 (1).jpg)
Film seringkali menggambarkan perang dengan aksi heroik prajurit di garis depan. Prajurit yang berperang dianggap sebagai orang nasionalis yang rela berkorban untuk tanah airnya. Akan tetapi, The Pacific (2010), sebuah series pendek karya Steven Spielberg dan Tom Hanks, mampu menggambarkan perang dari sisi lain. Bagaimana prajurit yang berperang mengalami kelelahan fisik dan emosional yang begitu hebat. Bagaimana prajurit yang berperang mengalami takut, trauma, dan kehilangan rasa kemanusiannya.
Retorika.id - Apa yang ada di benak kita saat mendengar kata perang? Nasionalis, aksi heroik, cinta tanah air, dan sebagainya. Ya, bagi masyarakat awam, perang tidak lebih dari bentuk membela tanah air. Apapun motif politik di balik perang, mereka yang menjadi prajurit dan ikut berperang dianggap orang-orang nasionalis yang siap membela tanah airnya dari negara asing. Mereka yang terjun ke garis depan merupakan orang-orang berani yang rela berkorban untuk negaranya.
Akan tetapi, mereka yang memutuskan untuk pergi berperang sebagian besar adalah anak-anak muda yang masih naif. Mereka memiliki pemahaman yang sama dengan orang awam kebanyakan. Bahwa terjun ke medan perang merupakan bentuk bakti kepada negara, mereka pun mengamini hal itu. Saat berada di garis depan dan dalam kecamuk peperangan, pandangan mereka pun berubah. Bahwa perang bukanlah aksi heroik semata. Bahwa perang tidak hanya tentang bagaimana prajurit membela negaranya. Bahwa perang sebetulnya hanya menipiskan garis antara rasa berani dan kemanusiaan.
Hal itulah yang coba digambarkan oleh Steven Spielberg dan Tom Hanks melalui series pendek bertajuk The Pacific (2010). Series keluaran 2010 ini memiliki 10 episode yang menceritakan sudut pandang Marinir Amerika saat Perang Dunia II di Teater Pasifik. Series ini diangkat dari dua memoir berjudul With the Old Breed: at Peleliu and Okinawa karya Eugene Sledge dan Helmet for my Pillow karya Robert Leckie.
Ulasan ini akan berfokus pada pengalaman Sledge, seorang Marinir Amerika kelahiran Mobile, Alabama. Masa kecil Sledge ia habiskan dengan teman sebayanya, Sidney Phillips. Akan tetapi, saat Perang Dunia II berkecamuk, Sledge dilarang oleh ayahnya untuk mendaftar di korps Marinir akibat penyakit murmur jantung yang ia derita. Sidney memutuskan untuk mendaftar ke korps Marinir, tetapi tidak dengan Sledge.
Selain karena alasan kesehatan, ayah Sledge yang seorang dokter sebetulnya
khawatir dengan nasib Sledge pasca perang. Ia melihat bagaimana tentara yang pulang perang menyimpan banyak trauma. Dalam salah satu cuplikan, ayah Sledge mengungkapkan rasa takutnya saat Sledge bersikeras untuk mendaftar ke korps Marinir. “I don't want to look in your eyes some day and see no spark, no love, no…no life. That would break my heart”. Bagaimanapun juga, Sledge tetap mendaftar menjadi Marinir.
Debut pertempuran Sledge dimulai saat ia ditugaskan untuk merebut Pulau Peleliu, sebuah pulau di rangkaian Kepulauan Palau. Dalam pertempuran itu, Sledge benar-benar menyaksikan realita peperangan. Ledakan artileri, rentetan tembakan, hingga kondisi mayat yang mengenaskan. Selama pertemuan, ia ditugaskan sebagai penembak mortir dengan tujuan utama merebut lapangan udara milik Jepang.
Rasa takut yang dirasakan harus ia tahan selama berhari-hari, sepanjang siang dan malam. Sledge harus bertahan dari derasnya hujan yang membuat tanah menjadi lumpur bercampur bau mayat yang tidak terurus. Sepanjang malam ia pun harus berjaga dari serangan Jepang. Saat berbincang dengan atasannya, Sledge mengungkapkan bahwa ia tidak pernah merasakan rasa takut yang begitu hebat sebelumnya. “I've never been more scared in my entire life”.
Setelah AS merebut Pulau Peleliu, Sledge dan kawan-kawannya diberi waktu istirahat di Pulau Pavuvu. Mereka kemudian ditugaskan kembali bertempur, kali ini di Kepulauan Okinawa. Pertempuran yang brutal ini benar-benar mengubah diri Sledge. Ia harus tetap hidup di tengah rasa takut, kewajiban menjalankan tugas, dan rasa trauma dari pembantaian warga sipil yang dilakukan oleh tentara Jepang.
Brutalnya perang membuat Sledge semakin menghilangkan sisi kemanusiannya. Perang telah mengubah Sledge dari sosok naif menjadi pembunuh yang tak kenal ampun. Sikap nekat yang ditunjukkan oleh tentara Jepang membuat Sledge semakin berambisi untuk membunuh setiap tentara Jepang. “I hope we get to kill every last one of 'em”.
Dalam salah satu baku tembak, Sledge memutuskan untuk menembak mati salah satu tentara Jepang yang sekarat dengan pistolnya. Tindakan tersebut pun ditentang oleh atasannya yang telah memerintahkan untuk berhenti menembak. Sledge, yang dibutakan oleh amarah, justru balik menentang. "We're all sent here to kill Japs, weren't we? So what the hell difference does it make what weapons we use? I'd use my goddamn hands if I had to”. Bagi Sledge, setiap tentara Jepang harus dibunuh.
Selama pertempuran, Sledge melihat bagaimana Jepang menjadikan warga sipil Okinawa sebagai tameng dan umpan. Baku tembak seringkali terjadi saat warga sipil berlarian mencari tempat perlindungan. Di sini, Sledge berada di posisi dilema. Jika ia berhenti menembak, tentara Jepang akan menembaknya. Jika ia menembak, pelurunya bisa saja mengenai warga sipil. Sledge semakin terjepit dalam pilihan yang sulit, sangat sulit.
Perang Dunia II akhirnya selesai pasca Jepang mengumumkan penyerahan tanpa syarat kepada Amerika pada 15 Agustus 1945. Akan tetapi, berakhirnya perang tidak serta merta membuat Sledge bebas dari rasa takut dan trauma. Bagian paling sulit dari tentara yang pulang adalah bagaimana ia kembali menjadi warga sipil. Mereka harus menganggap kengerian dan kebrutalan perang telah usai. Padahal, rasa trauma itu harus mereka simpan selamanya.
Saat pulang ke kampung halamannya, Sledge justru merasa asing. Ia merasa aneh melihat kotanya sendiri yang damai dan tentram. Selama ini, ia harus tinggal di pulau terpencil minim akses air bersih, tanah berlumpur bercampur mayat, bau busuk selama berhari-hari, dan terkadang menderita penyakit tropis. Pulang yang seharusnya menyenangkan, tetapi tidak semua veteran merasakannya, termasuk Sledge.
Hari terus berjalan. Namun, Sledge masih dihantui rasa bersalah. Sledge merasa bersalah kenapa ia bisa bersenang-senang, sedangkan di sana ada banyak rekannya yang gugur di garis depan. “Why did I end up back here when all those other fellas didn’t”. Ia memikul rasa bersalah yang sebetulnya bukan kesalahannya. Perasaan itu sempat ia ungkapkan kepada Sidney, kawan masa kecilnya yang juga bertugas di korps Marinir.
Saat ia diajak oleh ayahnya untuk berburu, ia tidak bisa memegang senapan tanpa menangis. Ia merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan selama berperang. Trauma yang Sledge rasakan membuatnya merasa tidak pantas memegang senapan lagi akibat ‘dosa-dosa’ yang telah ia perbuat. “I’m sorry, I can’t”.
Series karya Spielberg dan Hanks ini mampu menggambarkan perang dari sisi lain. Perang tidak hanya tentang aksi heroik seorang tentara untuk membela tanah airnya. Perang juga mampu mengubah seseorang yang naif menjadi sosok tanpa kenal kasihan. Perang mengharuskan seseorang menyimpan luka batin, rasa takut, dan traumanya sendirian. “A man who isn't scared out here is either a liar or dead”.
Sayangnya, pasca perang, tidak semua orang benar-benar pulang. Sebagian dari mereka gugur di garis depan. Sebagian lagi, meskipun selamat, merasa telah kehilangan dirinya. Mereka harus menyimpan trauma perang selamanya. “Ain't Nobody Goin' Home”. Selama episode terakhir, kita diperlihatkan bagaimana Sledge hanya menyimpan luka batinnya sendiri dan memilih diam, kecuali bercerita dengan Sidney. Trauma itu seakan tidak mau berhenti menghantui Sledge, bahkan saat ia tidur.
Series The Pacific menjadi tontonan yang mampu membawa kita merasakan kelelahan fisik dan emosional para Marinir Amerika selama perang. Spielberg dan Hanks mampu menggambarkan perang dari sisi prajurit di garis depan. Mereka tidak hanya menggambarkan Marinir sebagai sosok yang nasionalis rela berkorban, tetapi juga sebagai manusia yang rapuh. Manusia yang kehilangan sisi kemanusiannya.
Penulis: Adil Salvino
Editor: Shafa Athirah
TAG: #film #sejarah #seni #