» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Kini, Politikus Sudah Tidak Berbohong Lagi
28 April 2025 | Opini | Dibaca 102 kali
Tribundepok.com: - Foto: Tribundepok.com
Kalau dulu publik menganggap lumrah politikus yang berbohong dengan sopan, kini mereka justru harus menerima penghinaan yang disampaikan secara jujur dan blak-blakan. Bukan karena para politikus telah berubah menjadi lebih baik, melainkan karena mereka tahu bahwa rakyat tidak lagi memiliki ruang untuk menentang kekuasaan yang mereka genggam.

Retorika.id - Dalam beberapa bulan terakhir, iklim politik Indonesia mengalami pergeseran yang mencolok. Hal ini tidak terjadi pada ranah struktural atau kebijakan formal saja, melainkan juga pada pola komunikasi para pejabat publik dalam merespons isu-isu nasional. Jika sebelumnya masyarakat lebih akrab dengan gaya bicara normatif, hari ini kita justru dihadapkan pada komentar-komentar yang blak-blakan, sinis, dan kadang menyudutkan suara publik.

Sulit ditentukan kapan tepatnya pola ini mulai mengemuka, tetapi gelombang komunikasi tanpa filter ini tampaknya semakin menjadi-jadi di masa transisi kekuasaan. Ketika struktur pemerintahan belum sepenuhnya mapan, publik sudah bisa menangkap arah relasi yang akan dibangun, yaitu relasi tanpa kepekaan. Para pemangku jabatan tak lagi sibuk menjaga citra simpatik atau bersembunyi di balik kalimat basa-basi. Insensitivitas mereka yang berada di atas tampuk kekuasaan terhadap kondisi rakyat kini disampaikan secara terang-terangan, tanpa dikemas dalam eufemisme atau rasa bersalah, seolah mendengar suara rakyat adalah beban yang tak perlu diemban. 

Contoh paling nyata dari perubahan pola komunikasi ini bisa kita lihat dari sejumlah pernyataan pejabat dalam beberapa waktu terakhir. Ketika harga cabai melonjak tajam pada Februari lalu, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, sempat ditanya mengenai langkah mitigasi yang akan diambil pemerintah. Alih-alih menunjukkan kesigapan negara dalam menangani situasi, ia justru menyarankan masyarakat untuk


menanam cabai sendiri di rumah. Tidak hanya meremehkan kompleksitas masalah, tetapi juga pernyataan Zulhas menyiratkan pembiaran terhadap beban ekonomi masyarakat kecil. Seakan-akan beban tersebut dapat direduksi hanya dengan sekop dan bibit.

Di bulan yang sama, aksi “Indonesia Gelap” sempat meledak sebagai bentuk desakan terhadap pemerataan anggaran negara, terutama di sektor pendidikan dan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik. Selama aksi berlangsung, beberapa massa aksi sempat mengalami tindakan represif dari aparat, terutama di Jakarta Pusat. Saat publik berharap pada pernyataan empati dari pihak pemerintah, Presiden Prabowo justru menganggap protes yang terjadi sebagai sesuatu yang tidak relevan. Dalam pidatonya di Kongres Partai Demokrat, Presiden Prabowo mengutip prediksi bank investasi multinasional, Goldman Sachs, sebagai patokan masa depan perekonomian Indonesia. 

"Ada suatu prediksi ekonomi dan statistik. Mereka mengatakan nomor satu akan jadi Tiongkok, menyalip Amerika. Nomor dua adalah Amerika, nomor tiga India," ucapnya.

"Ini Goldman Sachs, katanya China akan (jadi) nomor 1 di tahun 2050, India nomor 3, Indonesia nomor 4."

“Kan keren Indonesia di atas Jerman, di atas Jepang, di atas Inggris, di atas Perancis. Kok Indonesia gelap?”

Sebuah bukti bahwa jarak emosional antara negara dan warganya tidak hanya menganga lebar, tetapi juga nirempati. Pernyataan tersebut seakan menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mendengar keresahan masyarakat dengan baik dan bijak. Ironisnya, hal ini datang langsung dari orang nomor satu di Indonesia.

Tak berhenti di situ, puncak dari pola berulang ini adalah saat aksi Tolak RUU TNI mulai menyebar luas. Beberapa hari setelahnya, kantor redaksi Tempo mendapat kiriman kepala babi sebagai bentuk intimidasi terhadap seorang jurnalis perempuan, Francisca Christy Rosana. Dalam kondisi yang semestinya menuntut sikap tegas pemerintah atas ancaman terhadap kebebasan pers, Kepala Komunikasi Kepresidenan RI, Hasan Nasbi, malah menjawab, “Sudah, dimasak saja.” Lebih dari merendahkan, komentar ini telah melecehkan nilai demokrasi yang seharusnya melindungi pers dari segala macam bentuk intimidasi.

Perubahan cara bicara para pejabat ini bukan sekadar dinamika komunikasi, melainkan pertanda lunturnya etika publik yang selama ini—meskipun penuh kepalsuan—setidaknya masih dijaga demi menghormati rakyat. Dulu, kita mungkin jengah pada pernyataan penuh sandiwara yang terdengar manis tapi kosong. Kini, bahkan basa-basi pun sudah dianggap tidak penting. Kita sedang menyaksikan kekuasaan dalam bentuknya yang paling telanjang, tanpa rasa takut dan gimik. Para politikus sudah tak berbohong lagi, bukan karena mereka menjadi lebih jujur, tetapi karena mereka sadar bahwa tak ada konsekuensi apapun atas ketidakpedulian mereka. 

Referensi

Siregar, K. (2025, Februari 27). Menyindir aksi 'Indonesia Gelap', Prabowo optimistis masa depan cerah. Tetapi apakah para pakar sependapat?. CNA. https://www.cna.id/indonesia/menyindir-aksi-indonesia-gelap-prabowo-optimistis-masa-depan-cerah-tetapi-apakah-para-pakar-sependapat-28856 

CNN Indonesia. (2025, Februari 27). Zulhas Usul Masyarakat Tanam Cabai Depan Rumah Usai Lonjakan Harga. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250227075237-92-1202924/zulhas-usul-masyarakat-tanam-cabai-depan-rumah-usai-lonjakan-harga

Fajri, D. A., et al. (2025, Maret 24). Rekam jejak Hasan Nasbi yang punya ide kepala babi di kantor Tempo untuk dimasak saja. Tempo.co. https://www.tempo.co/politik/rekam-jejak-hasan-nasbi-yang-punya-ide-kepala-babi-di-kantor-tempo-untuk-dimasak-saja-1223530 

Penulis: Istiana Wahyu

Editor: Claudya Liana M.

 


TAG#aspirasi  #demokrasi  #gagasan  #pemerintahan