
Papua menjadi ladang pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Catatan hitam di Papua berawal dari manipulasi politik Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), kebijakan militeristik Indonesia, eksploitasi sumber daya alam (SDA), perampasan tanah adat, serta kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat sipil, aktivis, dan pers. Hingga saat ini, Papua masih terperangkap dalam ketidakadilan. Bagaimana pemerintah Indonesia dalam menghadapi permasalahan ini?
Retorika.id - Saat membayangkan Papua, mungkin hal pertama yang terlintas di benak masyarakat Indonesia adalah hutan luas nan rimbun atau pemandangan alam yang indah. Di balik keindahannya, Papua masih berada di bawah bayang bayang represi. Ironisnya, bayang-bayang tersebut datang dari sang “Ibu Pertiwi”. Untuk mengintip catatan-catatan hitam tersebut, dapat dilacak dari tahun 1969 hingga saat ini.
Sejarah awal PEPERA dan bergabungnya Papua di Indonesia
Papua, wilayah paling timur Indonesia telah lama menjadi sorotan atas kondisi sosial dan geopolitiknya yang jauh dari kata aman maupun kondusif. Setelah disepakatinya perjanjian New York, Papua yang sebelumnya berada di bawah pemerintahan Belanda resmi beralih menjadi bagian dari Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 yang turut diawasi United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA). PEPERA merupakan inisiasi pemerintahan Indonesia yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi warga Irian Barat atau Papua pada masa itu untuk menentukan nasibnya sendiri.
Namun, kesepakatan dalam PEPERA pada realitanya juga tidak dilaksanakan secara demokratis, hanya sekitar 1.025 rakyat Papua yang secara spesifik dipilih oleh militer Indonesia sebagai delegasi untuk mewakili total populasi Papua. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat timpang dibanding total populasi sebenarnya. Partisipasi rakyat yang minim serta tekanan kuat dari militer pada saat itu mendorong Papua agar menyatakan diri untuk tetap bergabung menjadi bagian dari Indonesia.
Berbagai aktivis dan pengamat politik internasional menganggap bahwa proses tersebut merupakan manipulasi politik belaka. Sebenarnya dalam hal ini, klaim atas legitimasi integrasi Papua ke Indonesia juga patut dipertanyakan. Di samping itu, perjanjian kontrak selama tiga puluh tahun yang ditandatangani oleh Indonesia dengan perusahaan tambang Freeport-McMoRan pada tahun 1967, dua tahun sebelum disepakatinya PEPERA, menunjukkan kecenderungan pemerintah menerapkan kebijakan kerjasama yang eksploitatif terhadap tanah Papua. Peristiwa ini kemudian menjadi salah satu pemicu utama munculnya rasa ketidakpuasan dan alienasi di kalangan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia.
Dari ketidakpuasan tersebut, rakyat Papua melayangkan berbagai protes hingga muncul gerakan separatis yang memicu ketegangan atas keinginannya untuk memisahkan diri dari Indonesia. Pemerintah Indonesia merespons menggunakan pendekatan militeristik dengan alasan untuk mempertahankan kedaulatan negara. Namun, dalam praktiknya, aksi militeristik oleh Indonesia juga dilancarkan kepada rakyat sipil yang melakukan kritik meski hal tersebut tidak ada unsur ofensif. Hal ini terjadi terus menerus walaupun rezim pemerintah yang silih berganti. Akibat pendekatan militeristik yang dilanggengkan pemerintah di tanah Papua selama berpuluh tahun lamanya, banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi, baik dilakukan secara terbuka maupun yang luput dari perhatian publik.
HAM, Barang Mewah Rakyat Papua
Di rentang tahun 2019 hingga 2024 saja, telah tercatat lebih dari 1.400 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, dan sebagian besar merupakan akibat dari tindakan represif pemerintah hingga penumpasan masyarakat sipil untuk meredam kritik. Hal ini tentu menjadi ironi, bagaimana militer dijadikan sebagai alat untuk memberangus kebebasan sipil dan merupakan perwujudan pelanggaran HAM
berat.
Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang cukup menggemparkan publik beberapa tahun lalu adalah penembakan terhadap Pendeta Yeremia. Peristiwa tragis yang mengarah pada pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani yang dimulai pada Sabtu (19/09/2024). Pada hari itu, Pendeta Yeremia dan istrinya, Mama Miriam Zoani, pergi ke kebun di daerah Bomba untuk memberi makan ternak babi mereka. Sekitar pukul 13.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), mereka mendengar suara tembakan yang diduga berasal dari Markas Koramil Hitadipa. Sekitar pukul 15.00 WIT, Mama Miriam yang sedang dalam perjalanan pulang sendirian bertemu dengan rombongan Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersenjata lengkap. Ketika itu, ia merasa sedikit lega karena pemimpin rombongan, Alpius, adalah orang yang ia kenal. Alpius sempat bertanya tentang masyarakat yang melintas di jalan tersebut, dan Mama Miriam menjawab bahwa hanya ia dan Pendeta Yeremia yang ada di sana.
Setelah percakapan itu, Alpius dan pasukannya menuju kandang babi milik Pendeta Yeremia, yang dilihat oleh masyarakat dari kejauhan. Malam menjelang, Pendeta Yeremia tidak kunjung pulang, sehingga Mama Miriam memutuskan untuk mencari suaminya ke kandang babi. Setibanya di lokasi, ia menemukan Pendeta Yeremia tergeletak dalam keadaan tertelungkup, darah mengalir dari tangan dan kepala, serta luka tusuk di punggung. Dalam keadaan kritis, Pendeta Yeremia menyebutkan bahwa penembakan dan penusukan itu dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Alpius. Sayangnya, akibat luka yang parah, Pendeta Yeremia meninggal dunia sekitar pukul 00.00 WIT.
Tragedi ini tentu menambah daftar panjang pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Dalam perspektif HAM internasional, tindakan penyiksaan terhadap Pendeta Yeremia masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan Statuta Roma Pasal 7 ayat 1, tindakan ini memenuhi lima elemen kejahatan kemanusiaan, termasuk penyiksaan fisik dan mental, pengendalian total terhadap korban, serta tindakan yang tidak sesuai dengan sanksi hukum.
Sejatinya, Pendeta Yeremia hanyalah satu dari sekian banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Empat tahun setelah kepergiannya, tindak kekerasan, represi, dan intimidasi masih dialami oleh para aktivis, mahasiswa, media, dan masyarakat di Papua hingga saat ini.
Selain ditindas secara fisik, rakyat Papua kini juga terancam dimarginalisasi dari tanah mereka sendiri. Perampasan wilayah adat milik suku Awyu dan Moi yang dilakukan korporasi sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) di Boven Digoel adalah contoh lain dari betapa peliknya permasalahan yang merasuk ke berbagai sendi kehidupan rakyat Papua. PT IAL mendapatkan izin lingkungan untuk mengelola lahan seluas 36.094 hektar di Boven Digoel, yang mencakup hak wilayah Suku Awyu. Selain itu, hutan adat milik sub Suku Moi Sigin juga dicaplok oleh PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) seluas 18.160 hektar di Sorong. Mirisnya, ancaman seperti ini tidak hanya datang dari dua perusahaan tersebut. Tercatat tujuh korporasi besar lainnya juga terlibat dalam konversi hutan adat Papua menjadi perkebunan sawit, termasuk PT Megakarya Jaya Raya, PT Kartika Cipta Pratama, PT Graha Kencana Mulia, PT Energi Samuderan Kencana, PT Trimegah Karya Utama, PT Manunggal Sukses Mandiri, dan PT Nabati Usaha Mandiri.
Dengan situasi ini, rakyat Papua semakin terdesak, bahkan untuk sekadar tinggal di tanah mereka saja pun sangat sulit. Berbagai bentuk ancaman, intimidasi, dan serangan seakan sudah menjadi bagian dari rutinitas kehidupan mereka sehari-hari. Namun tentu saja, hambatan-hambatan tersebut tersembunyi di balik alibi yang acap kali diucapkan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia bahwa Papua sudah jauh berkembang di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Sang Bapak Infrastruktur yang kepemimpinannya berakhir pada Sabtu (19/08/2024) ini.
Adanya otonomi khusus, pembangunan infrastruktur, hingga provinsi baru yang diberikan oleh Presiden Jokowi tidak serta merta menyelesaikan semua masalah yang ada. Yulius, selaku anggota aktif Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya, turut menuturkan bahwa hak otonomi khusus yang diberikan kepada Papua pada realitanya juga tidak cukup membantu penyelesaian konflik panjang antara pemerintah dan rakyat Papua. “Sampai saat ini Jokowi menganggap dengan memberikan otonomi khusus menjawab kebutuhan papua, seperti pembangunan infrastruktur, perluasan jalan. Rakyat papua melihat ini sebagai pembangunan biasa, pembangunan yg selayaknya dilakukan di indonesia juga.”
Adanya eksistensi kelompok separatis seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) maupun Organisasi Papua Merdeka (OPM) acapkali dijadikan justifikasi operasi militer yang terus-terusan diluncurkan oleh pemerintah Indonesia. Namun, ini tidak bisa jadi alasan bagi pemerintah untuk memperlakukan rakyat sipil dengan semena-mena.
“Seperti kemarin di Maybrat, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Duga, Paniai. Ini daerah-daerah konflik karena ada SDA yang pemerintah tidak bisa masuk langsung. Cara masuknya gimana? Ya skenario konflik dibuat, penambahan pos militer, lalu perusahan bisa masuk. Rakyat papua yang melakukan protes, bisa saja dipukul dan diusir dengan senjata,” ujar Yulius lagi.
Baginya, implementasi otonomi khusus tidak melahirkan sesuatu yang progresif untuk Papua. Malahan, operasi militer terus-terusan diluncurkan oleh pemerintah Indonesia.
Lagi-lagi Papua, lagi-lagi Papua
Berbagai berita yang kita jumpai di media mengenai kondisi Papua sungguh membuat frustasi. Tiada satu hari pun yang seakan luput dari ketidakadilan dan kekerasan yang dialami rakyat Papua. Seperti yang baru saja terjadi beberapa hari lalu, tepatnya pada Rabu (16/10/2024) dini hari, Kantor Redaksi media Jujur Bicara (JUBI) yang terletak di Jalan SPG Taruna Waena, Kota Jayapura, Provinsi Papua dilempari bom molotov. Menurut akun Twitter resmi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Indonesia, dua mobil operasional JUBI yang diparkir di halaman kantor itu terbakar dan rusak akibat letusan bom.
Serangan terhadap kantor JUBI menggambarkan represifitas dan intimidasi merambah hingga pada lembaga-lembaga pers yang seharusnya bebas dari segala bentuk intervensi dan tekanan. Sebab, pers menjalankan mekanisme kontrol dan pengawalan terhadap isu-isu yang berkembang untuk dilaporkan kepada publik. Bila pers saja dihalangi, bahkan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga independen direpresi, hal ini tentu cukup menjelaskan bahwa kebebasan pers di Papua pada realitanya terus-menerus dibungkam oleh pihak-pihak yang berusaha menutupi kebenaran.
Permasalahan Papua bukan hanya soal keamanan dan konflik bersenjata, tetapi juga bagaimana permasalahan-permasalahan tersebut berakar dari kebebasan masyarakatnya yang dieksklusikan, penjegalan terhadap HAM, dan marjinalisasi sipil. Selama pemerintah tidak mengatasi permasalahan ini dengan pendekatan yang lebih humanis, kesejahteraan yang dijanjikan melalui berbagai program pembangunan hanya akan menjadi ilusi bagi masyarakat Papua.
Dalam menyuarakan hal ini, Yulius pun menghimbau agar organisasi-organisasi di Jawa, terutama organisasi mahasiswa, lebih sering untuk menyuarakan isu-isu Papua.
“Kawan-kawan organisasi mahasiswa (ormawa) di Jawa terlalu phobia untuk melihat isu-isu di Papua. Kalau paham Indonesia, paham atas demokrasi dan ruang kehidupan, sudah sepantasnya juga bersolidaritasi dengan rakyat papua yg memperjuangkan ruang hidup dan bebas dari penindasan itu.”
Mahasiswa adalah agent of change, ujar Yulius lagi, sehingga musuh mereka adalah musuh yang sama, yaitu yang datang dari sistem yang memprioritaskan akumulasi modal daripada rakyat sendiri.
“Kunci dari solidaritas adalah melihat musuh bersama. Misal, di ‘98, musuh bersama mereka adalah Soeharto, maka kekuatan rakyat tak dapat dikalahkan.”
Maka dari itu, perlawanan terhadap ketidakadilan di Papua seharusnya menjadi perhatian bersama. Jika suara-suara yang memperjuangkan kebebasan di Papua terus dibungkam, perjuangan ini akan semakin panjang. Pemerintahan bergulir, tetapi kebijakan terkait Papua seolah hanya menjadi agenda pinggiran yang diabaikan setelah euforia pemilihan umum berlalu. Pemimpin baru saat ini memiliki tanggung jawab moral dan politik yang besar untuk menyelesaikan akar masalah Papua, bukan sekadar dengan pendekatan militeristik dan represif yang justru memperparah kondisi masyarakat Papua. Pemerintah harus belajar kembali cara untuk mendengar, setelah sekian lama menutup telinga dan memilih abai terhadap suara-suara nyaring di luar sana yang terus menggaungkan aspirasi untuk masyarakat Papua. Jika pemerintah memang memilih untuk terus buta dan tuli, mungkin kita memang harus berhenti menyebut Indonesia sebagai negara yang adil dan makmur, dan mulai mengakuinya sebagai arena oligarki untuk terus melanggengkan kekuasaan para elit.
Referensi
ABC. (2019, January 30). Bagaimana Masalah Papua Barat di Dunia Internasional Saat Ini? Tempo.co. Retrieved September 25, 2024, from https://www.tempo.co/abc/3582/bagaimana-masalah-papua-barat-di-dunia-internasional-saat-ini
Andante, R., & Wirabrata, K. H. (2024). Analisis Hukum Kasus Penembakan Pendeta Yeremia Zanambani dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Syntax Admiration, 5(8), 2998-3006.
Kontras. (2024, September 21). Empat Tahun Pembunuhan Pendeta Yeremia: Waktu Terus Berjalan, Keadilan Tak Kunjung Ditemukan. Kontras.org. Retrieved September 25, 2024, fromhttps://kontras.org/artikel/empat-tahun-pembunuhan-pendeta-yeremia-waktu-terus-berjalan-keadilan-tak-kunjung-ditemukan
Sari, Y. P. (2021). Pelanggaran HAM pada Peristiwa Penyiksaan yang Berujung pada Terbunuhnya Dua Warga Sipil di Papua oleh Anggota TNI. Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat, 19(1).
Tabuni, N. Y. (2022). Pendekatan Negara dalam Penanganan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat di Papua (Doctoral dissertation).
Penulis : Aveny Raisa, Naara Nava, Annisa Eka
Editor : Naomi Widita
TAG: #demokrasi #hukum #humaniora #politik