.jpg)
Konflik agraria menjadi isu krusial yang menggambarkan kegagalan pemerintah dalam mempertahankan hak masyarakat atas lahan mereka. Bahkan, kasus-kasus ini terus melonjak sepanjang satu dekade pemerintahan Jokowi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak hampir 3.000 kasus konflik agraria yang telah terjadi sejak tahun 2015 hingga 2023. KPA menyoroti bahwa pemberian hak guna lahan hingga 190 tahun untuk proyek Ibu Kota Nusantara melanggar konstitusi agraria. Selain itu, kritik terhadap pemerintah muncul akibat kegagalan reforma agraria yang dianggap terlalu fokus pada legalisasi aset ketimbang redistribusi tanah kepada petani. Hal ini tentu mencerminkan betapa ketidakseriusan pemerintah terus dilanggengkan dalam penanganan masalah agraria yang telah berlangsung sejak era kolonial.
Retorika.id - Selama satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), konflik agraria mengalami eskalasi, memperparah ketimpangan dalam penguasaan tanah, serta memperburuk kesejahteraan masyarakat pedesaan. Jokowi dituding telah menyalahi konstitusi agraria (UUPA 1960) dan mengabaikan Putusan MK No. 21-22/PUU-V/2007, yang melarang pemberian Hak Guna Usaha (HGU) selama 90 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun. Pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberian hak atas tanah kepada pengusaha menjadi 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB dalam proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Keputusan ini dianggap lebih buruk dibandingkan dengan masa kolonial Belanda, ketika pengusaha diberikan hak sewa tanah perkebunan (erfpacht) selama 75 tahun.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahun 2023, terjadi 2.939 letusan konflik dalam kurun waktu 2015–2023, yang mencakup 6,3 juta hektare lahan serta menggusur 1.75 juta rumah tangga korban termasuk petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat. Pada tahun 2023, konflik agraria di Indonesia menyebabkan 241 letusan konflik, yang menyebabkan hilangnya 638.188 hektare tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 KK. Sebanyak 110 letusan konflik mengakibatkan kematian 608 pejuang hak atas tanah sebagai akibat dari tindakan represif yang digunakan di wilayah konflik agraria.
Dalam workshop regional tentang upaya monitoring konflik tanah yang dilaksanakan di Jakarta (27/02/24), Marianne Jane Naungayan dari Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development (ANGOC) mengatakan bahwa banyak konflik agraria yang tidak tercatat atau dilaporkan. Data mengenai letusan konflik dan akibat yang ditimbulkan tersebut belum mencakup penderitaan yang dialami perempuan dan anak-anak sebagai akibat lanjutan dari pelanggaran yang terjadi, seperti penggusuran, perusakan rumah, pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa korporasi (36%), pemerintah (29%), dan penguasa (15%) adalah pemangku kepentingan yang paling sering menyebabkan meletusnya konflik agraria. Selain itu, penyebab kedua letusan konflik agraria adalah program pemerintah dan pembangunan seperti infrastruktur umum seperti jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan.
Keputusan yang dibuat oleh pembangunan yang terkait erat dengan kepentingan bisnis ini dikenal sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang secara langsung menyebabkan penggusuran, perampasan tanah, dan tindakan kriminal terhadap rakyat. KPA mencatat 115 konflik agraria akibat PSN dalam kurun waktu 2020–2023, yang melibatkan 516.409 hektaree lahan dan 85.555 kepala keluarga. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan bahwa perdebatan tentang konflik agraria di Indonesia sudah ada sejak era kolonial, tetapi pemerintah masih belum serius menangani permasalahan agraria nasional hingga saat ini, termasuk konfliknya. Salah satu ketidakseriusan ini dapat dilihat dari kinerja tim reforma agraria nasional dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang gagal, meskipun telah dibentuk khusus untuk menyelesaikan masalah.
KPA mengeluarkan catatan kritis terhadap pelaksanaan reformasi agraria. Menurut catatan tersebut, program reforma agraria pemerintahan Jokowi telah menyimpang karena terlalu mengutamakan legalisasi aset tanah daripada distribusi lahan kepada petani. Pemerintahan Jokowi awalnya berjanji untuk membagi sembilan juta hektare tanah untuk pertanian, dengan target sebesar 4,5 juta hektare untuk legalisasi aset dan 4,5 juta hektare untuk redistribusi tanah kepada warga. Namun, legalisasi aset lebih dominan dalam pelaksanaannya, dengan pencapaian 110,5 juta bidang tanah dari 126 juta bidang tanah yang ditargetkan. Di sisi lain, redistribusi tanah, terutama di kawasan hutan, baru mencapai 379.621,85 hektare, atau 9,26% dari target, hingga akhir tahun 2023. Data ini menunjukkan bahwa ketimpangan belum dapat diurai untuk mencapai keadilan agraria. Dari 851 lokasi reforma agraria prioritas, baru 21 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dengan 5.400 hektare untuk 7.690 keluarga yang telah mencapai redistribusi tanah dan penyelesaian konflik, sedangkan 830 LPRA lainnya belum diretribusi dan masih terlibat dalam konflik yang berkelanjutan.
dir="ltr">Dampak Konflik Agraria
-
Meningkatnya Represifitas oleh Aparat
Konflik semakin parah karena melibatkan aparat kepolisian dalam setiap penolakan yang dilakukan oleh warga bahkan hingga tindakan represif dilakukan aparat dengan menggunakan gas air mata yang membahayakan. Akibatnya, tercatat pada tahun 2023 sebanyak 3.503 orang mendapatkan kekerasan karena memperjuangkan hak atas tanahnya, diantaranya 2.363 orang dikriminalisasi, 905 orang dianiaya, 78 orang tertembak, dan 72 orang tewas. Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di delapan belas provinsi melaporkan bahwa terdapat 16 daerah konflik yang menggunakan yang masih menggunakan pendekatan represif untuk menekan warga. Salah satunya terjadi pada masyarakat di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, yang menjadi korban tindakan brutal yang dilakukan aparat keamanan untuk melindungi perusahaan. Sekurang-kurangnya dua puluh orang warga dikriminalisasi, tiga orang tertembak, dua diantaranya kritis dan satu orang tewas di tempat. Peristiwa tersebut terjadi Sabtu (7/10/2023) saat masyarakat Bangkal melakukan aksi damai untuk menuntut tanah plasma mereka dari perusahaan perkebunan sawit, PT Hamparan Masawit Bangun Persada I.
Awalnya, perusahaan memasuki wilayah masyarakat tanpa izin dan kemudian mengklaim secara sepihak dengan alasan mendapatkan izin lokasi dan/atau HGU. Dengan menggunakan ketakutan dan ketidaktahuan warga, perusahaan menjanjikan kerjasama inti-plasma, yang secara tidak langsung mendesak masyarakat untuk menyerahkan tanah mereka. Masyarakat setempat, masyarakat adat, dan petani yang berasal dari pemilik tanah dipaksa secara halus menjadi orang tak bertanah dan dijanjikan akan mendapat jatah plasma sebagai petani-pekerja kebun inti-plasma. Namun, janji tentang lahan plasma masih belum terwujud hingga saat ini padahal mangkrak sejak 2006. Pada tahun 2008, masyarakat melakukan protes, tetapi tidak ada tanggapan dari perusahaan atau pemerintah dan pada bulan September tahun 2023 menjadi puncak protes yang dilakukan masyarakat Bangkal.
-
Banyaknya Alih Fungsi Lahan
Banyak lumbung pangan telah berubah fungsi menjadi bandara, jalan raya, kawasan bisnis, perumahan, dan investasi lainnya di bidang sumber agraria seperti perkebunan, meskipun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Contoh alih fungsi lahan pertanian produktif termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cilacap, Bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo, Bandara Internasional New Yogyakarta (NYIA) di Kulon Progo, Jalan Tol Yogyakarta-Solo, dan Bandara Internasional Kertajati di Jawa Barat. Untuk membangun Bandara Internasional Kertajati, sebelas desa harus digusur, yang mencakup 7.500 hektare persawahan, kebun, dan pemukiman.
-
Membunuh Sumber Kehidupan Petani dengan Memperbesar Impor
Alih fungsi lahan pertanian ini tidak hanya menyebabkan banyak petani kehilangan sumber kehidupan mereka, tetapi juga menyebabkan produksi beras nasional mengalami defisit di tengah kebutuhan yang meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan populasi penduduk. Pemerintah telah menetapkan impor beras sebesar empat juta ton pada tahun 2024 dan Badan Pangan Nasional memperkirakan impor akan mencapai 5,18 juta ton setelah mengimpor 3,06 juta ton yang dilakukan pada tahun 2023.
-
Meningkatkan Jumlah Petani Gurem
Penggusuran dan perampasan tanah pertanian untuk pembangunan infrastruktur dan investasi tidak hanya memaksa alih fungsi lahan, tetapi juga menyebabkan petani, nelayan, masyarakat adat, dan anggota masyarakat pedesaan lainnya yang terlibat dalam sektor pertanian menjadi gurem atau bahkan terlempar ke sektor lain. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani di Indonesia dengan lahan kurang dari setengah hektare (gurem) meningkat 18,54% dari tahun 2013 hingga 2023. Jumlah rumah tangga dengan status gurem sendiri mencapai 17,24 juta pada tahun 2023, meningkat dari 14,25 juta petani pada tahun 2013.
-
Melahirkan Aktor Baru Perampasan Tanah dengan Mendirikan Bank Tanah
Bank Tanah melegalkan praktik-praktik negaraisasi tanah, yang berarti bahwa tanah dimiliki oleh negara atau pemerintah. Inilah praktik yang subur saat Pemerintah Kolonial Belanda yang mengambil tanah dan kekayaan alam kita. Praktik ini dikenal dengan domein verklaring. Bank Tanah tidak berpihak pada pemenuhan hak masyarakat kecil atas tanah, melainkan untuk investasi. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 PP Bank Tanah, Bank Tanah menjamin dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan pusat dan daerah dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi dan investasi. Celakanya, sumber tanah yang dikuasai Bank Tanah ini berasal dari penetapan yang dilakukan pemerintah melalui klaim tanah negara.
Menurut PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, tanah negara adalah tanah yang dimiliki oleh petani, nelayan, atau masyarakat adat yang belum bersertifikat atau tidak dapat dibuktikan kepemilikannya. Setelah tanah negara ditetapkan oleh pemerintah, tanah tersebut akan ditetapkan sebagai hak pengelolaan (HPL) dan dimasukkan sebagai sumber tanah bagi Bank Tanah. Hal ini akan memperparah liberalisasi pertanahan, spekulan, dan monopoli tanah oleh kelompok tertentu, termasuk elit pemerintah sendiri. Cara kerja lembaga ini justru melegalkan perampasan tanah dan penggusuran wilayah hidup masyarakat, memperparah kemiskinan struktural di perkotaan dan pedesaan, dan mengkriminalkan penggarap, petani, komunitas adat, dan masyarakat miskin atas nama investasi dan pembangunan. Bank Tanah telah mencaplok tanah-tanah rakyat di Cianjur, Poso, Luwu, Sigi, dan Penajam Paser. Dengan demikian, operasinya memperluas jarak ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat kecil dan perusahaan swasta dan negara, termasuk investor asing serta menambah kompleksitas konflik agraria di Indonesia.
Akar Penyebab Konflik Agraria
Melejitnya angka konflik agraria di Indonesia selinear dengan tingginya angka aduan masyarakat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Letusan konflik agraria di Indonesia pun tak terlepas dari campur tangan para pemangku kepentingan, yang mana di antaranya adalah korporasi (36%), pemerintah (29%), atau elite penguasa yang kuat (15%). Dalam siaran pers yang dirilis oleh KPA menyatakan program pemerintah atau proyek strategis nasional (PSN) yang termasuk di dalamnya adalah infrastruktur umum mencakup jalan, jembatan, bandara atau pelabuhan menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi kedua. KPA mencatat, selama kurun tahun 2020-2023, terjadi 115 letusan konflik agraria akibat PSN yang melibatkan 516.409 hektare lahan dan 85.555 kepala keluarga. Selain itu, disebutkan bahwa pada kategori korporasi yang terlibat dalam konflik agraria adalah kategori agribisnis dan perkebunan, pertambangan dan properti, serta perusahaan industri kayu yang menempati hampir separuh dari area konflik agraria. Mengutip pada koran tempo, Reforma Agraria yang dijanjikan Jokowi selama ini pun juga tidak kunjung ditepati, yang mana hal ini juga tidak dibarengi dengan pemulihan ketimpangan penguasaan tanah antara petani atau masyarakat dengan pemilik modal. Menurut Catatan Konsorium Pembaruan Agraria, dalam dua periode kekuasaan Jokowi sejak 2015 hingga 2023, terjadi 2.932 konflik agraria di atas 6,3 juta hektare lahan. Sengketa pertanahan ini telah menggusur 1,7 juta petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat. Intinya, rezim Jokowi tidak serius untuk membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria.
Dalam tulisannya, Noer Fauzi Rachman, seorang Direktur Sajogyo Institute; Dewan Pakar KPA menganalisis akar masalah dari begitu banyaknya konflik agraria di Indonesia. Pertama, tidak ada kebijakan untuk menyediakan kepastian penguasaan (tenurial security) bagi akses atas tanah-tanah/sumber daya alam (SDA)/wilayah kelola masyarakat, termasuk pada akses yang berada dalam kawasan hutan negara. Kedua, dominasi dan ekspansi badan-badan usaha raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta konservasi. Ketiga, instrumentasi badan-badan pemerintahan sebagai “lembaga pengadaan tanah” melalui rezim-rezim pemberian hak/izin/lisensi atas tanah dan sumber daya alam. Keempat, UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkan sebagai UU Payung, pada prakteknya disempitkan hanya mengurus wilayah non-hutan (sekitar 30% dari wilayah RI), dan prinsip-prinsipnya diabaikan. Bisa dikatakan bahwa saat ini, UUPA ini “sudah tidak relevan” kembali, bisa dilihat dari banyaknya pergeseran aturan yang melenceng dari UUPA. Dengan adanya ketidaksesuaian pasal-pasal atau aturan baru yang jelas melenceng, keberlanjutan UUPA ini pun tentunya dipertanyakan. Peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan/kehutanan/PSDA lainnya tumpang tindih dan bertentangan antara satu dengan yang lain, misalnya Undang-Undang Cipta Kerja. Kelima, hukum-hukum adat yang berlaku di kalangan rakyat diabaikan atau ditiadakan keberlakuannya oleh perundang-undangan agraria, kehutanan, dan pertambangan. Keenam, sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanisme, dan administrasi yang mengatur pertanahan/kehutanan/SDA lainnya yang semakin menjadi-jadi. Terakhir, semakin menajamnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan tanah/hutan/SDA lainnya. Akar masalah konflik agraria merupakan rangkaian setan yang perkarannya belum terputus hingga saat ini. Perkara ini malah menimbulkan suatu perkara baru terutama tren kekerasan yang seiring meningkat dengan melonjaknya konflik agraria.
Upaya Penyelesaian
Konflik agraria akan terus-menerus meletus di mana-mana apabila akar masalahnya tidak dapat diselesaikan. Konflik ini akan terus terjadi apabila masih ada upaya-upaya untuk melanggengkan akar permasalahannya, yang tentunya orang pertama yang merasakan dampaknya adalah masyarakat, khususnya masyarakat adat. Salah satu tulisan pada tempo.co, memaparkan Hubungan manusia dengan tanah dan sumber agrarianya pada dasarnya berlapis dan kompleks, dari hubungan bersifat sosial, ekonomi, budaya, dan ekologis sampai religio-magis (spiritual). Proyek pembangunan kerap menyederhanakan hubungan tersebut menjadi sekadar bersifat ekonomi dan mencabut paksa manusia dari hubungan-hubungan berlapis tersebut yang berujung pada konflik agraria. Rusak dan hilangnya tanah, hutan, sumber air, dan ruang hidup masyarakat dianggap selesai dengan mekanisme ganti rugi dan sejenisnya. Padahal hilangnya kebun sagu bagi masyarakat Papua, misalnya, berarti pula lenyapnya budaya, tradisi, nilai, dan dimensi spiritual. Sebab, pohon sagu adalah filsafat hidup, bukan semata sumber pangan. Jadi, ketika konflik agraria terjadi, tuntutan yang muncul tidak dapat digeneralisasi semata-mata untuk pemenuhan hak, seperti ganti rugi yang pantas atau penyelesaian hukum yang adil, tetapi lebih dari itu, karena mereka menuntut pengembalian ruang hidup mereka yang rusak dan hilang, yang tidak dapat dikalkulasi secara ekonomi. Upaya untuk memperbaiki masalah ini belum selesai hingga saat ini. Jika ada inisiatif kebijakan agraria nasional yang telah muncul, mereka biasanya hanya terlihat di luar dan hanya berfokus pada aspek tertentu dari Reforma Agraria, seperti sertifikasi tanah dan legalitas aset. Namun, yang lebih penting adalah keberanian untuk merestrukturisasi ketimpangan dalam penguasaan tanah dan sumber agraria.
Referensi:
Kompas.id, 2024. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/15/terus-diwariskan-konflik-agraria-tak-berkesudahan
Kompas.id, 2024. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/09/24/catatan-kritis-reformasi-agraria-di-era-joko-widodo
KPA, 2024. https://www.kpa.or.id/2024/02/27/konflik-agraria-di-indonesia-tertinggi-dari-enam-negara-asia/
Penulis: Tim Riset Litbang
Editor: Aveny Raisa
TAG: #ekonomi #hukum #lingkungan #pemerintahan