat kabar atau media massa.
Dalam kondisi tertentu pun, dalam masalah keuangan, ibuku mampu mengatur dan menghematnya. Bahkan, ia tak segan membantu keuangan keluarga dalam kondisi tertentu dengan membuat kue atau berjualan makanan siap santap. Uang yang dihasilkannya dapat untuk menambah kebutuhan keluarga yang bersifat mendadak atau perlu tambahan lebih.
Ibu juga tidak membedakan antara laki-laki atau perempuan semua hal harus bisa dikerjakan. Di keluargaku bukanlah hal aneh bila seorang lelaki, misalnya ayah melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, memasak, dan lain sebagainya. Semua itu bisa dilakukan karena ibuku juga menerapkan kesetaraan gender dalam keluarga.
Bagiku, ibuku adalah kartiniku dalam lingkup yang lebih kecil, yakni di dalam keluarga sendiri. Ia mementingkan pendidikan, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta menginspirasiku menjadi wanita yang mandiri. Semua itu butuh proses dalam mencapainya yang terpenting komunikasi harus terjaga dan sabar.
Salam Hari Kartini untuk manusia Indonesia.
Penulis: Melati Indah Nuraisyah
TAG: #gagasan #gender #keluarga #kisah