Memanfaatkan fenomena kematian dari sudut pandang Antropologi, FISIP Unair akhirnya mendirikan Museum Etnografi.
Surabaya, retorika.id - (30/1) Tim jurnalistik Retorika berkesempatan berbincang-bincang dengan Kepala Museum dan Pusat kajian Etnografi, Dr.phil. Toetik Koesbardiati. Dalam obrolan tersebut, ia menceritakan mengenai proses awal pendirian Museum Etnografi hingga melakukan revitalisasi menjadi salah satu museum unik yang berada di dalam kampus.
Museum dan Pusat Kajian Etnografi resmi didirikan pada tanggal 25 September 2005 di bawah naungan Departemen Antropologi FISIP UNAIR. Museum ini pertama kali digagas oleh Yusuf Ernawan (Kepala Departemen Antropologi) yang tertarik untuk membuat ruangan khusus koleksi benda-benda milik Departemen Antropologi. Awal mula Museum Antropologi berdiri, Dr.phil. Toetik Koesbardiati mendapat alokasi dana dari FISIP sebesar 300 juta rupiah. Karena mmbangun sebuah museum membutuhkan alokasi dana yang tidak sedikit, maka ia mulai menjalin kerjasama dengan pihak Kemendikbud RI.
Berbagai koleksi Museum Etnografi dipamerkann secara aktif dalam berbagai pameran, salah satunya pameran yang diselenggarakan oleh AMIDA (Asosiasi Museum Daerah) Provinsi Jawa Timur. Dalam pameran tersebut, mereka berhasil mengukir berbagai prestasi seperti: Juara 2 Bidang Tata Pamer Tingkat Provinsi tahun 2014 dan Juara Harapan 1 Bidang Tata Pamer Tingkat Provinsi tahun 2015.
Setelah mengalami
proses revitalisasi, Museum Etnografi kembali diresmikan oleh Dr. Hilman Farid, selaku Dirjen Kebudayaan, pada tanggal 21 Maret 2016 dengan mengangkat tema Kematian. Tema tersebut dipilih karena kematian merupakan bagian dari lifecycle yang pasti dialami manusia. Sayangnya masih banyak orang yang menganggap jika kematian merupakan sesuatu hal yang tabu.
Padahal, kematian merupakan salah satu momentum paling sakral dalam kehidupan seseorang. Berbagai budaya dan ritual diselenggarakan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Bahkan, melalui beberapa upacara tertentu seperti Ngaben dan Rambu Solo, kita dapat mengetahui status sosial seseorang di masyarakat. Sehingga, kematian menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji.
Museum Etnografi hadir dengan menawarkan desain modern yang dikemas dengan display sangat menarik. Ruangan dalam museum juga dibuat senyaman mungkin dengan berbagai koleksi unik bertemakan kematian. Sehingga secara tidak langsung, paradigma mengenai museum yang biasanya berdebu, muram dan membosankan dapat dipatahkan dalam tatanan museum itu.
Di Museum Etnografi, kita juga bisa melihat infografis mengenai berbagai mitos-mitos di Indonesia, tradisi-tradisi kematian unik di berbagai daerah, proses evolusi, demografi, patologi, dan lain-lain. Informasi dalam bentuk grafis sengaja dibuat untuk mempermudah pengunjung memahami materi yang disajikan. Dalam museum tersebut, juga terdapat kolesksi benda-benda fosil, replika mumi, rangka asli, miniatur-miniatur kematian, replika bayi kambara, makam Trunyan, dan bonek Ma’nene. Semua koleksi tersebut difungsikan sebagai media pembelajaran mengenai kematian dan anatomi tubuh.
Menurut Toetik Koesbardiati, “Museum Etnografi memang sengaja dibangun untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada kaum akademisi mapun masyarakat awam mengenai hakekat kematian. Kematian jangan lagi dijadikan sesuatu yang dianggap tabu dan menyeramkan, tetapi kematian seharusnya menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji dari berbagai aspek. Selain itu, kami juga ingin menumbuhkan minat kunjungan masyarakat terhadap museum. Sebagaimana yang kita tahu, minat baca masyarakat kita saja masih rendah, apalagi minat berkunjung ke museum? Maka dari itu, kami sengaja membuat desain museum semenarik mungkin. Sehingga banyak masyarakat yang memiliki minat untuk berkunjung ke museum.”
Berbagai promosi melalui media sosial dengan melibatkan jaringan alumni, mempercepat proses pengenalan Museum Etnografi di masyarakat. Bahkan dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, jumlah pengunjung museum sudah mencapai 1.000 orang lebih, baik dari kalangan akademisi maupun orang awam. Melihati animo masyarakat yang begitu besar, Toetik Koesbardiati berniat untuk memperluas display museum dengan menambah informasi yang sudah ada dengan informasi yang lebih spesifik lagi. Selain itu, Museum Etnografi Unair juga berencana akan menggunakan teknologi pendukung untuk mempermudah pengunjung mendapat informasi yang bermanfaat.
“Kami berharap museum ini dapat merealisasikan salah satu misi bangsa Indonesia sekaligus misi museum Indonesia, yakni memberikan informasi seluas-luasnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.
Museum Etnografi ini cocok dikunjungi oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Banyak sekali pelajaran dan informasi yang dapat kita ambil dari kunjungan ke Museum Etnografi, utamanya pelajaran dalam memaknai bahwa kematian bukan akhir dari suatu kehidupan, tetapi proses menuju suatu awal kehidupan yang baru.
So, tunggu apalagi! Silahkan datang berkunjung ke Museum dan Pusat kajian Etnografi di Jalan Dharmawangsa Dalam tepat di depan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tiga orang penjaga museum siap membantu anda untuk mendapatkan berbagai informasi yang menarik seputar Museum dan Pusat kajian Etnografi. (En/Red)
-Roudlotul Choiriyah-
Editor: Dewi Widyastuti
TAG: #budaya #fisip-unair #kisah #tradisi