» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Surat Pembaca
Kalbu dalam Semangkuk Kaldu
11 Agustus 2024 | Surat Pembaca | Dibaca 329 kali
Kalbu dalam Semangkuk Kaldu : Kalbu dalam Semangkuk Kaldu Foto: SakuraSakiSakiya on Pinterest
Di sebuah dapur sederhana, semangkuk opor ayam tengah dimasak. Di atas meja, bahan-bahan yang akan digunakan mulai saling berbisik.

Retorika.id - Di sebuah dapur sederhana, seorang ibu sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat hidangan spesial keluarga; opor ayam. Sementara itu, di atas meja, bahan-bahan yang akan digunakan mulai saling berbisik, seolah menyadari bahwa mereka akan segera dipersatukan ke dalam satu panci besar. 

Ayam, sebagai primadona, berdiri di antara teman-temannya. Menatap satu persatu bahan lain dengan wajah murung. “Kalian tahu, sebenarnya aku bukan produk lokal,” jeda si Ayam seraya menghela napas berat. “Sejak kekalahan Indonesia dari Brazil di Organisasi Perdagangan Dunia, Indonesia harus membuka keran impor dari Brazil, meskipun produksi unggas telah berhasil surplus 20,78 persen dari konsumsi.” 

Daun Salam tersenyum getir. Kesengsaraan peternak lokal terlintas di benaknya. Meski sudah dikenakan serangkaian biaya, harga ayam Brazil relatif jauh lebih murah dibandingkan ayam lokal, bahkan nyaris setengah harga. 

Apakah ayam lokal tidak bisa mendapat tempat yang layak di negeri sendiri? 

Surplus ayam negeri masih kalah jauh dengan Brazil. Padahal, jauh sebelum ancaman impor ayam, industri unggas sudah dihadapkan pada persoalan harga di bawah biaya produksi dan harga acuan. Sekarang, harus berkelahi lagi dengan tantangan oversupply berkali lipat lebih besar. 

Berharap upaya perbaikan dari pemerintah? Daun Salam berdecak skeptis. Para pejabat itu masih sibuk memilih kursi empuk—yang katanya—bisa menaikkan produktivitas kerja. Di tempat Daun Salam dibudidayakan, Borneo dibabat habis.


Asap hitamnya mengepul hebat, membuat tetangga sebelah berkacak pinggang. 

“Terbakar lagi, ya?” 

Hutannya berubah menjadi berhektar-hektar kebun sawit milik perusahaan asing. Kawan jauh Daun Salam, Si Utan, bercerita kini ia kehilangan tempat tinggal. Keluarganya terpecah belah, hilang entah kemana. Sayup-sayup terdengar mereka dieksploitasi oleh oknum bangsat nan serakah. 

“Miris sekali, Ayam,” celetuk Lengkuas, simpatik. 

Daun Salam menghela napas berat. Ah, bumbu dapur yang kerap dikira daging itu. Apakah Lengkuas tidak sadar kalau nasibnya sebelas duabelas dengan si Ayam? Daun Salam paham betul, para manusia seringkali misuh-misuh tiap kali tak sengaja menggigit lengkuas alih-alih sepotong daging. Keberadaannya dianggap sebelah mata. Manusia itu ‘melepeh’ Lengkuas begitu saja usai berjasa menambah citarasa pada sebuah hidangan. Mereka lebih suka bahan utama yang terlihat dan aromanya menyengat. Lengkuas layaknya pahlawan tanpa tanda jasa, bekerja keras di balik layar untuk menyempurnakan harmoni rasa. 

Menurut Daun Salam, Lengkuas dan guru honorer tak ada ubahnya. Gaji kecil, kesejahteraan kian kerdil. Guru honorer memegang peran krusial dalam mencerdaskan generasi bangsa. Akan tetapi, penghargaan yang diterima seringkali tak sebanding dengan kerja keras dan kontribusinya selama ini. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pemberi kesejahteraan, belum sepenuhnya memenuhi hak tersebut. Ditambah lagi kebijakan meniadakan tenaga honorer di instansi pemerintahan tanpa diimbangi kecepatan pengangkatan status jadi aparatur sipil negara, lambat laun akan menjadi jurang kehancuran sistem pendidikan di negeri ini. 

Ibu yang baru saja kembali ke dapur setelah memakai celemek, tiba-tiba menggaet si kembar Bawang Merah dan Bawang Putih dari rak bumbu. Daun Salam melemparkan senyum tipis pada duo kembar tak terpisah itu. Mereka berdua balas menyeringai lebar. 

Masakan tak akan lengkap bila tak ada si kembar. Mereka ibarat fondasi sebuah makanan. Meski fondasi ekonomi bangsa ini masih carut-marut, penuh binar Daun Salam berharap, suatu saat Ibu Pertiwi mampu berdiri tegak dengan pondasi kokoh dan stabil. Seperti halnya Bawang Merah dan Bawang Putih yang bekerja sama menciptakan harmoni dalam masakan, semoga berbagai elemen negeri ini dapat bersinergi dengan baik menuju Indonesia Emas 2045. 

Eh, atau Indonesia Cemas 2045, ya? 

Ah, lupakan soal itu. 

Daun Salam kembali memerhatikan gerakan tangan Ibu yang bersiap mengupas Kunyit. Namun, si kuning itu sempat-sempatnya mengerling genit di depan Daun Salam. Daun Salam sontak menggelengkan kepala, tersenyum geli. Siapa yang tidak tergoda dengan keelokan si Kunyit yang Genit? Pantas saja ratusan tahun silam Nederlands berbondong-bondong memperebutkan parasnya yang eksotis. Bahkan menghalalkan segala cara dengan mengeksekusi jutaan nyawa tak berdosa. 

Namun, bangsa ini tidaklah diam. Mereka melawan. Darah juang dari Nusantara sang penguasa Asia membuatnya tak gentar dari cengkraman Tuan Kincir Angin. Para dokter memantik gelombang cendekiawan, mendorong adanya politik etis. Para jurnalis menyuarakan kemerdekaan dari tulisan ke tulisan. Para pemuda bangkit dengan semangat Sumpah Pemuda, bersatu padu dari Sabang sampai Merauke. Para seniman melakukan perlawanan melalui karya seni, menumbuhkan semangat kebangsaan. Semua perbedaan melebur menjadi satu demi mencapai kemerdekaan. Ironisnya, puluhan tahun setelah merdeka, perpecahan atas nama SARA marak terjadi dimana-mana.

Tak lama kemudian, Ibu memasukkan Ayam bersama bahan-bahan lain ke dalam panci besar, termasuk si Daun Salam. Aroma sedap mulai tercium ketika mereka semua berbaur menjadi satu. Dengan hati-hati, Ibu menuangkan Santan secara perlahan. Santan mengalir dengan lembut, merangkul setiap elemen di dalamnya. Suasana menjadi lebih dinamis ketika Ibu menaburkan sedikit Gula dan Garam. Kedua bahan ini memiliki hubungan love-hate relationship yang unik. Gula dengan manisnya selalu ingin mendominasi, sementara Garam dengan asinnya berusaha untuk menyeimbangkan. 

Dalam panci besar, di atas api yang hangat, semua bahan mulai berbaur. Aroma opor ayam yang lezat seketika memenuhi ruangan, menarik perhatian seluruh anggota keluarga. Ibu tersenyum puas tatkala hidangan yang telah ia persiapkan sepenuh hati telah tersaji di meja makan. Setiap bahan, dengan keunikannya masing-masing, berkontribusi pada kesempurnaan hidangan. Menciptakan perayaan rasa yang tak terlupakan. Opor ayam bukan sekadar hidangan, melainkan sebuah simbol indahnya keberagaman. Satu suapnya menjadi bukti bahwa dalam setiap perbedaan, terdapat kekuatan untuk saling melengkapi. 

 

Kontributor: Diana Febrian Dika

Editor: Vraza Cecilia A.Z

 


TAG#cerpen  #humaniora  #  # 
Rubrik "Surat Pembaca" terbuka untuk siapa saja. Silakan kirim karya Anda dengan melampirkannya ke email redaksi@retorika.id dengan subjek (Surat Pembaca) Nama - Judul Tulisan.