Debut dengan skor 76% di Rotten Tomatoes, Kungfu Panda 4 resmi menjadi film Kungfu Panda dengan skor paling rendah sepanjang masa. Namun, kontroversi yang ditimbulkan sejak trailer film ini dirilis, seperti dipensiunkannya Po dari gelar Pendekar Naga, hingga hilangnya The Furious Five, rupanya hanya sekedar serpihan-serpihan kecil dari banyak kejanggalan yang ada. Maka, jika kita menilik perspektif kritik dan penonton, serta dinamika franchise Kungfu Panda secara keseluruhan, apa yang sebenarnya salah dari cerita petualangan Po si (mantan) Pendekar Naga kali ini?
Retorika.id - Dalam dunia perfilman yang penuh dengan sekuel hingga franchise, keberhasilan tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari kemampuan sebuah film untuk mempertahankan kualitas dan esensi yang membuat seri awalnya begitu disukai. Sayangnya, Kungfu Panda 4 tampaknya gagal memenuhi ekspektasi ini. Alih-alih terasa seperti sekuel yang buruk, Kungfu Panda 4 hanya terasa seperti sekuel yang salah. Film ini terasa janggal ketika disaksikan, terutama bagi penulis yang merupakan seorang pemuja setia dari trilogi Kungfu Panda yang mendahuluinya. Sehingga, berikut 3 alasan mengapa, bagi penulis, Kungfu Panda 4 adalah film yang paling lemah dari serial Kungfu Panda.
Pertama, kisah cepat tapi dangkal. Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas Kungfu Panda 4 terkesan lebih rendah dari film-film Kungfu Panda terdahulu, bahkan hingga membuat KP4 terkesan “murahan” dibandingkan para pendahlunya. Menurut penulis, masalah ini tidak terletak pada kualitas animasi atau akting suara yang menurun, melainkan pada dua hal: tempo yang terlalu cepat dan cara penyampaian cerita yang terlalu singkat.
KP4 yang hannya berdurasi 94 menit menjadi durasi film terpendek di franchise-nya. Durasi singkat ini sangat terasa ketika menonton, karena perkembangan cerita KP4 memiliki tempo yang begitu cepat. Ibarat sebuah restoran prasmanan yang terburu-buru mengganti hidangan, film ini terus menerus menyajikan adegan demi adegan dengan cepat, berpindah dari satu kejadian ke kejadian lain tanpa memberi waktu bagi penonton untuk mencernanya. Pacing film yang ngebut diperparah oleh fakta bahwa hampir seluruh menit di film ini diisi dengan dialog, sehingga tidak ada ruang tersisa bagi penonton maupun karakter untuk memproses adegan-adegan intens yang telah terjadi.
Masalah lain ada pada cara film ini menyampaikan cerita. Film Kungfu Panda memang mempunyai tempo yang cepat karena ada banyak adegan pertarungan epik yang intens, tetapi film-film sebelumnya juga mengerti pentingnya momen-momen santai. Namun, berbeda dengan film-film tersebut, cara bercerita film ini cenderung melanggar salah satu peraturan penulisan fiksi yang paling penting, yaitu “show,
don’t tell.” Sebab, alih-alih memperlihatkan adegan yang kompleks, Kungfu Panda 4 lebih suka langsung memberitahu pada penonton apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh-tokohnya, sekaligus menyampaikan pesan moral yang dapat ditangkap seperti cerita dongeng picisan di buku anak-anak SD.
Misalnya, jika Kungfu Panda 2 menggunakan metode storytelling yang sama seperti film ini, ini yang akan terjadi: Alih-alih menunjukkan scene yang mengungkap bahwa Po menyimpan trauma yang mendalam, lalu menunjukkan proses bagaimana Po menerima trauma masa lalunya demi kedamaian batin, Kungfu Panda 2 hanya akan cukup membuat salah satu tokoh di film berkata: “Hei, Po, kalau mau batinmu damai, jangan lari dari masa lalumu, tapi hadapi dia!” dan simsalabim, Po akan seketika mendapatkan kedamaian batin sambil bercanda dalam prosesnya. Alasan-alasan inilah yang membuat Kungfu Panda 4 seakan lebih “murah”, apalagi jika diukur dengan standar yang sudah didirikan oleh trilogy yang mendahuluinya.
Kedua, Inkonsistensi karakter yang tidak cukup dalam. Kecepatan tempo dalam KP4 juga mempengaruhi penyampaian cerita dan kedalaman unsur-unsur cerita. Di film ini, hampir tidak ada ide, konsep, ataupun hubungan antar karakter yang dieksplorasi secara dalam atau serius, dan beberapa hal yang ada bahkan cenderung berlawanan dengan konsep yang sudah dikenalkan di 3 film sebelumnya.
Contohnya, dalam film ini, premis utama karakter Po adalah perjalanan untuk mencari penerus Pendekar Naga—tapi premis penting ini diberikan tanpa alasan yang jelas. Meskipun sudah cukup lama jadi Pendekar Naga, Po tidak tampak menua atau melemah; ia tetap kuat dan berumur sama dengan dirinya di film ketiga ketika Master Shifu mengatakan bahwa Po adalah salah satu Master Kungfu yang paling muda. Satu-satunya alasan Po harus pensiun adalah agar ia bisa menjadi penerus Oogway, pemimpin spiritual bagi Lembah Kedamaian. Namun, hal ini sendiri bertentangan dengan film ketiga yang menekankan konsep bahwa Po adalah seorang Panda yang tidak terikat pada satu identitas tertentu.
Selain itu, masih banyak inkonsistensi lain, seperti Po ditunjukkan tidak mampu bermeditasi dengan tenang, padahal ia sudah punya kedamaian batin di film kedua; Shifu, yang belajar di film pertama untuk menerima seseorang apa adanya, kini meminta Po untuk berubah; dan Tai Lung, antagonis arogan dan jahat yang ditarik kembali dari Alam Roh, (spoiler alert) ditunjukkan memberi hormat kepada Po di akhir film—tindakan yang benar-benar mengkhianati watak yang ia miliki di film pertama.Yang terakhir, namun tidak kalah penting adalah ketiadaan The Furious Five, 5 pendekar kungfu ikonik yang selalu menemani Po di setiap film, dan hanya dimunculkan tanpa suara di credit-scene.
Hal ini membuat film ini tidak punya akar yang kuat. Namun kelemahan unsur-unsur di KP4 tidak hanya sampai di situ. Hubungan mentorisasi antara Po dengan Zhen, rubah licik yang digadang-gadang akan jadi Pendekar Naga selanjutnya, tidak pernah sempat berkembang dengan matang. Sebagian besar dari petualangan keduanya hanya difokuskan untuk mengalahkan antagonis utama. Hal ini juga berlaku bagi banyak hubungan antar karakter di film ini.
Begitu banyak inkonsistensi dan elemen di KP4 yang hilang maupun bertentangan dengan film-film pendahulunya, hingga alih-alih menjadi sekuel yang layak, KP4 justru terasa seperti sebuah film spin-off yang tidak seharusnya melanjutkan cerita dari film pendahulunya.
Terakhir, Antagonis yang “biasa saja”. Masalah utama dari film ini ada pada tokoh antagonisnya. Film ini memperkenalkan Chameleon sebagai musuh utama Po kali ini. Chameleon adalah seorang penyihir yang dapat berubah bentuk menjadi semua musuh yang pernah Po hadapi, termasuk Lord Shen (KP2), Jendral Kai (KP3), dan musuh yang paling digadang-gadangkan kembalinya: Tai Lung, mantan murid Shifu yang berubah jahat setelah ia ditolak menjadi Pendekar Naga (KP1). Namun, meski Chameleon memiliki kekuatan yang begitu luar biasa, ia tidak pernah terasa sebagai ancaman yang nyata. Sebagian besar waktu dalam film, Chameleon hanya berdiam diri dan menunggu kedatangan Po, dan tindakan jahat terbesar yang dilakukannya sebelum bertemu Po adalah mendorong seseorang hingga jatuh ke bawah tangga. Memang, Chameleon punya kemampuan yang unik dan punya banyak potensi, tapi sayangnya kekuatan ini hampir tidak berkontribusi apapun pada karakter Chameleon sendiri.
Padahal, latar belakang karakter dan kejahatan keji yang dilakukan oleh para tokoh antagonis selalu penting dan integral dalam petualangan Po di setiap film. Contohnya, Tai Lung digambarkan sebegitu kuatnya di film pertama hingga jadi alasan mengapa Po harus buru-buru diangkat menjadi Pendekar Naga. Lalu, Lord Shen bahkan sudah melakukan percobaan genosida pada Desa Para Panda di awal film kedua, sehingga menyebabkan trauma mendalam bagi Po. Jenderal Kai setidaknya mampu untuk menangkap semua Master Kungfu yang ada, termasuk Furious Five serta Shifu, hingga membuat Po dalam keadaan terdesak di sepanjang durasi film ketiga. Sehingga, lagi-lagi, jika dibandingkan dengan di film sebelumnya, Chameleon terasa sangat jauh dari standar yang seharusnya dimiliki oleh seorang antagonis Kungfu Panda. Bukan berarti Chameleon harus jadi antagonis yang sangat hebat; jadi ancaman nyata bagi Po ketika ia diperkenalkan di awal film saja sudah cukup. Sayangnya, dengan kekuatan epik yang tidak pernah digunakan secara benar, Chameleon hanya terasa sebagai potensi yang sia-sia ketika ditonton.
Terlepas dari semua kekurangan yang ada, Kungfu Panda 4, bisa dibilang, bukanlah sebuah sekuel yang buruk. Karena, KP4 masih merupakan film yang bisa dinikmati. Lagipula, kualitas KP4 tidak serendah sekuel film animasi lain, seperti Shrek 3, Cars 2, ataupun Wreck it Ralph: Ralph Breaks The Internet---deretan film sekuel animasi yang bukan cuma jelek, namun secara aktif menginjak-injak hal-hal fundamental yang sudah didirikan oleh film pendahulunya. Setidaknya film ini masih punya adegan pertarungan Kungfu yang memukau dan soundtrack yang menggugah---dua unsur khas dari franchise Kungfu Panda yang kualitasnya tidak berubah.
Namun, kegagalan Kungfu Panda 4 sendiri tetap begitu mengecewakan, apalagi mengingat kualitas film animasi dari Dreamworks yang terus menurun, ditambah dengan adanya rencana untuk merilis 2 film lagi dari Kungfu Panda, membuat masa depan Po si Mantan Pendekar Naga terasa begitu suram. Maka, Penulis berharap agar kelemahan dari film ini hanya akan menjadi anomali, bukan standar untuk film-film Kungfu Panda kedepannya.
Penulis: Naara Nava Athalia Lande
Editor: Vanyadhita Iglian
TAG: #film #review # #