» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Tajuk Rencana
Morat-Marit Masalah Merit: Membongkar Mitos Meritokrasi
20 Juli 2024 | Tajuk Rencana | Dibaca 414 kali
Morat-Marit Masalah Merit: Membongkar Mitos Meritokrasi: Meritokrasi Foto: ADOBE STOCK PHOTO
Beberapa hari lalu, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Kelas Internasional (FK UI KKI) menulis cuitan di media sosial X mengenai niatnya untuk mendaftar Beasiswa Unggulan (BU). Peristiwa ini kembali membuka diskursus tentang kesempatan berbasis kemampuan (merit-based); apakah merit bisa menjustifikasi keikutsertaan orang-orang kaya—yang tentunya mampu—dalam program bantuan dana pendidikan dari pemerintah?

Retorika.id - Beberapa hari lalu, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Kelas Internasional (FK UI KKI) menulis cuitan di media sosial X mengenai niatnya untuk mendaftar Beasiswa Unggulan (BU). Selain merupakan mahasiswa kelas internasional, diketahui bahwa mahasiswa tersebut baru saja membeli unit apartemen lengkap dengan perabotnya untuk menunjang perkuliahannya. Lantas, sindiran dan kritik pedas pun mengaliri quote tweet cuitan tersebut dalam hitungan menit.

Sebagian besar audiens X mengutuk mahasiswa tersebut. Namun, ada pula segelintir pihak yang netral karena BU adalah beasiswa berbasis kemampuan (merit-based scholarship), bukan berbasis kebutuhan (need-based scholarship). Terlepas dari kebijakan BU yang rupanya melarang mahasiswa kelas internasional untuk ikut programnya, peristiwa ini tetap membuka rentetan diskursus dan debat tentang merit-based scholarship.

Hal yang banyak disorot dan dikritik dari merit-based scholarship adalah maraknya keikutsertaan orang-orang yang mampu secara finansial dalam program tersebut. Kritik ini bukannya tidak valid, karena sejatinya beasiswa adalah bantuan


dana. Wajar masyarakat marah ketika artis-artis papan atas seperti Maudy Ayunda, Tasya Kamila, dan Gita Gutawa diterima beasiswa LPDP, atau ketika mahasiswa UKT golongan atas dengan latar belakang mapan diterima program IISMA. Untuk apa memberi bantuan dana pada orang-orang yang jelas bisa membiayai pendidikan mereka sendiri?

Sayangnya, di dunia yang beroperasi berdasarkan meritokrasi, hal ini akan terus terjadi.

Meritokrasi adalah sistem yang menghargai kecerdasan dan kerja keras. Argumen dari sistem ini adalah siapapun yang punya skill, otak encer, dan tekad yang kuat pasti bisa sukses. Jika kita pintar, berdedikasi, dan mau berusaha, kita pasti bisa, misalnya, masuk kuliah di universitas ternama atau diterima di perusahaan tersohor. Yang tidak “berhasil” berarti “kurang pintar, kurang berdedikasi, dan tidak berusaha cukup keras”.

Dari argumen di atas, terlihat jelas bahwa meritokrasi mengabaikan realitas sosial dan segala ketimpangan yang ada di dalamnya. Meritokrasi lupa—dan tidak mau mengakui—bahwa kapital dan aset adalah hal yang sangat krusial dalam mencapai standar skill dan otak encer yang ditetapkan. Biaya tes bahasa Inggris paling murah untuk persyaratan mendaftar LPDP dan IISMA adalah sekitar 1 juta rupiah. Setelah diterima, awardee masih harus mengeluarkan uang untuk VISA, penerjemahan dokumen, tes kesehatan, dan lain-lain yang tentu memakan biaya tinggi. 

Ah, jangankan bicara soal daftar beasiswa prestise. Untuk sekadar punya pengetahuan tentang sekolah mana yang bagus saja sudah butuh uang. Belum lagi bicara tentang aksesibilitas menuju instansi pendidikan tersebut. Orang-orang bisa memenuhi standar pintar dan cakap dari meritokrasi bukan semata-mata karena mereka terlahir dan bekerja keras sedemikian rupa, melainkan karena mereka punya modal untuk membantu mencapainya. 

Masalahnya, ketimpangan ekonomi adalah hal yang sangat nyata. Modal hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat saja. Selama merit masih harus dicapai menggunakan modal, maka meritokrasi akan selalu menjadi mitos. Selama sistem yang penuh bualan ini masih berlangsung, mau tidak mau yang bisa menaiki tangga sosial hanyalah orang-orang yang punya privilese. Jika sudah begitu, kesenjangan sosial-ekonomi akan menjadi semakin parah.

Lalu, bagaimana dengan pelamar beasiswa yang jelas-jelas mampu secara finansial? Bagaimana dengan otoritas individual yang bermain dalam meritokrasi? Apakah keikutsertaan mereka terjustifikasi karena sistemnya “memang sudah begitu”?

Sering kali dijumpai gagasan andalan dari meritokrasi, yaitu, “Kan sistemnya mengizinkan!”, “Kan tidak ada yang melarang!”. Gagasan ini, selain membuat darah tinggi pendengarnya, juga menghapus otoritas dan rasa tanggung jawab individu yang mengucapkannya . Di sini lah peran etika diperlukan untuk melawan argumen yang permisif dan eksploitatif tersebut.

Memang tidak ada yang salah jika pelamar tersebut hendak tunduk pada sistem dan tetap mendaftar, namun manusia harus memiliki kesadaran etis terhadap  pilihan-pilihan yang dibuat. Meski sebagian besar masalah berakar dari sistem dan kritik harus tetap dialokasikan pada pemerintah yang melanggengkannya, masyarakat masih perlu bertanggung jawab pada satu sama lain supaya dampak dari sistem tersebut, setidaknya, tidak semakin merajalela.

 

Penulis: Vraza Cecilia A.Z

Editor: Anisa Eka 

 


TAG#akademik  #aspirasi  #beasiswa  #pendidikan