
Pada hari pertama menjabat, Presiden Donald Trump langsung menerapkan kebijakan imigrasi ketat dengan mengaktifkan kembali Undang-Undang Musuh Asing 1798. Kebijakan ini mempercepat proses deportasi dan membatasi akses pencari suaka, memicu ketakutan di kalangan imigran. Langkah tersebut dikritik karena dinilai tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip keadilan Amerika Serikat.
Retorika.id - Pada Senin (20/1/25), Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat dan langsung menandatangani perintah eksekutif yang memperketat kebijakan imigrasi. Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Musuh Asing tahun 1798 dan bertujuan untuk membatasi pencari suaka serta meningkatkan deportasi imigran tanpa dokumen. Berdasarkan undang-undang ini, presiden dapat memerintahkan penangkapan, pemindahan, atau deportasi setiap laki-laki berusia di atas 14 tahun yang berasal dari negara yang dianggap sebagai musuh asing.
Administrasi Trump menggunakan undang-undang lampau ini untuk memersekusi imigran-imigran ilegal yang ada di Amerika Serikat (AS). Langkah ini dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan yang selama ini menjadi bagian dari nilai-nilai Amerika. Trump mengeklaim kebijakan ini diperlukan untuk menjaga keamanan nasional, tetapi dampaknya justru merugikan jutaan orang dan memperparah penderitaan mereka.
Sejak hari pertama pemerintahannya, Trump mulai membongkar perlindungan bagi imigran. Aplikasi CBP One, yang sebelumnya membantu migran mengajukan suaka secara resmi, ditutup secara mendadak. Akibatnya, ribuan orang terdampar di Meksiko tanpa kepastian akan nasib mereka.
Selain itu, lebih banyak pasukan dikerahkan ke perbatasan, deportasi massal meningkat, dan otoritas imigrasi diberi wewenang untuk melakukan penangkapan di sekolah, gereja, serta rumah sakit—tempat-tempat yang seharusnya menjadi zona aman bagi imigran. Langkah-langkah ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menciptakan ketakutan di masyarakat.
Menteri Keamanan Dalam Negeri sementara AS, Benjamin Huffman, mencabut status hukum lebih dari satu juta migran yang sebelumnya diterima melalui program pembebasan bersyarat kemanusiaan. Kebijakan ini berdampak besar pada migran dari Kuba, Haiti, Nikaragua, dan
Venezuela yang mencari perlindungan dari kekerasan dan kemiskinan. Kini, mereka menghadapi ketidakpastian dan ancaman deportasi tanpa adanya jalur hukum yang jelas.
Pemerintahan Trump juga menghapus kebijakan yang melarang Immigration and Customs Enforcement (ICE) melakukan razia di lokasi sensitif seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah. Perubahan ini menimbulkan ketakutan bagi imigran, termasuk sekitar 733.000 anak usia sekolah yang tinggal di AS tanpa status hukum. Banyak dari mereka kini menghadapi risiko terpisah tiba-tiba dari orang tua tanpa perlindungan yang memadai.
Jurnalis Kalyn Belsha dari Chalkbeat melaporkan bahwa razia di tempat kerja telah mengakibatkan dampak besar bagi keluarga. Anak-anak pulang ke rumah dan mendapati orang tua mereka telah ditangkap, sementara sekolah berjuang untuk menangani dampak emosional yang ditimbulkan kebijakan ini. Tindakan ini tidak meningkatkan keamanan, justru merusak kehidupan banyak keluarga dan komunitas yang telah lama menetap dan berkontribusi di Amerika.
Pemerintahan Trump juga telah menyatakan niatnya untuk menentang Amendemen ke-14 Konstitusi AS, yang menjamin kewarganegaraan bagi siapa pun yang lahir di negara tersebut.
Dengan menargetkan anak-anak imigran tanpa dokumen, Trump tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengancam status hukum jutaan warga AS yang lahir di negara itu. Langkah radikal ini menuai kritik luas dan mendorong gugatan hukum dari setidaknya 22 jaksa agung negara bagian, serta berbagai kelompok pembela hak imigran.
Bertolak belakang dengan narasi Trump yang menggambarkan imigran tanpa dokumen sebagai ancaman, kenyataannya mereka justru merupakan bagian penting dari masyarakat Amerika. Imigran menyumbang tenaga kerja yang signifikan, terutama di sektor pertanian, yang bergantung pada mereka hingga 73%. Industri pertanian, yang memiliki nilai lebih dari $1 triliun, sangat bergantung pada pekerja imigran untuk memastikan ketersediaan pangan bagi masyarakat Amerika.
Selain itu, mereka melakukan pekerjaan yang dianggap “kotor” dan sering dihindari warga lokal, menopang perekonomian, serta berkontribusi pada komunitas dengan bekerja keras demi kehidupan yang lebih baik. Namun, alih-alih mengakui peran mereka, kebijakan Trump justru memperlakukan mereka dengan diskriminasi dan pengusiran paksa.
Larangan imigrasi Trump bukan hanya kebijakan yang tidak efektif, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menjadikan imigran sebagai kambing hitam, Trump mengalihkan perhatian dari masalah utama yang dihadapi negara, seperti kesehatan, perubahan iklim, dan ketimpangan ekonomi. Kebijakan ini tidak memberikan solusi, justru menimbulkan lebih banyak penderitaan dan perpecahan di tengah masyarakat.
Alih-alih membangun kebijakan berbasis solusi, Trump memilih pendekatan ekstrem yang melemahkan nilai-nilai fundamental Amerika. Seperti larangan perjalanan tahun 2017 yang menargetkan negara-negara Muslim, kebijakan ini juga berisiko memperburuk ketegangan global dan memperkuat gerakan sayap kanan di seluruh dunia. Jika kebijakan seperti ini terus berlanjut, citra Amerika sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan dan kebebasan akan semakin pudar di mata dunia.
Larangan imigrasi Trump didasarkan pada propaganda dan ketakutan, bukan pada fakta dan kemanusiaan. Dengan alasan keamanan nasional, ia melegitimasi kebijakan yang kejam dan tidak efektif. Warga Amerika harus menolak politik perpecahan ini dan menuntut kebijakan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kasih sayang. Saatnya bertindak sebelum kebijakan ini semakin merusak masa depan bangsa.
Jika kebijakan imigrasi terus diperketat tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kontribusi imigran terhadap masyarakat serta ekonomi Amerika, maka bukan hanya imigran yang akan menderita, tetapi juga seluruh komunitas yang bergantung pada kerja keras mereka. Amerika perlu kembali ke prinsip-prinsip dasar yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, keadilan, dan kesempatan bagi semua orang yang mencari kehidupan yang lebih baik.
Referensi
Catalini, M. (2025, January 21). 22 states sue to stop Trump’s order blocking birthright citizenship | AP News. AP News. https://apnews.com/article/birthright-citizenship-trump-executive-order-immigrants-fc7dd75ba1fb0a10f56b2a85b92dbe53
Rose, J. (2025a, January 25). Trump officials empower DHS to expel migrants allowed under 2 Biden programs. NPR. https://www.npr.org/2025/01/24/nx-s1-5273762/immigration-deportation-trump-cbpone-dhs-migrants-biden
Rose, J. (2025b, January 27). Trump’s immigration orders are a blueprint for sweeping policy changes. NPR. https://www.npr.org/2025/01/27/nx-s1-5276139/trump-immigration-border-orders-blueprint
Stepansky, J. (2025, January 24). ‘Fear is the point’: Immigrant rights groups brace for fight against Trump. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2025/1/24/fear-is-the-point-immigrant-rights-groups-brace-for-fight-against-trump
Trump’s immigration crackdown begins first week back in office. (2025, January 26). NBC News. https://www.nbcnews.com/news/investigations/trump-mass-deportations-ice-raids-executive-immigration-rcna188620
Young, R. (2025, January 27). How districts are responding after Trump cleared the way for immigration arrests at schools. NPR. https://www.npr.org/hereandnow/2025/01/27/immigration-arrests-schools
Penulis: Vanyadhita Iglian
Editor: Claudya Liana Morizza
TAG: #aspirasi #pemerintahan #politik #sosial