“Aku nggak mau balik lagi ke sana. Soalnya emang apa, ya? Kayak bener-bener aku mending kelaparan daripada aku kerja di situ (lagi).” Di balik aroma harum makanan yang menggugah selera dari industri Food and Beverages (F&B), tersimpan rekam jejak kelam para pekerja perempuan yang tersembunyi dari para pelanggan. Salah satunya adalah pengalaman Valerie, yang sudah memutuskan untuk tidak lagi terlibat di industri F&B, yang justru adalah tempat ia memulai perjalanan karirnya dulu.
Retorika.id - “Aku nggak mau balik lagi ke sana. Soalnya emang apa, ya? Kayak bener-bener aku mending kelaparan daripada aku kerja di situ (lagi).”
Lulus SMK di tahun 2022, Valerie adalah seorang warga Kabupaten Sidoarjo yang sudah melalang buana sebagai pekerja di industri F&B selama kurang lebih dua tahun. Berbekal keterampilan dari jurusan Tata Boga yang ia telan dari bangku SMK, ia memilih industri F&B sebagai langkah pertama dalam perjalanan karirnya.
Perjalanan Valerie sebenarnya dimulai ketika ia masih di SMK; magang sebagai waitress di sebuah restoran kelas menengah ke atas di Sidoarjo. Namun, akibat COVID-19, durasi magangnya harus dipotong dan Valerie diubah menjadi pekerja harian lepas yang hanya dibutuhkan saat ada acara-acara tertentu. Setelah lulus, ia juga sempat bekerja di sebuah kafe di Tulungagung milik bibinya sendiri. Namun, meskipun milik keluarga sendiri, ukuran kafe yang kecil mengharuskan ia mengerjakan hampir semua tugas. Di sini, Valerie pernah melakukan semua pekerjaan yang ada—barista, juru masak, dan bahkan kasir. Setelah keluar dari sana, Valerie masih bekerja di industri F&B, lebih tepatnya bekerja di bagian kitchen di sebuah rumah makan sambal bakar, sebelum memutuskan untuk keluar dari industri F&B untuk selamanya.
1. Jam Kerja dan Beban Tugas yang Tak Sepadan dengan Gaji
Alasan pertama yang Valerie tuturkan adalah bahwa selama ia bekerja, jumlah jam kerjanya cukup banyak, serta tanggung jawabnya berat. Namun, nominal gaji yang ia peroleh tidak bisa menjustifikasi semua beban kerja yang ada.
Jam kerja yang Valerie harus jalani selama bekerja di industri F&B adalah rata-rata 8 jam perhari. Malah, ia justru pernah bekerja lebih lama dari itu. Pada satu kali, Valerie pernah bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam. Valerie juga pernah juga bekerja tanpa libur sama sekali—tidak peduli hari minggu atau tanggal merah, juga tanpa kompensasi gaji lembur. Anehnya lagi, ia baru bisa mendapat libur jika sudah menguasai resep makanan tertentu. Namun, meski sudah menguasai resep, Valerie tetap tidak mendapat libur. Ia sampai tidak bisa beribadah ke gereja karenanya.
“Terus, yang di cafe Tulungagung itu itu malah gila lagi, kak. Itu nggak ada liburnya sama sekali, jadi selama 2 bulan, jam kerjanya dari jam 9 pagi sampai 9 malem. Jadi aku gak ada libur, full masuk 2 bulan,” ujarnya. “Kalau karyawan tetap itu
cuman dapet 1,2 (juta) aja. Iya, cuman dapet 1,2 aja dalam 8 jam itu,” ujarnya. Ia juga mengatakan bahwa selama rentang waktu kurang lebih dua tahun, gaji paling tinggi yang Valerie peroleh hanya sekitar 1,2 juta rupiah perbulan, jauh di bawah UMR Kabupaten Sidoarjo yang sebanyak 4,5 juta.
Delapan jam kerja mungkin terdengar standar di dunia kerja, tapi perlu diingat bahwa mayoritas dari jam kerja itu diisi dengan aktivitas berdiri, atau lari mondar-mandir, seringkali sambil membawa piring-piring penuh makanan. Dalam 8 jam itu juga para pekerja, terutama waitress, dituntut untuk selalu mengumbar senyum, berlagak ramah, dan berdiri selama berjam-jam karena sungkan rasanya untuk duduk.
“Kalau misalnya ada tamu terus kita duduk gitu, lebih gak enak sih,”
Ketika diwawancara, Valerie sempat berefleksi sejenak dari pengalamannya, lantas bertutur bahwa dalam rata-rata, lingkungan kerja yang dimiliki oleh pemilik usaha F&B adalah lingkungan kerja yang tidak sehat. Banyak hal-hal tidak wajar yang dinormalisasi—mulai dari sistem kerja yang ‘kejam’, normalisasi kultur kerja yang toxic, hingga adanya pelecehan dalam bentuk fisik dan verbal.Sebagai masyarakat yang menjadi pelanggan industri F&B secara rutin, tentunya kita tidak asing lagi dengan sistem kerja yang diterapkan para pelaku usahanya. Bayangkan saja, antrian pesanan yang banyak menuntut semua pekerja di restoran untuk berpacu dengan waktu yang terbatas. Jika ada sedikit kesalahan saja, misalnya pesanan yang salah atau terlambat, hal tersebut akan bentrok dengan kepuasan pelanggan dan juga citra pemilik usaha. Sehingga, dalam sistem inilah terbentuk individu-individu yang keras.
“Misalnya orang bikin salah dikit, itu udah dibentak-bentaknya minta ampun, gitu.”
Namun, tekanan tidak hanya datang dari sistem, tapi juga rekan kerja. Mayoritas dari rekan kerja Valerie di industri F&B adalah laki-laki—terutama yang bertugas di bagian kitchen. Karyawan perempuan kebanyakan bekerja sebagai waitress. Karena ini, Valerie juga mengungkapkan bahwa di hampir semua tempat kerjanya terdahulu, terdapat normalisasi budaya 'bercanda' yang justru serupa dengan bentuk pelecehan seksual. Ia sendiri sering mendapat pelecehan secara verbal dan fisik, baik dari pelanggan maupun dari rekan kerjanya sendiri.
“Yang sering goda-godain itu ada, terus minta nomor, sampai bahkan nawarin nganter pulang dan lain-lain. Itu dari customer-nya ya, terus kalau dari sesama karyawan itu justru lebih parah sih makanya aku nggak mau balik ke situ lagi. Itu jadi opsi terakhir aku. Kalau misalnya bener-bener nggak ada duit buat makan, aku akan ambil harian aja di situ,” ujarnya.
Valerie juga bersaksi bahwa manajer yang saat itu membawahinya juga turut mengetahui dan menyaksikan perlakuan tidak pantas yang ia alami. Namun, manager tersebut, bersama dengan para pelaku, hanya menganggap perlakuan itu sebagai bentuk candaan yang sudah normal di kultur kerja yang mereka miliki. Ini juga jadi salah satu alasan Valerie untuk tidak melanjutkan karirnya di restoran tersebut.
“Menurut aku kaya mengganggu banget sih, kaya mereka hampir mau nyentuh aku, tapi sometimes aku juga lawan. Cuma kebanyakan waktu itu diem aja, soalnya karena aku magang jadi posisinya bawa nama sekolah gitu. Aku takut kalau misalnya lawan mereka bawa-bawa sekolahku gitu. Jadi mau nggak mau aku kaya diem, jaga jarak lah gitu.”
Pelecehan datang tidak hanya datang dari laki-laki, tapi juga perempuan yang tidak menghargai batasan hanya karena sesama jenis. Perlakuan ini juga tidak terbatas hanya kepada Valerie. Pada suatu kali, teman kerja perempuannya juga pernah mengekspresikan ketidaknyamanan ketika disentuh tanpa izin. Sayangnya, keluhan itu justru berakhir menjadi candaan.
Ketika ditanya apakah ada tempat kerja-nya di F&B dulu di mana ia bisa merasa aman, Valerie mengatakan bahwa hanya ada satu: kafe milik bibi-nya di Tulungagung, di mana semua karyawannya adalah perempuan.
“Aku mending kayak kelaparan daripada aku kerja di situ (lagi), karena emang sebenci itu lihat tempat kerja di situ.”
Apakah Valerie termasuk ke dalam mereka yang termarginalisasi? Komnas HAM, dalam laporan tahunannya pada 2016, mendefinisikan kelompok masyarakat marginal sebagai mereka yang secara struktural terpinggirkan untuk memperoleh akses keadilan karena berbagai ketidakbatasan.
Selama 2 tahun mengarungi dunia sebagai karyawan industri F&B, Valerie sudah mengalami ketidakadilan dari berbagai sisi. Semua ketidakadilan yang ia alami sejatinya melanggar UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Contohnya, Ia harus menerima upah yang rendah meskipun bekerja di luar jam kerja yang diatur oleh undang-undang (Pasal 79 ayat 2b); pekerjaannya Valerie hari libur tidak dihitung sebagai kerja lembur (Pasal 78 ayat 2) dan juga sering bekerja tanpa kompensasi lembur yang sesuai ( Pasal 88 ayat 3); akhirnya, pemilik usaha yang mempekerjakan Valerie juga tidak melakukan tindakan perlindungan dari pelecehan verbal dan fisik (Pasal 86 ayat 1).
Singkatnya, hampir semua hak-hak dasar pekerja yang seharusnya diterima Valerie gagal dipenuhi oleh para pelaku usaha F&B yang mempekerjakan dirinya selama kurang lebih 2 tahun.
Valerie adalah contoh kecil yang menggambarkan betapa kerasnya kehidupan kerja, khususnya bagi para perempuan. Sama seperti Valerie, banyak dari pekerja perempuan di industri F&B adalah mereka yang masih di awal perjalanan merintis karir. Para perempuan muda dan kurang pengalaman di dunia kerja yang makin kompetitif hari demi hari adalah sasaran empuk bagi eksploitasi. Mereka harus menerima kondisi kerja yang tidak adil demi bertahan hidup. Minimnya kesempatan di bidang lain juga menyebabkan mereka terjebak dalam kondisi kerja yang keras, rentan terhadap pelanggaran hak asasi.
Sayangnya, berkaca dari pengalaman Valerie, perlindungan hukum yang harusnya dimiliki para pekerja ini cenderung tidak ditegakkan, hingga mampu membuat para perempuan di industri seperti ini terkungkung dalam keterpaksaan untuk terus bekerja di lingkaran setan. Mereka sulit memperjuangkan hak-hak mereka dan terus dieksploitasi dalam lingkungan kerja yang menormalisasi ketidakadilan dan tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Justru, seluruh beban kerja, mulai dari upah rendah, jam kerja berlebihan, serta perlakuan tidak manusiawi ini diperlakukan seolah-olah ‘takdir’ bagi pekerja industri F&B, secara mereka adalah aktor utama dalam sistem bisnis yang tidak pernah mati. Sayangnya, industri yang mudah untuk dirintis dan hampir tidak pernah kehabisan pelanggan ini punya celah yang besar jika ingin menomorduakan pekerjanya sendiri.
Di akhir wawancara, penulis sempat bertanya kepada valerie, apakah ada pesan bagi mereka yang ingin mencoba kerja di industri F&B?
Ia lantas menjawab, “mending pikir-pikir lagi.”
TAG: #gender #humaniora #sosial #wong-cilik