
Pembunuhan terhadap Ismail Haniyeh, pemimpin politik kelompok perlawanan Palestina mengguncang Timur Tengah. Beberapa pihak mensinyalir bahwa pembunuhan tokoh penting faksi perlawanan Palestina itu akan mendorong adanya eskalasi kekerasan di kawasan. Terlebih, pembunuhan Haniyeh dilakukan di Teheran, Iran yang notabene merupakan rival utama Israel.
Retorika.id - Pembunuhan terhadap Ismail Haniyeh, pemimpin politik kelompok perlawanan Palestina mengguncang Timur Tengah. Beberapa pihak mensinyalir bahwa pembunuhan tokoh penting faksi perlawanan Palestina itu akan mendorong adanya eskalasi kekerasan di kawasan. Terlebih, pembunuhan Haniyeh dilakukan di Teheran, Iran yang notabene merupakan rival utama Israel.
Ketakutan akan serangan Iran pasca-terbunuhnya Haniyeh kembali menguat. Masih lekat dalam ingatan ramai ketika Iran melancarkan serangan besar-besaran ke Israel pada April 2024—yang ditengarai merupakan sebuah tindakan deterens alih-alih deklarasi perang. Sementara itu, di sisi lain menjauhnya sekutu-sekutu utama Israel di Eropa menunjukkan adanya perubahan sikap politik negara-negara Eropa yang mulai realistis mengingat dukungan baik politik dan militer atas Israel selama ini telah menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Salah satu tonggak penting perubahan tersebut adalah pengakuan Spanyol, Irlandia dan Norwegia terhadap Palestina pada Mei 2024. Momen ini, menandai perubahan sikap politik negara-negara Eropa atas isu Palestina setelah puluhan tahun tekanan dan protes di tingkat domestik dan internasional. Langkah politik ini sebetulnya bukan yang pertama. Swedia menjadi negara Eropa pertama yang mengakui Palestina lebih dari satu dekade yang lalu.
Hal ini membuat berbagai pihak bertanya-tanya. Setelah semua yang terjadi, apakah benar benar akan ada perubahan atas kondisi yang terjadi di Palestina? Perang di Gaza sendiri telah memakan lebih dari 39.000 korban jiwa, blokade total Israel yang menyebabkan krisis humaniter, hingga lebih dari setengah pemukiman di Gaza yang telah hancur dalam salah satu kampanye pengeboman yang disebut-sebut paling mematikan dalam sejarah modern umat manusia. Salah satu isu utama itu, ialah masa depan
solusi dua negara.
Koeksistensi atau Dominasi?
Semenjak penandatanganan Perjanjian Oslo pada 1993 antara Israel, Palestinian Liberation Organization (PLO), dan Amerika Serikat yang masing-masing diwakili oleh Rabin, Arafat, dan Clinton, solusi dua negara seolah menjadi kata ‘sakral’ dalam menjawab pertanyaan isu Palestina.
Salah satu poin penting Perjanjian Oslo sendiri adalah adanya konsensus dua negara sebagai mekanisme penyelesaian dari genosida yang dilakukan oleh Israel pada masyarakat Palestina yang telah berlangsung semenjak 1967. Salah satu isi dalam proposal perjanjian tersebut ialah pembentukan otoritas nasional Palestina di Tepi Barat dan kesepakatan akan dialog lanjutan terkait batas-batas negara Palestina di masa depan.
Namun, masa depan perjanjian ini pun kandas. Penyebabnya terdiri dari berbagai faktor: mulai dari penolakan faksi-faksi dari Israel dan Palestina hingga terbunuhnya Yitzhak Rabin oleh Yigal Amir, seorang ekstrimis sayap kanan Israel. Terbunuhnya Rabin sendiri menjadi pukulan telak bagi Perjanjian Oslo. Dalam beberapa tahun berikutnya, politik dalam negeri Israel mulai bergerak ke spektrum kanan, dan puncaknya ketika Benjamin Netanyahu dari Partai Likud terpilih menjadi Perdana Menteri.
Lantas, apa yang ditinggalkan oleh Perjanjian Oslo? Terbentuknya otoritas Palestina di Tepi Barat yang menjalankan pemerintahan terbatas belum dapat menjawab secara jelas pertanyaan mengenai masa depan Palestina. Mulai dari batas-batas kenegaraan, pemukiman Israel, status Yerusalem, hingga hak untuk kembali masyarakat Palestina yang terusir selama peristiwa yang lebih dikenal dengan istilah ‘Nakba’.
Solusi dua negara, yang merupakan sisa-sisa dari Perjanjian Oslo masih menjadi sebuah konsensus utama dunia internasional terhadap Israel-Palestina. Suka tidak suka, mau tidak mau kedua negara yang telah berselisih sejak lama tersebut harus berdampingan satu sama lain. Pertanyaan tentang batas akan membawa pada masalah lain—batas-batas negara Palestina cenderung terpecah, terpisah, atau bahkan tidak jelas. Terlebih, semua penyeberangan perbatasan yang memisahkan Palestina dengan tetangga Arabnya, Yordania berada dalam kontrol Israel.
Sebagai akibat dari kondisi ini, masyarakat Palestina yang berada di Tepi Barat mau tidak mau harus menjalani kondisi yang dapat dikategorikan sebagai apartheid. Misal, Anda seorang penduduk Palestina di Hebron, Tepi Barat, dan tetangga Anda merupakan seorang Israel yang tinggal di H2—sebuah pemukiman Tepi Barat Israel. Itu berarti Anda tidak mempunyai kedudukan legal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Israel sendiri telah lama mempraktekkan kebijakan segregasi dan dominasi antara penduduk Israel dan Palestina. Penduduk Palestina seringkali menjadi target penangkapan, penyiksaan, hingga unlawful killing oleh otoritas Israel di Tepi Barat.
Hal ini membawa kita pada masalah lain pada kasus Israel-Palestina: praktik apartheid. di wilayah yang disebut sebagai Occupied Palestinian Territories (OPT) ini adalah adanya rezim politik yang didasarkan atas represi dan diskriminasi terhadap suatu ras tertentu. Istilah yang meminjam praktik diskriminatif yang pernah diterapkan pemerintah Afrika Selatan atas warga kulit hitam ini turut ditemukan pada kasus Israel-Palestina.
Salah satu hal mendasar ialah adanya rezim politik yang secara langsung memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap suatu etnis atau ras tertentu—dalam hal ini, masyarakat Palestina. Catatan hitam Amnesty Internasional mengindikasikan adanya perbedaan hak-hak yang dimiliki oleh pemukim Israel dan masyarakat Palestina. Sebagai contoh, pemukim Israel dapat bepergian secara bebas di seluruh Tepi Barat, sementara warga Palestina memerlukan perizinan yang kompleks dan rumit untuk didapatkan.
Selain itu, indikator penting lainnya terletak pada hak-hak sipil dan politik. Bilamana pemukim Israel dituduh melakukan suatu kasus kriminal, maka ia akan diadili di pengadilan sipil Israel. Namun, hal berbeda terjadi pada warga Palestina—ia akan diadili di pengadilan militer alih alih pengadilan sipil. Terkesan familiar? Pemerintah Afrika Selatan sempat memberlakukan kebijakan yang sama terhadap warga kulit hitam sebelum 1990an, sebelum kemudian sistem ini dihapus melalui serangkaian proses politik setelah pemerintah Afrika Selatan dikecam oleh dunia internasional.
Tidak Ada Yang Pasti
Mengutip Ilan Pappe, bilamana Anda menemukan sebuah negara dengan kultur yang berkembang, industri IT sukses, dan militer kuat yang dibangun dari hasil mengambil hak orang lain, Anda akan mempertanyakan legitimasi moral diri Anda sendiri. Dalam kasus Israel-Palestina, solusi dua negara menemukan dirinya pada persimpangan jalan: antara hidup tak segan namun mati tak mau. Dampak dari penerapan sistem apartheid di Tepi Barat hingga perang di Gaza baru-baru ini telah membuat negara-negara mempertanyakan kembali legitimasi dan posisi mereka, baik etis maupun strategis.
Mau tidak mau, bila genosida telah berakhir, kedua negara akan menemukan diri dalam posisi deja vu. Suatu siklus lama yang sebelumnya dialami pasca-Perjanjian Oslo. Namun pertanyaan besarnya adalah: apakah kengerian ini akan ditakdirkan untuk abadi? Mungkin waktu yang akan menjawab.
Kontributor: M. Farhan Pratomo (@thisisnot_farhan)
Editor: Vraza Cecilia A.Z
TAG: #pemerintahan # # #