Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah lembaga penegak hukum yang memiliki tugas pokok untuk menjaga ketertiban dan memberi perlindungan kepada masyarakat. Namun, banyaknya kasus kekerasan yang terbukti secara jelas ketika menghadapi situasi aksi protes masyarakat terhadap suatu isu justru dinilai berbanding terbalik dengan fungsi tersebut. Mengapa begitu?
Retorika.id- Dikeluarkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (21/8/2024) menarik perhatian banyak lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan oleh keputusan RUU Pilkada merupakan hasil dari rujukan Mahkamah Agung (MA), bukan berdasarkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya bersifat mengikat. Alhasil, narasi “Peringatan Darurat” dan tagar #KawalKeputusanMK menjadi topik trending di media sosial.
Beberapa elemen masyarakat memutuskan untuk melaksanakan aksi tuntutan. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu pihak yang hadir dalam sebuah aksi dan memiliki peran sebagai berikut: (1) melindungi, (2)
menjaga keamanan dan ketertiban, (3) penegak hukum, serta (4) juru damai. Selain itu, merujuk pada salah satu poin dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, prinsip penggunaan kekuatan yaitu ketika dilaksanakan seimbang dengan ancaman yang dihadapi. Di samping itu pula, terdapat instrumen berupa water cannon, gas air mata, tongkat T, dan tameng untuk menimbulkan luka ringan apabila arahan perintah lisan dan kendali tangan kosong tidak dihiraukan.
Namun, melihat kondisi aksi menolak pengesahan RUU Pilkada, elemen yang turun ke jalan merupakan para mahasiswa yang ingin membantu masyarakat tanpa kuasa ini menyuarakan keresahannya, serikat pekerja yang menuntut haknya, para aktivis Kamisan yang tidak pernah lelah mengusahakan keadilan, para buruh yang juga kesulitan mendapat kehidupan kayak akibat hukum yang mencekik, pers yang ingin menyiarkan kondisi di lapangan agar keluarga dari orang-orang yang turun ke jalan bisa turut menyaksikan, dan elemen-elemen dirugikan lainnya. Sulit rasanya kalau mau berasumsi bahwa elemen seperti ini mampu memberikan ancaman yang begitu besarnya hingga Polri memutuskan untuk menggunakan senjata.
Mirisnya, kini yang beredar di sosial media justru anggota Polri dengan bangganya memperlihatkan amunisi, menyebarkan foto dan video demonstran ke akun pribadi dengan caption tidak senonoh dan terkesan merendahkan. “Hanya menjalankan tugas” “Kami juga ayah dan anak yang ditunggu kehadirannya di rumah”. Bukankah demonstran juga demikian? Apakah hanya karena perbedaan seragam hingga para demonstran ini layak mendapat perlakuan hina seperti dikejar, diseret, ditendang, dipukul berkali-kali, dan dilempari batu hingga mengalami luka parah?
Seolah peraturan, etika, dan prinsip tertulis yang menyangkut tugas pokok Polri yaitu melindungi masyarakat tidak lagi nyata. Polri malah bertindak layaknya mesin penghancur aspirasi rakyat dan turut berkontribusi atas merosotnya demokrasi. Kalau sudah begini, salahkah jika kalangan masyarakat mulai skeptis dan benci? Kepada siapa rakyat harus percaya ketika polisi yang harusnya mengayomi menjadi pihak yang justru merepresi?
Penulis: Naomi Widita
Editor: Vraza Cecilia
TAG: #aspirasi #demokrasi #sosial #