Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Wamena menyimpan luka, sebab banyak korban yang berjatuhan akibat dari sekelompok massa yang berhasil membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Sehingga memaksa aparat untuk segera bertindak dalam melakukan penyisiran untuk menangkap pelaku. Namun terjadi banyak tindak kejahatan yang dilakukan aparat terhadap warga Papua.
retorika.id-Bumi Cendrawasih telah lama menjadi perhatian dunia nasional maupun internasional terkait masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), salah satu diantaranya adalah Tragedi “Wamena Berdarah” pada 4 April 2003 silam yang meninggalkan bekas luka di hati masyarakat Indonesia khususnya warga Papua.
Terhitung tujuh belas tahun sudah Peristiwa Wamena berlalu, namun trauma karena adanya ketakutan dari peristiwa masa lampau yang terjadi masih terekam jelas diingatan. Tragedi “Wamena Berdarah” yang terjadi di tanah Papua diwarnai dengan ketegangan, kerusuhan, hingga tindak kekerasan yang sulit untuk dipadamkan.
Kasus pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Papua diantaranya terkait dengan pelanggaran hak sipil dan politik, kekerasan terhadap masyarakat sipil terkait gerakan separatis, maraknya penembakan dan pemindahan tempat tinggal secara paksa menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan.
Apalagi masih banyak Pelanggaran HAM yang belum ditangani secara tuntas, didukung dengan adanya konflik horizontal maupun vertikal yang telah banyak memakan korban menimbulkan perasaan traumatis sebagian warga Papua.
Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM Internasional tetapi faktanya masih banyak pelanggaran HAM berat di masa lalu yang belum terselesaikan secara tuntas khususnya di negara Indonesia. Padahal Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan sebuah konsepsi bahwa manusia berhak untuk mendapatkan perlakuan yang adil.
Mengingat kembali Tragedi “Wamena Berdarah” yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat karena merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat sipil di Papua dengan mendesak pemerintah agar keadilan segera dijunjung tinggi di tanah Papua untuk menciptakan perdamaian yang dinantikan seluruh penduduk Papua, terutama di Wamena.
Kronologi Tragedi Wamena Berdarah
Diawali dengan munculnya sekelompok massa yang tidak dikenal berhasil membobol gudang senjata Markas Kodim
1702/Wamena, aksi tersebut menewaskan 2 anggota Kodim yakni Lettu TNI AD Napitulu dan Prajurit Ruben Kana serta satu orang dikabarkan mengalami luka berat.
Sekelompok massa berhasil membawa lari sejumlah senjata dan amunisi didalam gudang, aparat keamanan pun merespon cepat aksi dengan mengerahkan aparat gabungan TNI dan POLRI untuk melakukan pengejaran.
Pada waktu itu masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari Raya Paskah tiba – tiba dikejutkan dengan penyisiran oleh aparat gabungan. Penangkapan yang sewenang- wenang, penyiksaan, pengungsian secara paksa dan kerugian lainnya dilakukan oleh aparat gabungan dengan titik sasaran 25 kampung selama kurang lebih tiga bulan menyebabkan banyak jatuhnya korban jiwa.
Sejumlah desa yang disisir diantaranya adalah Desa Wamena, Sinakma, Bilume-Assologaim, Woma, Kampung Honai, Napua, Walaik, Moragame-Pyamid, Ibele, Ilekma, dan beberapa kampung diantaranya Luarem, Wupaga, Gegeya, Mume, Timine dsb (Sitepu, 2017) .
Peran Komnas HAM dalam Konflik Wamena
Pada Juli 2004, Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan Projusticia atas dugaan adanya kejahatan kemanusiaan di Wamena. Kasus tersebut dilaporkan setelah terbunuhnya 9 orang dan 38 orang lainnya mengalami luka berat. Selain itu Komnas HAM juga turut mencatat pemindahan secara paksa terhadap penduduk di 25 kampung.
Saat proses pemindahan dikabarkan 42 orang meninggal dunia karena kelaparan dan 15 orang lainnya menjadi korban perampasan secara sewenang – wenang oleh aparat gabungan. Komnas HAM juga turut menemukan bukti adanya pemaksaan penandatanganan surat pernyataan serta adanya perusakan fasilitas umum seperti gereja, poliklinik, Gedung sekolah dsb (Kurniawan, 2015).
Komnas HAM menegaskan sudah melakukan upaya penyelidikan untuk kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Wamena, namun prosesnya lama di Kejaksaan Agung. Selain itu harapan besar Komnas HAM untuk pemerintah bisa ikut terlibat secara aktif dalam menyelesaikan kasus ini.
Menurut Undang – Undang No.26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, jika pemerintah memiliki niat untuk menyelesaikan masalah di Papua terkait pelanggaran HAM berat di Wamena maka dapat dilakukan tanpa harus melalui peradilan HAM Ad Hoc.
Tuntutan Keadilan bagi Korban “ Wamena Berdarah”
Kurang aktifnya negara dalam memproses tragedi kemanusian di Wamena dan memiliki kecenderungan untuk berupaya melupakan kasus ini menimbulkan tuntutan dari Forum Independent Mahasiswa (FIM) diantaranya :
1. Presiden Joko Widodo, agar segera mengambil langkah nyata untuk mendorong kasus Wasior dan Wamena ke Pengadilan HAM,
2. Segera membentuk Komisioner Komnas HAM Papua dan Pembentukan Pengadilan HAM di Papua sesuai mandate UU Otsus Papua Tahun 2001,
3. Stop pembangunan Mako Brimob di Wamena, sebelum penyelesaian proses hukum atas kasus “Wamena Berdarah”.
Tuntutan ini diajukan pada 4 April 2015 di Jayapura dalam rangka menolak lupa atas kejadian yang menimpa warga Papua. Disisi lain karena adanya rasa kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia yang terkesan lamban dalam menangani kasus di Papua.
Impunitas Pelanggaran HAM
Tidak adanya pembatasan waktu bagi negara dalam menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM berat menjadi permasalahan yang serius, secara subtansial impunitas merupakan pengingkaran dari asas kesederajatan di muka hukum. Sehingga harapan untuk menjerat pelaku Pelanggaran HAM dengan hukuman yang setimpal akan sulit untuk diwujudkan.
Indonesia merupakan surga bagi pelaku kejahatan tanpa hukuman (Lubis, 2005). Hasil penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan selalu menemui jalan yang buntu. Melihat dari perspektif korban, bahwa impunitas merupakan bentuk ketidakadilan baik secara formal maupun struktural
Praktek impunitas menjadi permasalahan besar dalam menciptakan keadilan bagi korban Pelanggaran HAM berat karena tidak adanya kepastian, sehingga hal tersebut akan mengakibatkan maraknya pelanggaran HAM.
Desakan untuk Menuntaskan Kasus Pelanggaran HAM di Wamena
Jalan panjang penyelesaian tragedi “Wamena Berdarah” masih terus bergulir, pemerintah yang pada awalnya memilih melakukan pendekatan yudisial lambat laun lebih mengedepankan non-yudisial.
Pemerhati HAM Papua menyoal penyelesaian kasus yang tidak kunjung usai, berkas yang diajukan mondar-mandir antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI. Kedua lembaga tersebut saling menyatakan opini masing – masing (ALDP Papua, 2019).
Komnas HAM mengungkap bahwa kekurangan di dalam berkas yang dilampirkan dapat dilengkapi oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik, disisi lain Kejaksaan Agung berpendapat bahwa tanggung jawab tersebut menjadi urusan Komnas HAM.
Ahmad Taufan selaku Ketua Komas HAM mendesak Joko Widodo untuk fokus menyelesaikan kasus di Wamena, dengan mekanisme penyelesaian diserahkan kepada pemerintah apakah akan menempuh jalan rekonsiliasi atau proses hukum.
Penulis: Dina Marga
Editor: Uyun Lissa F
Referensi :
Sitepu, Mehulika. 2017. Bagaimana Kronologis Tiga Kasus ‘Pelanggaran HAM Berat’ di Papua?.Tersedia dihttps://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39031020, diakses pada 22 Desember 2020
Kuniawan, Hasan. 2015. 12 Tahun Peristiwa Wamena Berdarah. Tersedia di https://daerah.sindonews.com/berita/984245/174/12-tahun-peristiwa-wamena-berdarah, diakses pada 22 Desember 2020
ALDP Papua. 2019. Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Wasior 2001 dan Wamena 2003 Selain Hukum Membutuhkan Desakan Moral dan Politik. Tersedia di https://www.aldp-papua.com/penyelesaian-kasus-pelanggaran-ham-wasior-2001-dan-wamena-2003-selain-hukum-membutuhkan-desakan-moral-dan-politik/, diakses pada 22 Desember 2020
Lubis, Todung Mulya.2005. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama
TAG: #aspirasi #demokrasi #demonstrasi #gagasan