
“Nggak jadi turun, padahal sama kampus disuruh minta ini, minta itu, surat ini, surat itu. Capek-capek ngurus, hasilnya, UKT gak turun sama sekali. Padahal ekonomi keluarga lagi susah-susahnya,” ujar salah satu mahasiswa yang UKTnya tidak diturunkan oleh pihak kampus. Rabu (29/07/2020) kemarin, ramai mahasiswa melakukan aksi massa di Kantor Manajemen Universitas Airlangga Kampus C. Aksi tersebut dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa, salah satunya adalah Aliansi Mahasiswa Unair (AMU) yang menuntut agar pihak kampus menurunkan UKT sebesar 50% selama pandemi ini. Mereka berdalih bahwa di masa pandemi seperti ini, tidak seharusnya bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus PTN-BH ini tetap memberikan biaya UKT normal kepada para mahasiswanya.
retorika.id- Kisruh permintaan mahasiswa untuk penurunan UKT masihlah santer terdengar, apalagi untuk kampus yang tidak menerapkan keringanan pembayaran UKT seperti Universitas Airlangga. Di saat kampus-kampus lain memutuskan untuk menurunkan UKT dan bahkan membebaskan UKT, Universitas Airlangga berdalih punya kebijakan lain terkait hal ini.
Rabu (29/07/2020) kemarin, ramai mahasiswa melakukan aksi massa di Kantor Manajemen Universitas Airlangga Kampus C. Aksi tersebut dilakukan oleh berbagai elemen mahasiswa, salah satunya adalah Aliansi Mahasiswa Unair (AMU) yang menuntut agar pihak kampus menurunkan UKT sebesar 50% selama pandemi ini.
Permintaan ini ramai digulirkan oleh banyak mahasiswa, termasuk massa aksi Airlangga Menggugat, Aliansi Mahasiswa Unair (AMU), dan banyak lagi organisasi-organisasi lain di kampus. Mereka berdalih bahwa di masa pandemi seperti ini, tidak seharusnya bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus PTN-BH ini tetap memberikan biaya UKT normal kepada para mahasiswanya. Menurut mereka, kampus harus menurunkan UKT dan empat poin lainnya, yang ditulis dalam pernyataan aksi kemarin.
Keberatan dengan Kuota
Penerapan pembelajaran jarak jauh bagi mahasiswa menimbulkan problematika yang pelik. Banyak mahasiswa yang merasa keberatan dengan hal itu, utamanya dengan masalah kuota. “Kami hanya diberikan kuota 15 GB satu bulan. Itu habis dua mingguan. Setiap kali pembelajaran, habis rata-rata 500MB. Seminggu berapa kali memangnya kuliah, delapan kali,” ujar salah satu mahasiswa yang ikut aksi saat dikonfirmasi oleh tim Retorika.
“Kan kalau bisa turun, kan bisa uangnya buat pasang wifi-kan, atau beli paketan sendiri,” tambahnya.
Selain itu, saat bulan Juni kemarin, banyak mahasiswa yang berujar bahwa mereka tidak mendapatkan paket data dari kampus seperti sebelumnya. “Juni saya nggak dapat mas, nggak tahu,” ujar salah satu peserta aksi.
Para peserta aksi menuntut transparansi terkait pembagian kuota dari Unair. Nyatanya, banyak sekali mahasiswa yang tidak mendapat kuota di bulan Juni. “Juni saja kami tidak dapat, apalagi semester depan. Alamat beli sendiri semuanya,” ujar salah satu peserta aksi.
Kemampuan Ekonomi Keluarga yang
Menurun
Selain karena tidak difungsikannya kapasitas pembelajaran secara maksimal, hal ini juga menyangkut dinamika ekonomi daripada masing-masing keluarga mahasiswa yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Banyak ekonomi keluarga yang terdampak akibat pandemi ini, apalagi bagi mereka yang mendapatkan golongan UKT tertinggi. Mereka masih dikenakan biaya pembayaran UKT dengan biaya normal dan itu sangat memberatkan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh salah satu mahasiswa yang orang tuanya di-PHK oleh kantornya karena dampak dari Pandemi Covid-19, “Uang dari mana suruh mbayar 7,5 juta. Bapak di-PHK. Bisanya dicicil.”
Tidak ada kaitannya sebenarnya dengan adaptasi kenormalan baru yang mengacu bahwa kehidupan ekonomi secara nasional telah baik-baik saja. Memang ekonomi telah pulih perlahan-lahan, namun masih prematur untuk mengatakan bahwa sekarang sudah baik-baik saja. Apalagi keluarga yang terdampak parah, tentu akan sangat memberatkan jika tetap membayar UKT dengan biaya normal.
Saling Lempar Keputusan Pejabat
Merujuk pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, memang hanya ada keringanan yang dapat diberlakukan bagi Mahasiswa yang meminta penurunan UKT. Terdapat lima mekanisme keringanan UKT yang dapat dipilih mahasiswa.
Pertama, mahasiswa dapat mencicil UKT bebas bunga (0%) dengan jangka waktu pembayaran cicilan disesuaikan kemampuan ekonomi mahasiswa. Kedua, mahasiswa dapat menunda pembayaran UKT dengan tanggal pembayaran disesuaikan kemampuan ekonominya. Ketiga, mahasiswa tetap membayar UKT, namun dapat mengajukan penurunan biaya dan jumlah UKT baru disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Keempat, semua mahasiswa berhak mengajukan diri untuk beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah atau skema beasiswa lain yang disediakan perguruan tinggi dan kriteria penerimaan sesuai ketentuan program beasiswa yang berlaku. Kelima, mahasiswa dapat mengajukan bantuan dana untuk jaringan internet dan pulsa, serta ketentuan berdasarkan pertimbangan masing-masing PTN.
Melansir Katadata.co.id, Mendikbud Nadiem Anwar Makariem mengharapkan peran aktif mahasiswa itu sendiri. “Kami berharap para mahasiswa dapat berperan aktif dalam mencari pilihan keringanan yang telah diberikan oleh pemerintah,” ujar Nadiem. Namun, karena status Universitas Airlangga adalah PTN-BH, maka pihak kampus mampu untuk mengambil keputusan sendiri terkait penurunan UKT tersebut.
Pihak kampus sendiri sepertinya menaati betul keputusan Mendikbud tersebut. Sehingga ketika mahasiswa melakukan aksi, pihak kampus berdalih bahwa ini memang keputusan dari Mendikbud. Kampus hanya menaatinya. Jadi, sumbu masalah ini belum benar-benar selesai karena antar pejabat masih saling lempar tanggung jawab.
Pilih Kasih dan Dianggap Tidak Adil
Merujuk pada Republika.com, Rektor Unair dalam Pers Release, menjabarkan telah menerbitkan kebijakan khusus terkait perkuliahan. Kebijakan khusus tersebut yaitu pembebasan pembayaran UKT bagi 2.395 mahasiswa. Mereka adalah mahasiswa yang saat ini masuk semester 3, 5, dan 7. Pembebasan ini dengan menggunakan skema Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Serta keringanan UKT kepada 1.750 mahasiswa lebih.
Dari data rilis pers tersebut, menimbulkan banyak sekali polemik terhadap problematika penurunan UKT ini. “Jika dianggap terdampak hanya itu-itu saja, maka kita dianggap apa?,” ujar salah satu peserta aksi saat itu. “Kami juga terdampak. Semua orang terdampak.”
Kecemburuan ini muncul karena memang tidak semuanya yang mendapat keringanan. Hanya segelintir saja dan itu sejak dulu mendapat keistimewaan dari pihak pemerintah. Penerima KIP dan penerima bidikmisi, dapat mengurus bebas UKT sesuai dengan skema yang diterangkan oleh Kemendikbud. Tentu, itu menimbulkan banyak masalah. Apalagi bagi mereka yang benar-benar merasa butuh keringanan tersebut. Rata-rata yang tidak mendapat penurunan UKT adalah mereka yang tidak mendapatkan kemutakhiran data yang akurat dan sesuai dengan kebijakan kampus. Oleh karena itu, permintaan penurunan UKT ditolak.
Sumber penolakan inilah yang menimbulkan banyak masalah. Menurut beberapa pihak peserta aksi, kalau memang pilih kasih, kenapa harus mengorbankan mahasiswa lainnya. Kalau memang tidak bisa adil, maka turunkanlah biaya UKT secara keseluruhan. “Uang kampus kan banyak, toh faktanya mereka gak berani terbuka,” kata peserta aksi.
Isu Transparansi dan Dana Kampus
Karena memang ada mahasiswa yang diturunkan UKT-nya dan ada yang tidak, menurut sebagian mahasiswa itu tak lebih dari sekedar perjudian. “Mana kami tahu bagaimana mekanismenya, tahu-tahu dapat hasil, kamu tidak mendapat pengurangan, tapi bisa dicicil.”
Hal ini membuat mahasiswa bertanya-tanya, bagaimana sistem kerja dan mekanisme keuangan kampus sebenarnya. Dana UKT mahasiswa yang cukup tinggi bagi sebagian mahasiswa itu, mahasiswa merasa berhak untuk mendapatkan transparansi data. Baik itu keuangan, tanggung jawab, dan sistematika permintaan penurunan UKT seperti tadi.
“Saking banyaknya uang dari kampus, mereka nggak bisa njelasin satu per satu,” kata salah satu mahasiswa.
Menurut mereka, kalau memang bisa transparan, kenapa mahasiswa A dapat keringanan, mahasiswa B tidak dapat keringanan, itu paling tidak bisa menentukan langkah apa yang bisa dilakukan berikutnya. Karena memang disebutkan, maka pihak pemohon dapat memberikan pembelaan dan tindakan advokasi. Tidak sepihak seperti ini. Kampus PTN-BH, seharusnya bisa mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan pancasila.
UKT Harus Turun!
Mahasiswa pada akhirnya merasa janggal dengan keputusan kebijakan rektorat tersebut. Kenapa ada yang turun dan yang tidak, dan kenapa kampus tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Kampus besar seperti Unair menurut mahasiswa, masih membeda-bedakan mahasiswanya hanya dikarenakan status kemahasiswaannya, bukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswanya. Apalagi yang terdampak pandemi ini. “Dari dulu yang enak cuma yang bidikmisi, yang KIP, yang ini, itu-itu lagi, ini-ini lagi. Kami ini juga mahasiswa sini.”
“UKT haruslah turun!,”
Menurut para mahasiswa, cara terbaik agar kampus memberikan keadilan kepada mahasiswanya adalah dengan menyanggupi tuntutan-tuntuan aksi kemarin. Salah satunya menurunkan UKT mahasiswa. Selain itu juga, perlu tambahan pembebasan UKT, tidak hanya dikurangi, bagi mereka yang benar-benar terdampak pandemi Covid-19 ini.
“Jika UKT tidak turun, kami tidak mampu membayarnya. Dari mana lagi kalau tidak hutang. Bisa dengan cuti, tapi itu tidak banyak membantu, soalnya semester depan kami tetap membayar normal,” ujar salah satu peserta aksi.
Penulis: Muhammad Alfi Rahman
TAG: #aspirasi #gagasan #pendidikan #universitas-airlangga