» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Intoleransi Selalu Hadir, Bhinneka Tunggal Ika Hanyalah Mimpi Utopis!
15 Mei 2024 | Opini | Dibaca 541 kali
Intoleransi Selalu Hadir, Bhinneka Tunggal Ika Hanyalah Mimpi Utopis!: Intoleransi Selalu Hadir, Bhinneka Tunggal Ika Hanyalah Mimpi Utopis! Foto: INDONESIAComment.com
Intoleransi agama terjadi untuk kesekian kalinya di negeri Indonesia, bahkan kejadian tersebut seringkali diikuti oleh kekerasan dan pelecehan yang dilakukan beberapa oknum. Selain agama itu sendiri, banyak hal yang disosialisasikan sebagai pegangan untuk warga negara, seperti Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, pun dalam pembukaan UUD 1945. Namun, sampai saat ini, mimpi utopis menciptakan inklusivitas tersebut masih jauh dari makna terwujud.

Retorika.id - Intoleransi sudah menjadi berita tahunan yang kerap kali dilayangkan oleh pers di penjuru negeri. Dimulai dari diskriminasi, intimidasi, bahkan kekerasan yang dilayangkan pada suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hal tersebut tentu meresahkan publik dan mencederai persatuan bangsa, mengingat Indonesia sebagai negara dengan keberagaman latar belakang di dalamnya. Lantas, timbul pertanyaan besar: sudah sejauh mana pegangan kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut berhasil diwujudkan?

Sejatinya, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negaranya dalam memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Secara hukum sudah jelas, tetapi pada kenyataannya, masih banyak komponen masyarakat yang tidak bisa menerima perbedaan, bahkan ketika dalam setiap agama dan kepercayaan meyakini bahwa kita perlu mengasihi sesama manusia dalam rangka menciptakan toleransi dan kedamaian


untuk mendukung berjalannya kegiatan beribadah dan kehidupan sosial itu sendiri.

Konflik horizontal biasanya berakar dari anggapan bahwa kegiatan atau pembangunan ruang ibadah agama lain, yang dianggap minoritas, mengganggu ketenangan masyarakat setempat. Tidak hanya itu, hal tersebut dianggap mengganggu status quo kekuasaan di suatu wilayah, baik kekuasaan untuk memberi pengaruh ataupun kekuasaan yang diakui (authority). Dalam menjalani keberagaman, diperlukan musyawarah yang melibatkan semua pihak untuk mencapai kesepakatan dan norma yang dijalani. Tak terkecuali, keterlibatan pihak ketiga mungkin esensial dalam menghindari bias akan golongan tertentu, khususnya yang memiliki kapital atau kekuasaan. Tindakan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya diskriminasi dan intimidasi terhadap kelompok yang dianggap minoritas. Diperlukan intervensi dari pihak-pihak berwenang lainnya, seperti kepala daerah dan kepolisian dalam menghadapi konflik tersebut. 

Keberadaan media massa sebagai ruang kebebasan berpendapat juga sayangnya berpotensi menimbulkan celah terjadinya intoleransi. Akuntabilitas yang kurang serta kontrol sosial yang tidak terkendali di dunia digital menjadikan orang leluasa berpendapat dan membangun narasi negatif untuk memengaruhi orang lain. Hal ini sering kali dibiarkan bertumbuh sehingga menimbulkan konflik verbal dalam dunia maya. Padahal, kebebasan berpendapat tetap memiliki batasan supaya tidak lantas merampas hak orang lain untuk menjalankan kehidupannya dengan nyaman. Sayangnya, kombinasi kurangnya kontrol sosial dan rasa tanggung jawab seseorang sering kali menjadikan media sebagai sarana pelanggengan intoleransi dan perpecahan lainnya.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perlunya penanaman sosialisasi yang lebih efektif di masyarakat, terkait nilai-nilai yang menjunjung toleransi seperti Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sila ke-3. Inklusivitas perlu diterapkan dalam tiap institusi dan setting sosial sebagai wadah sosialisasi yang dapat memberikan ruang untuk semua kelompok menjunjung hak dan menjalankan kewajibannya, tanpa dibayang-bayangi diskriminasi dan intimidasi yang berbasis konflik horizontal.

Sudah seharusnya negara dengan beragam latar belakang seperti Indonesia menjunjung tinggi toleransi. Jika tidak, konflik horizontal akan bermunculan dan berpotensi menjadi awal dari berbagai problematika lainnya di lain hari. Selain menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah, menjaga toleransi juga menjadi tanggung jawab dan kesadaran individu, serta memandang bahwa warga negara lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Manusia diciptakan dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengasihi, bukan untuk dihakimi perbedaan dan keimanan mereka.

Penulis: Sakha Ruhan Hudaya

Editor: Marsanda Lintang


TAG#aspirasi  #gagasan  #humaniora  #