Fitur Streak atau Runtutan yang dirilis TikTok pada Juli lalu sukses menarik perhatian banyak penggunanya. Melalui fitur ini, pengguna Tik Tok tertantang untuk menjaga komunikasi dengan pengguna lain dalam jangka waktu yang lama. Jika berhasil, TikTok akan menampilkan logo api untuk menunjukkan pencapaian penggunanya. Akan tetapi, ada sisi lain yang belum banyak dibahas publik. Tanpa kita sadari, fitur Runtutan ini menuntut dan mengeksploitasi penggunanya untuk terus berkomunikasi tanpa henti. Lalu, mengapa pengguna TikTok tetap berlomba-lomba menjaga capaian Runtutan mereka?
Retorika.id - Runtutan Tik Tok (Tik Tok Streak) merupakan fitur baru yang tampaknya sukses menarik perhatian pengguna platform tersebut. Pengguna platform sangat antusias untuk mendapatkan “pencapaian” yang ditunjukan oleh tingkatan api yang kita sebut “Runtutan”. Runtutan tersebut mendorong pengguna untuk selalu berinteraksi setiap harinya di pesan pribadi dengan pengguna lainnya untuk menjaga agar pencapaiannya tidak turun tingkat. Akan tetapi, mengapa pengguna rela dan tertarik melakukannya meski tidak mendapatkan pundi rupiah?
Tik Tok merilis fitur barunya di bulan Juli lalu bernama Runtutan atau streak untuk menunjukkan jumlah interaksi yang dilakukan antar penggunanya di pesan pribadi. Interaksi ini dapat berupa mengirim pesan, video, emoji, dan pesan suara. TikTok memunculkan simbol api di samping nama dalam pesan pribadi ketika pengguna saling berinteraksi secara terus-menerus. Hal ini tampak simple di mana simbol api menunjukkan pencapaian seseorang ketika ia dapat menjaga interaksinya dengan pengguna lain tanpa terputus. Di sisi lain, Tik Tok berhasil menciptakan suatu sistem yang dapat mengeksploitasi interaksi manusia
sebagai komoditas. Tanpa kita sadari, kita terlena oleh pencapaian semu yang sebenarnya tidak memberikan keuntungan bagi kita.
Dalam masyarakat post-modern, data merupakan komoditas paling berharga yang dapat menghasilkan pundi-pundi uang yang tidak terhingga. Dengan adanya tren komodifikasi data tersebut, berbagai korporasi selalu berusaha untuk mendapatkan data sebanyak-banyaknya dari pengguna atau pihak ketiga lainnya. Mereka pun berlomba-lomba merilis fitur baru yang dapat mengeksploitasi penggunanya, seperti fitur Runtutan yang dikembangkan oleh TikTok. Dengan adanya interaksi yang dilakukan secara terus menerus, akan tercipta data-data baru sekaligus dapat meningkatkan traffic bagi platform yang menerapkan sistem itu. Secara tidak langsung, kita telah bekerja untuk korporasi besar. Pengguna pun terlena dan tidak menghiraukan fakta tersebut. Lantas, mengapa pengguna secara sukarela melakukannya?
Runtutan merupakan rekayasa bisnis yang sejatinya mengeksploitasi kebutuhan manusia yang esensial, yaitu interaksi dan juga validasi. Runtutan adalah sebuah bentuk validasi dari interaksi sosial. Validasi sosial ini memberikan rasa kepuasan sementara bagi seseorang. Ketika seseorang mendapatkan validasi sosial, ia tidak akan merasa puas dan akan terus mencari lagi dan lagi. Maka dari itu, pengguna Runtutan melakukannya terus menerus agar mendapat pencapaian yang dapat dipamerkan.
Hyperconnectivity di era post-modern memberikan kesan bahwa tidak ada lagi alasan bagi individu untuk tidak hadir dalam interaksi sosialnya, yang sebenarnya justru memberi beban. Meskipun interaksi yang dilakukan tidaklah bermakna bagi kedua belah pihak, mereka akan tetap melakukannya untuk mendapatkan pencapaian semu.
Pengguna seringkali beranggapan bahwa semakin banyak jumlah Runtutan yang mereka dapat berarti mereka mereka memiliki hubungan yang baik dan intens, atau sekedar “seru-seruan” dengan teman atau relasi mereka. Padahal, dibalik itu semua sebenarnya mereka hanya mengejar validasi dan gelar yang diberikan dari fitur runtutan. Fenomena di mana individu secara sukarela mempekerjakan diri sendiri untuk sebuah sistem yang mengkapitalisasi aspek kehidupan menunjukkan bagaimana pengguna itu sangat rentan dan mudah untuk dimanfaatkan.
Pemikiran kritis akan fenomena dan praktik-praktik komodifikasi dan kapitalisasi di sekitar kita tidak terbangun, sehingga kesadaran akan posisi kita sebagai masyarakat yang hanya sekedar dianggap konsumen atau “sapi perah” tidak pernah kita pikirkan. Pertanyaan sederhana yang dilontarkan seperti “untuk apa?” terhadap sistem dan fenomena di sekitar seringkali disambut secara sinis atau bahkan olok-olok. Individu-individu dalam masyarakat seakan-akan mendorong untuk tidak perlu tahu makna dan tujuan dari hal yang terjadi di sekitarnya. Kita hanya perlu mengikuti dan memuaskan para kapitalis dalam meraup data dan keuntungan.
Post-modern dan post-truth pada hakikatnya merupakan zaman yang tidak pasti, dinamis, dan selalu berubah. Individu, atau bahkan negara, tidak dapat membendung perkembangan teknologi dan kapitalisme yang luar biasa. Akan tetapi, manusia sejatinya tetaplah perlu kritis dan memiliki kesadaran ketika dihadapkan dengan hal-hal yang baru dan asing di depan panca indera mereka. Fitur Runtutan Tik Tok merupakan suatu fenomena yang menunjukkan bahwa banyak manusia tunduk dan ikut mensukseskan strategi bisnis secara sukarela, di tengah ilusi rasa tidak ingin tahu dengan kedok label “bersenang-senang”.
Penulis: Sakha R.H.
Editor: Adil Salvino
TAG: #inovasi #media-sosial #sosial #