Aku ingin kembali di waktu itu. Waktu di mana bercakap riang bersama perempuan manis dalam mata bercorak indah kias pelangi. Di antara senyum sabit miliknya, ia simpan ketulusan pula kesederhanaan yang sungguh anggun dimiliki seorang gadis. Namun pula sementaranya, hidup telah berwujud, duka adalah duka, patah hati adalah derita, dan waktu merupakan obat sekaligus racun bagi mereka yang mengalami cinta lantas bersembab gulana selama abad menjalankan tugasnya.
Retorika.id - Aku ingin kembali di waktu itu. Waktu di mana bercakap riang bersama perempuan manis dalam mata bercorak indah kias pelangi. Di antara senyum sabit miliknya, ia simpan ketulusan pula kesederhanaan yang sungguh anggun dimiliki seorang gadis. Namun pula sementaranya, hidup telah berwujud, duka adalah duka, patah hati adalah derita, dan waktu merupakan obat sekaligus racun bagi mereka yang mengalami cinta lantas bersembab gulana selama abad menjalankan tugasnya.
Orang menyebut, bahwa yang sejatinya Jiwa akan bertemu sesama jiwanya di jalan-jalan yang tak pernah disangka. Termasuk kau dan pula aku, perempuan yang menyuburkan sepohon cinta beserta dedaunan dan bunga indahnya, lalu membakar hangus seluruhnya dengan kematianmu.
“Siapa namamu?” tanyamu hari itu. Pertanyaan pembuka perkenalan kita. “Salam kenal ya, aku Nanti".
“Nanti? Sebuah nama?” tanyaku balik.
“Iya. Namamu sendiri?”
“Panggil saja Arah".
“Lucu sekali, kenapa orang tuamu memberikan nama itu?” Kau memberi pertanyaan yang seharusnya kutanyakan padamu. Pada namamu yang lebih unik seperti menyimpan filosofi menarik.
“Biar bisa menemukan arahnya. Biar menjadi manusia yang mandiri namun mudah mengarahkan,” tuturku dengan jelas menceritakan arti nama. Kau tertawa kecil beberapa detik, senyuman dan tawa itu ialah yang pertama kuingat sebelum ribuan senyum lain setelahnya.
“Bagaimana dengan nama Nanti, apa artinya?” Aku tersimpan heran soal namamu, Nanti.
Namun kau tak bergegas memberi jawaban, kau mengeluarkan buku yang tertulis jelas penulisnya Laksmi Pamuntjak. Seperti sedang menunjukkan suatu makna lewat sikapmu.
“Biar tidak menjadi Amba,” ucapmu singkat.
Hari perkenalan itu merupakan waktu penyambutan untuk hari-hari setelahnya. Termasuk pada kesempatan tersempat di desa Liang. Udara yang segar dan gelora pantai yang terhampar luas, diselingi pendermagaan aktif di mana kapal-kapal bersandar dari satu pulau menuju pulau lainnya. Dalam beberapa waktu akan terdengar peluit kapal berbunyi nyaring bersamaan dengan terbangnya burung-burung bangau. Pohon bakau berderet panjang di tepian, warna hijau bercampur biru dengan kejernihan air mencapai keindahan paripurna.
Hanya pula, kali ini alam masih kalah dengan lentik senyumanmu, seperti bulan dengan kawahnya yang melambangkan ketidaksempurnaan sebagai pesona keelokan. Namun tampak jelas, hatimu adalah karang yang kokoh nan siap melukai sesiapa yang tergelincir di atasnya. Bahkan bila itu ialah diriku.
“Menjadi perempuan itu seperti dipungut oleh keluarga yang mengambilnya. Itu kalimat terindikasi patriarki, tetapi merupakan fakta yang terjadi di masyarakat. Perempuan tak bisa berduka dan laki-laki tak bisa memiliki muka adalah rentetan realita yang masih sering terjadi di masyarakat kita, Ar.”
Aku terhenyak mendengar kalimatmu. Aku tersenyum kecil memilih tidak menjawab dan mendengarkan seluruh kalimatmu.
“Aku dilahirkan di dekat sini, Ar. Waktu kecil aku dilarang berlari di dekat pantai karena katanya aku dilahirkan dari seorang perempuan yang cantik dan kecantikan itu terwarisi hampir seluruhnya. Termasuk kutukan bahwa menjadi cantik artinya menggoda seluruh mata". Kau menarik napas panjang dan mengeluarkannya sembari menatap ke kejauhan samudera lepas. Aku melihat matamu memancarkan aroma butir pasir dan keheningan dalam lautan. Begitu dalam seperti sudah mencicipi ribuan luka.
Tak ingin udara diam memenuhi kita. Kulempar satu pertanyaan lugas,
“Maksudmu semua perempuan yang pastinya memiliki kecantikan, telah menciptakan kutukan dalam hidupnya?”
Kau menggeleng. “Bukan. Bukan semua perempuan yang memiliki kecantikan. Namun, semua perempuan sedari lahir ialah kecantikan itu sendiri. Ketika kemudian cantik tersebut memenuhi standarisasi, ia mengalami dua kali kutukan. Kutukan telah lahir dan kutukan menjadi manusia".
Semilir pantai dengan pelan menyisir helai per helai rambutmu. Mengibaskannya dengan lembut seperti tahu untuk menyentuh seseorang dewi, perlu dengan kemahakuasaan dari kelembutan itu sendiri. Aku melihatmu tidak sebagai manusia, namun jelmaan seorang dewi dalam raga yang rapuh atas jiwanya. Percakapan demi percakapan kusimpan, termasuk momen setelah itu saat kau sedang tenggelam dalam aktivitasmu.
“Sudahi saja pembicaraan kita sementara ini, nanti teman-teman mengira kita sedang berbincang soal cinta berdua,” tuturmu. Aku menyeringai saat kau mengatakannya dengan terus terang.
“Bukankah begitu, kita sedang bercakap soal cinta?” tanyaku sedikit mencoba untuk iseng.
Diam. Hanya udara itu yang memenuhi percakapan setelahnya. Kupandang wajahmu pun hanya menunjuk setengah lingkaran kecil senyuman. Tiada dan lenyap seluruhnya, kau menjawab keisenganku dengan cara tak biasa. Kepiting-kepiting yang keluar dari batu karang pun maju mundur merasa turut malu melihat caraku. Burung-burung juga seperti menghindari kita, mereka tahu adanya canggung yang mengisi sedikit ikatan berdua.
Sampai sekitar lima menit dari keheningan tersebut, kekasihmu menghampiri dengan tiga gelas es kelapa muda. Salah satu alasan mengapa kau adalah cinta dan aku adalah duka. Karena kau tumbuh dengan seluruh kehidupan, sementara aku tumbuh menjadi kematian setiap harinya.
“Gimana esnya, syahdu sekali bukan Ar?” tanya kekasihmu itu dengan pertanyaan cukup puitis sekaligus intimidatif. Tersirat secara tampak, ada hal lain yang tersimpan dan tersingkap.
“Oh tentu saja,” jawabku, memaksa adanya senyuman di kedua pipi. Walau pasti kusadari senyuman tak tulus, paling mudah diketahui keberadaanya.
Dalam kisaran dua menit setelahnya, kau memutuskan pamit. Tertinggal hanya diriku dengan kekasihmu yang menjadi alasan tersempatnya kecemburuan dan iri hati bahwa seorang perempuan penuh kasih berhati nirmala, justru bertemu seseorang laki-laki yang hanya tahu meraup keuntungan di tengah penderitaan.
Senyuman kecil terbit dari wajah kekasihmu, seperti ia telah menunggu saat di mana kau berpamit mundur.
“Kau menyukainya bukan? Ambil saja".
“Nanti bukan sebuah barang yang bisa diserahkan. Dia manusia dan aku pun manusia,” jawabku. Setelah saat itu, aku hanya tahu ada jarak yang terpandang cukup luas antara kehadiranku dengan kehidupanmu.
…..
Hari itu, percakapan terakhir kita sebelum jasadmu ditemukan di dekat sungai. Di dalam perahu nelayan yang juga berisi ikan. Ketragisan yang tidak pantas untuk dialami seorang perempuan teduh sepertimu. Namun kau sempat untuk menjabarkan dan mendongeng suatu legenda yang kupertanyakan kembali.
Sunyi sekali, seperti biasa selepas dini hari, kedatangan fajar usai subuh. Kau duduk di sisian seperti mencari sisihan kedamaian yang sebentar lagi lenyap direnggut terang terik mentari. Kicau burung pantai mulai berdengung dari satu ranting bakau menuju ranting bakau lainnya. Pohon ketapang pun tampak kokoh menjadi penyangga ayunan. Kau duduk di situ, melepas kesibukan semalam suntuk setelah bekerja membenarkan salah satu atap warga yang bocor.
“Dahulu sekali ada legenda mengenai nenek berkuda, namanya nenek Luhu. Nenek berkuda ini legenda yang dibuat untuk menakuti anak kecil yang main hujan. Katanya kalau mereka nakal dan tidak mau diingatkan ketika hujan, akan dicuri oleh nenek Luhu. Menurutmu mengapa bisa begitu?” Lagi-lagi kau seenaknya menciptakan satu pertanyaan yang bisa saja tidak mungkin terjawab.
Belum sempat benakku mencari celah, kau telah melanjutkan pernyataan.
“Kau tahu, dari legenda itu aku pun bertanya. Bahkan setelah ketragisan, seorang perempuan tetap menjelma kutukan yang menakutkan. Seperti kuntilanak, si manis jembatan ancol, nene Luhu, atau legenda lainnya. Di balik legenda tersebut, dikisahkan seorang putri yang diperkosa secara tragis lalu berkuda dan menghilang,” lanjutmu. Raut wajah datar yang tersolek jelas seolah menyadarkan, di setiap untai perkataan yang kita miliki adalah penjabaran eksplisit mengenai kehadiran jiwa yang kau tutupi.
Kau benar. Mengapa perempuan setelah kematiannya bahkan menjelma wujudnya menjadi kutukan panjang. Dunia tidak pernah memberikan sejenak saja jawaban yang menenangkan bahwa siapa tahu setelah kehidupan penuh derita akibat tubuhnya, perempuan bebas dari segala stigma. Namun masyarakat menempatkan perempuan sebagai wajah menyeramkan.
“Tapi aku tidak menyalahkan tetua kami. Semua adalah konsekuensi kehidupan dan menjadi perempuan saat hidup maupun setelah mati ialah kutukan".
Kau menutup perjumpaan kita dengan kalimatmu dan kehadiran hidupmu. Lima hari menjelang kepulangan ke Surabaya. Kabar tidak mengenakkan itu tiba yang menjadikan jiwaku membenci keasrian alam. Namun kau telah menyatu sebagai kesyahduan. Dalam kesenyapan ciptaan di antara rerindang pepohonan, kau berada di sana. Barangkali Tuhan menyayangimu lebih lekas dibanding diriku maupun sesiapa.
“Nanti pergi ke mana?”
“Nanti telah berpulang ke hadapan Yang Maha Kuasa,” jawab seorang gadis yang kurasa pastinya akrab denganmu.
“Dia bunuh diri dan ditemukan telah hamil selama dua bulan".
Tersentak. Diriku tak lagi membayangkan bagaimana kau menyimpan segalanya. Aku gusar setelah hari itu, kucari bekas tulisan yang pernah kautitipkan di kali kedua kita bercakap.
“Aku punya sebuah tulisan untukmu, Ar. Bacalah saja setelah semuanya sampai di waktu yang tepat". Suaramu masih tersisa membekas di kepalaku, ombak yang pelan menyerbu pasir pun masih cukup jelas tampak gelombangnya dalam benak ingatan, seluruhnya juga segala ucap dan tanya. Tidak pernah lepas sedetik pun. Bagaimana daun ketapang mengugurkan dirinya dan jatuh tepat di riang ombak keci dan buih sisa penghambaan terhadap lautan. Aku masih ingat hari itu tanpa melepasnya sedikit saja.
Kini, kau menjadi legenda dalam kepalaku. Kau menjadi mitos dalam alur hidup kecil. Tapi tenanglah di sana, kau tak akan menjadi wanita berkuda yang ditakuti. Bahkan bila pun iya, kau telah menunjukkan seorang perempuan dan keteguhannya sebagai pribadi itu sendiri. Kau telah menjelma kesempurnaan yang tak bisa dikiaskan sesederhana oleh kata.
…..
Jika ada kehidupan lain, aku tak ingin menjadi perempuan atau pun bila menjadi perempuan, ingin kupinang diriku sendiri untuk menjadi kekasih Arah. Laki-laki berparas teduh yang terkadang senang sekali melempar tanya soal banyak hal. Ia tak pernah tak mendengar kisah-kisahku. Arah bagaikan namanya, menunjuk ke mana seharusnya hidupku. Ia memberi jawaban yang selalu menyenangkan untuk mengalirkan kesuburan atas nama harapan kehidupan.
Namun aku perempuan yang terlanjur mengubur diri dalam kehinaan, setidaknya di mata lingkungan sosial di mana aku bertajuk hidup di dalamnya. Aku ialah pelaku utama dengan tubuhku. Tak terlahir cantik, sebagaimana standar yang orang sebut di berbagai kanal media dan berita iklan kecantikan. Hanya saja menjadi perempuan telah memenuhi syarat untuk mengacung derita pada hidup.
“Perempuan yang dilecehkan adalah akibat ketidaksucian jiwanya,” ucap seseorang dalam hening malam saat kuceritakan berbagai juntai kalimat mengenai penderitaan dari memiliki tubuh menjadi seorang perempuan. Sudah lama barangkali lima bulan dalam ancaman seorang laki-laki yang sungguh kukenali bagaimana rupanya. Ia mengirim teks berulang, akan kusebarkan.
Aku dipenuhi kekalutan dan hari itu berlari ke tepian pantai. Kupandang di sisiannya, wajah seorang lelaki yang sepertinya semrawut memenuhi isi kepala sembari melempar tatap ke luas hampar langit biru keunguan. Deburan ombak yang berkejaran satu sama lain merupakan aktor langsung dari Tuhan yang sungguh patuh dalam mendramatisir hidup kecil manusia. Jauh berjarak sekitar ratusan meter, perahu-perahu nelayan mulai menambatkan ikan-ikan hasil tangkapannya dan bergegas menuju daratan.
Di mata Arah, keindahan pantai itu saling beradu muka. Kedalamannya dalam menekur alam, seharusnya menunjukkan kebaikan jiwa itu. Aku ingin lari ke pelukannya, pada dekapannya, dan berteriak betapa penderitaan ini telah mengoyak seluruh tubuhku.
“Kau suka pantai?” Tanyaku tetiba saja kala menghampiri kau. “Tidak. Pantai telah merebut ayah dan ibuku," ungkapmu.
“Lalu mengapa berdiri di sisiannya?”
“Karena hidup perlu dihadapi. Rasa takut itu barangkali cuma berdiri di atas kepala. Kita punya waktu berduka walau rasanya ingin waktu berhenti saja, Nan".
Setelah hari itu, aku menemukan kekuatan soal menjadi seorang manusia dan mencari tahu bagaimana cara berduka. Yaitu bercakap dengan kau, Ar. Aku menulisnya dalam catatan harian yang barangkali suatu kelak akan kaubaca dengan henyap.
“Kau adalah cinta dan aku adalah duka”.
Hari itu, kau menitip pesan lewat seorang kawan. “Mari berjumpa pukul empat pagi di tepian muara".
Aku mengikutinya, sebelum subuh berdenting. Kakiku bergerak menuju muara. Di dekat perahu, tampak bayangan seorang lelaki yang kukenal cukup lama.
“Mati. Kau harus mati".
Satu kata darinya telah menembak tepat di ujung hati. Keganasan terpancar di tengah kegelapan. Kekalutan yang berriang di kepala, makin terbawa sepenuhnya. Aku tak bisa. Aku makin takut. Aku tak ingin. Muara yang dingin menjadi jalan persembunyian. Aku memilih tenggelam di dalamnya, menuju peristirahatan abadi sebelum sempat mengucap pamit pada kau.
Dalam dingin air, semuanya lebih sesak. Aku menyebut namamu. Berharap kau muncul dari suatu tempat, menyelamatkan jiwa yang berpasrah pada ketakutan dan hanya bisa memohon harap. Tapi tidak ada, biar kematian kemudian menyambutku dengan kebaikannya yang teduh. Seteduh saat kau menanyakan bagaimana aku mulai menaruh duka di setiap langkah hidup. Aku kemudian menyatu bersama alam, menjadi jiwa muara yang menjaga agar kelak tiada segala kesusahan dunia akibat manusia. Bahkan bila selepas ini menjadi kutukan dan hantu gentayangan pada legenda peradaban, aku telah bersumpah pada Tuhan semoga jiwaku menemani yang teduh tercintai.
…..
Dalam duka, aku hidup
Dalam cinta, aku menderita
Namun dalam wajah sang Kuasa, aku mencintaimu bersama semesta Kau adalah cinta dan aku adalah duka
Penulis: Amanina Rasyid Wiyani
Editor: Naomi Widita
TAG: #cerpen #karya-sastra #kisah #seni