
Dalam rangka memperingati World Press Freedom Day, AJI bersama Pers Mahasiswa dan beberapa organisasi lainnya menggelar aksi di Taman Apsari, Surabaya, pada Jumat (02/05/2025). Aksi ini menuntut perlindungan hak dan keselamatan jurnalis serta penegakan kebebasan pers di Indonesia.
Retorika.id - Aksi World Press Freedom Day diselenggarakan di Taman Apsari, tepatnya di depan Gedung Negara Grahadi pada Jumat (02/05/2025). Massa aksi terdiri dari para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan beberapa Pers Mahasiswa Surabaya, serta dihadiri oleh Ketua AJI Indonesia, Ketua AJI Surabaya, perwakilan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, dan perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Kondisi massa kondusif, tetapi masih diawasi aparat kepolisian.
Pada pukul 14.54 WIB, aksi dimulai dengan para jurnalis berdiri berbaris sejajar sambil mengenakan properti simbolik aksi. Properti yang digunakan berupa masker hitam dengan tanda silang merah, poster, dan mawar hitam. Masker hitam dengan tanda silang merah melambangkan seorang jurnalis yang suaranya dibungkam. Poster berisikan kalimat-kalimat kritis yang memperjuangkan hak jurnalis. Mawar hitam mengisyaratkan bahwa aksi yang dilakukan bermaksud damai, bukan memicu konflik, pun juga sekaligus sebagau simbol perlawanan terhadap otoritas aparat yang kerap merepresi
jurnalis.
Selanjutnya, aksi diawali dengan orasi dari Ketua AJI Surabaya, Andre Yuris. Andre berorasi tentang pentingnya jurnalisme bagi sebuah negara yang demokratis. Akses informasi yang terpercaya merupakan hak setiap warga negara.
“Jurnalisme bukan hanya soal kebebasan media, tetapi juga tentang akses informasi yang berkualitas,” tuturnya dalam orasi.
Orasi kedua datang dari perwakilan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia. Dalam orasinya, ia membahas tentang kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis perempuan. Mirisnya, kasus tersebut diproses dengang menggunakan KUHAP, bukan UU Pers.
“Padahal seharusnya dalam menjalankan tugas, seorang jurnalis harus dilindungi Undang-Undang,” tambahnya.
Kemudian orasi ketiga datang dari Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida. Dalam orasinya, Nany menekankan bahwa masalah utama dalam dunia wartawan adalah impunitas. Impunitas sendiri adalah kebebasan dari hukuman atau pembebasan dari tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.
Setelahnya, giliran orasi dari perwakilan LBH Surabaya. Orasinya membahas tentang pemerintah yang harusnya memberikan perhatian lebih kepada demokrasi dan hak-hak para jurnalis. Kemudian dilanjutkan dengan orasi dari Direktur WALHI, Wahyu Eka Setyawan. Dalam orasinya, Wahyu mengatakan bahwa kekuatan jurnalis terletak pada kemampuannya dalam mengolah informasi dan menggiring opini masyarakat.
Selanjutnya, perwakilan dari dua LPM diberi kesempatan untuk berorasi di depan massa aksi. Perwakilan yang maju orasi adalah LPM Retorika dan LPM Mercusuar. Dua perwakilan tersebut berorasi tentang pers mahasiswa yang tidak memiliki payung hukum. Mahasiswa yang tergabung LPM belum dianggap sebagai jurnalis profesi sehingga sangat rentan direpresi.
Selepas sesi orasi, para jurnalis diminta untuk memberikan mawar hitam yang mereka pegang juga stiker “Jurnalis Bukan Musuh Negara” kepada para aparat. Tujuannya adalah sebagai simbol bahwa aksi yang dilakukan adalah aksi damai.
Lalu para jurnalis kembali berkumpul untuk membicarakan kebebasan pers dalam sebuah forum. Forum dibuka oleh Direktur WALHI Jawa Timur dengan Ketua AJI Indonesia dan perwakilan FJPI sebagai pembicara. Dalam forum tersebut, para jurnalis diberi kesempatan untuk bertanya tentang topik terkait.
Ada dua jurnalis yang bertanya, yakni perwakilan dari LPM Retorika dan LPM Mercusuar. Pertanyaan pertama tentang kontribusi pers mahasiswa (persma) di Indonesia. Nany, Ketua AJI Indonesia, menjawab, “Setidaknya teman-teman persma mau belajar, itu yang penting. Masalahnya adalah impunitas dan orang yang tidak paham bagaimana berhadapan dengan pers.”
Pertanyaan kedua tentang cara mengatasi rasa pesimis sebagai jurnalis. Kemudian Nany menjawab lagi, “Tidak mungkin dengan menulis sekali, kita dapat langsung mengubah keadaan. Segalanya butuh proses.”
Setelah sesi tanya jawab, aksi ditutup dengan foto bersama seluruh jurnalis yang mengikuti aksi World Press Freedom Day. Aksi diakhiri pada pukul 15.45 WIB.
Penulis: Salwa Nurmedina dan Claudya Liana
Editor: Aveny Raisa
TAG: #demonstrasi #lpm-retorika #pers-mahasiswa #