» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Kok Bisa Kita Dipimpin Orang yang Tidak Gemar Membaca?
27 September 2024 | Opini | Dibaca 58 kali
Pembaca yang baik akan menjadi penulis yang baik. Penulis yang baik akan menjadi pembicara yang baik. Pembicara yang baik akan menjadi pemimpin yang baik. Semua itu bermula dari kebiasaan membaca. Lalu, bagaimana jika ada pemimpin yang tidak gemar membaca?

Retorika.id - Kita tidak bisa lepas dari membaca. Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk membaca. Mungkin dulu kita hanya membaca bacaan yang ringan semacam cerita pendek maupun novel. Di dunia perkuliahan, mau tidak mau kita harus membaca buku dan artikel ilmiah yang mungkin sulit dipahami oleh orang awam. Dosen memberi tugas untuk membaca dan meninjau artikel tentu bukan tanpa alasan. Dari membaca itulah kita bisa paham disiplin keilmuan kita. Dari membaca itulah kita terpancing untuk banyak bertanya. Dari membaca itulah kita bisa menulis karya ilmiah. Pembaca yang baik akan menjadi penulis yang baik, penulis yang baik akan menjadi pembicara yang baik, dan pembicara yang baik akan menjadi pemimpin yang baik. Lalu, bagaimana mungkin seseorang menjadi pemimpin kalau ia tidak gemar membaca?

 

Gibran Rakabuming, Wakil Presiden RI terpilih 2024-2029, mengungkapkan kalau ia tidak memiliki kegemaran membaca, kecuali membaca komik. Hal itu ia ungkapkan saat “Mata Najwa vs Mata Gibran Ronde Ke-2” pada 2017 lalu. Bahkan selama acara itu pun Gibran sering memberikan jawaban yang terkesan singkat dan tidak


berbobot. Jika ia saja mengaku tidak suka membaca buku, tentu wajar bagi kita—sebagai rakyat—mempertanyakan kapasitas intelektualnya. Padahal, dari membaca itu itulah cara berpikir seseorang dilatih. Pembaca dituntut untuk memahami maksud dari penulis—kenapa ia menulis itu, apa tujuannya, dan bagaimana ia bisa sampai di kesimpulan. Kalau betul Gibran tidak suka membaca, lalu bagaimana ia bisa memahami problematika Indonesia yang sangat kompleks ini. Bahkan, persoalan di Indonesia tidak cukup dibahas dalam satu buku. Ada banyak buku yang mencoba mengurai permasalahan negara ini dari berbagai disiplin ilmu dan perspektif. 

 

Pembaca yang baik akan menjadi penulis yang baik. Seseorang tidak mungkin bisa menjadi penulis yang baik kalau ia tidak punya wawasan tentang topik yang ia tulis. Katakanlah kita mau menulis esai tentang perang di Ukraina. Tentu kita tidak bisa menulis hanya bermodalkan satu atau dua berita saja. Ada puluhan referensi yang harus kita baca, bisa berupa buku, artikel ilmiah, berita, maupun siaran pers. Semakin banyak referensi yang kita gunakan, akan semakin bagus pula argumen yang kita berikan. 

 

Sejauh yang saya tahu, Gibran belum pernah menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, baik berupa opini maupun karya ilmiah. Padahal, dari tulisan itulah kita bisa menilai gagasan seorang pemimpin. Apakah gagasan yang ia tulis bersandar pada fakta di lapangan, apakah gagasan yang ia ungkapkan dapat diterapkan, dan bagaimana ia mengimplementasikan gagasannya. Kalau seorang wakil presiden saja belum pernah menerbitkan tulisan, tentu wajar bagi kita—sebagai rakyat—untuk mempertanyakan apakah janji politik yang ia ucapkan benar-benar dapat diwujudkan atau cuma “omon-omon” saja. 

 

Kalau seseorang tidak gemar membaca dan belum pernah menerbitkan karya tulis, sepertinya menjadi masuk akal bagi kita kenapa Gibran jarang memberi jawaban yang logis saat diwawancara oleh wartawan. Setidaknya kita pernah merasa heran dengan jawaban yang Gibran berikan saat diwawancara. Dalam beberapa kesempatan, ia cenderung tidak menjawab dan memilih kabur dari wartawan. Padahal, dari jawaban yang ia sampaikan saat diwawancara, kita bisa menilai kualitas gagasannya. Setidaknya kalau ia belum pernah menerbitkan karya tulis, ia bisa mengungkapkan gagasannya melalui media massa. Kalau ia memberikan jawaban yang terkesan mengambang dan cenderung kabur dari wartawan, tentu wajar bagi kita—sebagai rakyat—untuk mempertanyakan gagasan pemimpin kita. Kita justru bingung apakah ia benar-benar paham dengan apa yang ia ucapkan?

 

Pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 tinggal hitungan hari. Negara ini akan memiliki pemimpin yang tidak gemar membaca, belum pernah menerbitkan tulisan, dan suka ngelantur. Kita saja kesulitan untuk menilai gagasan dia. Kita tidak bisa mengkritik tulisannya kalau dia saja tidak pernah mempublikasikan tulisan. Sejauh yang bisa kita kritik gagasannya adalah saat ia diwawancara. Walaupun, kita lebih sering mendapat jawaban tidak berbobot dibandingkan jawaban logis. Ya setidaknya selama lima tahun ke depan kita akan lebih terheran dengan kualitas pemimpin kita. 

 

Penulis: Adil Salvino

Editor: Naomi Widita