.jpg)
Diskusi mengenai relevansi penelitian di bidang ilmu sosial humaniora (soshum) kembali menjadi sorotan di media sosial. Isu ini dipicu oleh unggahan yang menampilkan judul tesis bertema unik, seperti “Mpreg" atau "politik aroma” yang memancing pro dan kontra di kalangan netizen. Di tengah perbedaan pandangan ini, muncul pertanyaan penting; apakah penelitian di bidang soshum benar-benar kurang relevan, atau justru memiliki potensi untuk mengungkap kompleksitas sosial yang sering luput dari perhatian?
Retorika.id – Belakangan ini, media sosial X (Twitter) kembali diramaikan oleh perdebatan mengenai urgensi penelitian di bidang ilmu sosial humaniora (soshum). Diskursus ini bermula dari unggahan sebuah akun X, @CHUUY4INE, yang memamerkan sampul proposal tesisnya berjudul Critical Discourse Analysis Towards ‘Mpreg’ (Male Pregnancy) Discussion among Indonesian Women in the Social Media X.
Topik tersebut memicu banyak komentar dari netizen, terutama karena dianggap absurd untuk dijadikan bahan penelitian. Banyak yang berpendapat bahwa penelitian semacam ini tidak memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat luas maupun perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya, diskusi tentang relevansi penelitian di bidang soshum pun kembali mencuat.
Rupanya, perdebatan serupa juga pernah terjadi di tingkat global. Masih di platform yang sama, seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Cambridge, Dr. Ally Louks, membagikan kabar gembira bahwa dirinya telah menyelesaikan gelar PhD melalui akun pribadinya. Ia mengunggah sebuah foto yang menampilkan judul penelitiannya, Olfactory Ethics: The Politics of Smell in Modern and Contemporary Prose.
Secara singkat, tesis
tersebut membahas bagaimana aroma digunakan dalam berbagai karya terkemuka dari abad sebelumnya untuk merepresentasikan permusuhan sosial, seperti stigma negatif dan eksploitasi (Louks 2024b). Penelitian Ally berfokus pada literatur dan film yang menggunakan aroma sebagai bahan olokan, seperti novel karya George Orwell dan film Parasite karya Bong Joon-ho (Louks 2024a).
Ironisnya, akhir-akhir ini justru bermunculan cuitan netizen tentang pengalaman unik mereka terkait aroma. Banyak di antara mereka yang kemudian menyadari bahwa asumsi bau yang mereka buat terhadap seseorang, terutama yang tidak pernah kita temui, merupakan salah satu bentuk sikap menghakimi yang ternormalisasi dalam masyarakat—persis seperti apa yang Louks sampaikan dalam penelitiannya.
Hal seperti inilah yang seharusnya juga berlaku bagi situasi akademis di Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung di ranah soshum. Segala topik penelitian, baik yang memiliki urgensi tinggi maupun yang terdengar remeh di mata masyarakat, seharusnya dipandang sebagai peluang baru untuk mempertajam kemampuan berpikir kritis setiap individu. Dengan berpikir kritis dan dorongan rasa penasaran intelektual, kita bisa menciptakan ruang diskusi yang sehat, di mana masyarakat semakin tertarik untuk berdiskusi, bertukar pandangan, dan berdebat secara konstruktif.
Sebagaimana pernyataan guru besar Universitas Cambridge, Profesor Andy Parker, dalam menanggapi diskursus tersebut, “Akademisi (hanya dapat) tumbuh subur dalam lingkungan (diskusi) yang terbuka dan sehat, tidak ada pembenaran atas kebencian, misogini, ataupun tindakan mengancam lainnya.” (Louks, 2024c)
Louks, Amelia Mary, 2024. “My research on the politics of smell divided the internet – here’s what it’s actually about” [daring]. In https://theconversation.com/my-research-on-the-politics-of-smell-divided-the-internet-heres-what-its-actually-about-245899 [diakses pada 20 Januari, 2025].
Louks, Amelia Mary, 2024 [daring]. Inhttps://x.com/DrAllyLouks/status/1861872149373297078 [diakses pada 20 Januari, 2025].
Louks, Amelia Mary, 2024. [daring]. In https://x.com/DrAllyLouks/status/1864980126238171364 [diakses pada 20 Januari, 2025].
TAG: #humaniora #pendidikan #sosial #