
Kutatap lagi kedua mata sedih di permukaan telaga itu,
Menghitung tiap dosa yang sudah diperbuatnya, apa lagi kali ini?
Pohon-pohon merunduk bersama sayunya sinar mentari.
Terasa di belakangku, rasa bersalah yang berjalan
berjingkat sedari tadi, menungguku memalingkan pandangan
ke arahnya. Mau apa lagi
kamu?
Bingung, berhentinya berjingkat,
bersembunyi di balik batang pohon, menjatuhkan helaian
daun tua pohon. Menyentuh tanah dan air,
menyuntih permukaan telaga, mengoyak mata sedih berdosa.
Taburan enggan cahaya di sela dedaunan membawaku kembali.
Derap langkah sepatu, hamburan manusia dalam kepanikan,
sesak kabut debunya, membuatku ikut terbatuk. Tersungkurku
ke bumi yang baru saja dibasahi air hujan. Kenapa lagi ini?
Teriakan tolongku tak mungkin ada yang mendengar.
Kubiarkan tangisku bersatu dengan basahnya rerumputan.
Teringat aku akan senyumnya yang berkilauan,
menyilaukan penglihatan, mengaburkan akal sehat.
Mana bisa aku menolaknya? Tertawaku dibuatnya.
Sudahlah, aku takkan lama lagi di sini. Kilau cahaya
seketika datang menyergap pandanganku.
Memekakan telinga.
Gelap.
Penulis : Pulina Nityakanti Pramesi
TAG: #karya-sastra #puisi # #