
Selama lebih dari lima tahun, ribuan dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) di perguruan tinggi negeri hidup dalam ketidakpastian. Tunjangan Kinerja (Tukin) yang seharusnya menjadi hak mereka tertahan di meja birokrasi tanpa kejelasan kapan akan dibayarkan.
Retorika.id - Pada Desember 2024, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) mengajukan anggaran sebesar Rp10,7 triliun untuk membayar tunggakan tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN. Namun hingga kini, yang disetujui hanya Rp2,5 triliun. Tidak ada kejelasan bagaimana sisa anggaran akan dipenuhi atau kapan pembayaran akan dilakukan.
Mochamad Yunus, salah satu dosen senior Hubungan Internasional Unair turut menanggapi isu terkait tukin ini. Menurutnya, tukin untuk dosen ASN di kemristekdikti (pada periode pemerintahan sebelumnya) seharusnya sudah menjadi hak dosen sejak lima tahun yang lalu.
"Tukin itu hak yang tertunda. Seharusnya lima tahun lalu dibayarkan, tetapi tidak pernah dibayarkan. Tahun lalu Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, sudah menandatangani keputusan menteri yang berisi bahwa kementerian akan memberikan tukin untuk 2025. Ternyata di awal tahun, terjadi simpang siur kabar tidak jelas," ujarnya.
Febby Risti Widjayanto, dosen Ilmu Politik Unair pun memberikan tanggapan pula mengenai keheranannya terhadap hal ini. Menurutnya, kondisi ini semakin membingungkan karena di kementerian lain, seperti Kementerian Agama dan Kementerian Pekerjaan Umum, tukin tetap dibayarkan kepada dosen di bawah naungannya. Namun, dosen di bawah Kemendikti Saintek justru mengalami ketidakjelasan pembayaran.
"Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum, mereka mendapatkan tunjangan kinerja. Nah, kenapa di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dengan jabatan fungsional yang sama tidak diberikan tunjangan
kinerja? Ini terjadi diskriminasi dan dampaknya akan sangat besar," jelas Febby.
Febby juga menyoroti bagaimana ketidakjelasan kebijakan ini telah menyebabkan dampak psikologis yang signifikan bagi banyak akademisi. Dalam beberapa kasus, ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut telah membuat beberapa dosen mengalami tekanan finansial. Menurutnya, Tukin bukan hanya sekadar insentif tambahan, tetapi juga salah satu komponen utama kesejahteraan dosen.
Gaji pokok dosen ASN yang relatif rendah membuat tukin menjadi pendapatan krusial bagi banyak akademisi yang bekerja penuh waktu di perguruan tinggi negeri. Situasi ini memperburuk ekosistem akademik karena dosen yang menghadapi masalah finansial sering kali terdistraksi dan tidak bisa fokus pada penelitian atau pengajaran.
"Kalau misalnya ada penghapusan tentang tunjangan kinerja itu sangat inkonstitusional dan tidak sesuai dengan aturan yang sebelumnya. Kalau misalnya itu digugat, kita melayangkan misalnya para dosen yang tergabung dalam asosiasi dosen Kemendiktisaintek atau Adaksi, melayangkan gugatan itu bisa dilakukan kepada PTUN, Pengadilan Tata Usaha Negara, karena ada maladministrasi di situ," jelasnya.
Ketidakpastian ini menciptakan efek domino yang tidak hanya merugikan dosen, tetapi juga melemahkan sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Dosen Muda Non-ASN dan Nasib yang Lebih Tidak Pasti
Di sisi lain, dosen muda non-ASN tidak terdampak langsung oleh isu tukin, tetapi mereka justru menghadapi tantangan yang jauh lebih berat. Tanpa status ASN, mereka tidak hanya tidak memiliki hak atas tukin, tetapi juga berada dalam sistem kerja yang lebih eksploitatif.
"Dosen yang sudah dapat serdos (sertifikasi dosen) gitu-gitu basic need. Tapi, dosen muda-muda itu hanya mendapat gaji pokok. Yang belum dapat serdos, belum dapat tunjangan fungsional. UMK buruh Surabaya itu Rp4,5 juta. Sementara gaji pokok dosen, terutama yang baru masuk, hanya sekitar Rp3 juta sekian. Bayangkan, pendidik di perguruan tinggi justru mendapat penghasilan lebih rendah dibandingkan buruh pabrik," lanjut Yunus.
Yunus menjelaskan bahwa banyak dosen kontrak yang tidak memiliki kepastian kerja, karena universitas bebas untuk tidak memperpanjang kontrak mereka.
"Dosen kontrak itu hidup di bawah ancaman tidak diperpanjang. Kalau sedikit kritis atau tidak sesuai dengan kebijakan universitas, kontrak bisa tidak diperpanjang," ungkapnya.
Menurutnya, ini adalah bagian dari skema eksploitasi tenaga pengajar yang semakin marak terjadi di perguruan tinggi negeri.
"Jadi, kalau kaitannya dengan pembatasan aspirasi macam-macam, sebenarnya telah terstruktur sistematik dalam skema sistem pendidikan yang kontraktual. Dosen muda yang kontraktual itu yang paling lemah posisinya, mereka nggak bisa bersuara," lanjutnya.
Meskipun mereka tidak mendapatkan tukin, nasib mereka tetap terikat dengan kebijakan keuangan universitas. Jika tukin dosen ASN saja tidak dibayarkan, bagaimana universitas bisa mengalokasikan anggaran yang layak untuk dosen non-ASN?
Mogok Mengajar: Pilihan Terakhir?
Sejauh ini, para akademisi masih mencoba menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomasi. Namun, jika inkonsistensi ini terus berlanjut, mogok mengajar bisa menjadi pilihan terakhir.
"Langkah kita sudah cukup panjang untuk memperjuangkan hak-hak dosen. Untuk ke depan apabila kemudian tuntutan dari dosen ini, tuntutan dari teman-teman Adaksi ini tidak dipenuhi, yang mana ini juga sangat kritis, mogok kerja bisa menjadi opsi yang harus ditempuh," tegas Febby.
Namun, dengan sistem kontrak yang menekan dosen muda, aksi pun tidak bisa dilakukan tanpa risiko besar.
Meski begitu, Yunus menambahkan bahwa suara-suara kritis dari dosen-dosen muda terkait dengan ketimpangan kesejahteraan dosen ini kemudian mencuat karena kondisi pendidikan kita sudah sangat ekstrem, maka diperlukan adanya gerakan yang lebih besar untuk menanggapi hal ini.
"Kita berharap dari kasus ini dosen-dosen menyadari di era komersialisasi pendidikan, kita ini sudah masuk dalam skema buruh. Karena itu, perlu dosen-dosen ini sadar untuk berorganisasi dan menuntut hak-haknya. Kasus ini sebenarnya menunjukkan itu betapa strata terbawah dosen-dosen di dalam sistem pendidikan, kita itu diperlakukan buruk," jelasnya.
Penulis: Aveny Raisa dan Salwa Nurmedina P.
Editor: Vanyadhita Iglian
TAG: #aspirasi #event #pemerintahan #pendidikan