» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Tajuk Rencana
RUU Penyiaran Picu Terbitnya Pers Neo-Orba
14 Mei 2024 | Tajuk Rencana | Dibaca 369 kali
RUU Penyiaran Picu Terbitnya Pers Neo-Orba: RUU Penyiaran Picu Terbitnya Pers Neo-Orba Foto: Dokumentasi Pribadi
Draft RUU Penyiaran selesai disusun oleh Komisi I DPR RI. RUU yang diklaim berusaha untuk menertibkan penyiaran di era digitalisasi ini justru mengancam kemerdekaan pers, bahkan berpotensi menyulut pers ala neo-orba.

Retorika.id - 2 Oktober 2023 lalu, draft RUU penyiaran selesai disusun oleh Komisi I DPR RI. Revisi itu disusun sebagai regulasi baru bagi penyiaran Indonesia di era digitalisasi yang kian kencang arusnya. Namun, bukannya menjadi solusi, draft ini malah terkesan problematik, bahkan hingga mengancam terbitnya pers neo-Orde Baru (Orba) di Indonesia.

Seakan tak belajar dari kondisi era Orba, kali ini Draft RUU Penyiaran terlihat tidak melibatkan komunitas jurnalis pada penyusunannya. Padahal, salah satu hal yang diatur dalam draft RUU ini adalah produk jurnalistik. Mulai dari regulator tayangan berita hingga eksklusivitas penayangan jurnalisme investigasi. Dua hal tersebut ialah vital dalam dunia jurnalistik. Rasanya, DPR RI tak acuh terhadap dampak panjang RUU ini, terutama pada pers Indonesia.

Masalah pertama datang dari pasal penyelesaian sengketa jurnalistik. Disebutkan dalam draft RUU penyiaran Bab X tentang Pelaksanaan Siaran, Pasal 127 ayat 2 bahwa Penyelesaian


sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal ini bertentangan dengan UU No.40 tahun 1999, Pasal 15 Ayat 2(d) fungsi Dewan Pers salah satunya adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Rancangan pasal baru ini memperlebar sayap KPI yang mulanya hanya fokus pada tayangan televisi menjadi penyelesai sengketa jurnalisme penyiaran. Awalnya, penyelesaian masalah yang berkaitan dengan produk jurnalistik ditangani bersama oleh Dewan Pers dan KPI sesuai dengan UU Pers. Jika KPI memegang kendali penuh, apa jadinya independensi media? Bagaimana nasib kredibilitas produk jurnalistik yang akan dihasilkan?

Tak berhenti disitu, Pasal 56 ayat 2(c) dalam draft RUU Penyiaran mengenai kelayakan isi siaran akan melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Ini seakan benar-benar ingin membungkam pers. Salah satu dari peran pers adalah sebagai watchdog atau kontrol sosial di masyarakat. Jurnalisme investigasi, khususnya mengenai pejabat publik, harus ditayangkan. Mendapatkan informasi adalah hak publik, terutama mengenai pejabat publik yang pada dasarnya bekerja untuk rakyat. Melalui penayangan jurnalisme investigasi pula, rakyat juga akan mengetahui tak hanya pelaku penyelewengan, namun juga orang-orang yang berpotensi terlibat atau bahkan mengikuti jejak dalam kasus tersebut. 

LPM Retorika pernah melakukan jurnalisme investigasi pada 5 Februari lalu. Kami melakukan investigasi terhadap munculnya dua gerakan berlawanan di Unair, yaitu Unair Memanggil dan Sabda Airlangga. Keduanya memiliki pernyataan yang berbeda mengenai status quo demokrasi saat ini. Namun, setelah melakukan investigasi mendalam yang melibatkan para dosen, mahasiswa, dan massa, kami menemukan bahwa Sabda Airlangga yang mengklaim menyuarakan suara dari mahasiswa dan alumni Unair hanyalah gerakan susulan yang diinisiasi oleh alumni Unair, dengan massa ternyata bukan dari Unair pula. Investigasi ini memberdayai publik dengan informasi sehingga mereka dapat menyimpulkan bahwa posisi kampus saat itu memang sedang pro status-quo dan dengan nyata berusaha menekan suara pro-demokrasi. 

Jurnalisme investigasi memiliki dampak yang besar. Adalah hak dasar dari rakyat Indonesia untuk memperoleh informasi yang faktual dan kredibel. Jika hak dasar seperti ini dilarang, maka apa bedanya dengan media era Orba? UU Pers yang hadir khusus untuk menjaga independensi dan marwah pers seakan tak ada artinya lagi jika RUU penyiaran ini disahkan. Bredel saja kalau begitu! Toh, jikalau RUU ini disahkan, apalah arti Dewan Pers? Lebih baik bredel saja dan ciptakan pers-pers boneka neo-Orba. Bukankah itu yang diinginkan oleh Yang Mulia? 

Penulis : Anisa Eka Febrianti (Pemimpin Umum LPM Retorika 2024/2025)

Editor: Vraza Cecilia Aida Z. (Pimpinan Redaksi LPM Retorika 2024/2025)

 


TAG#aspirasi  #humaniora  #lpm-retorika  #media-sosial