» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Surat Pembaca
Urgensi Dekolonisasi Identitas Gender pada Masyarakat Bugis
24 Maret 2022 | Surat Pembaca | Dibaca 1547 kali
Urgensi Dekolonisasi Identitas Gender pada Masyarakat Bugis: - Foto: Profakta
Gender dan seks, kedua istilah ini sering dianggap memiliki kesamaan sehingga banyak yang melihat gender dari perspektif biner. Namun lain halnya Masyarakat Bugis yang melihatnya tidak dari perspektif biner, tetapi seiring berjalannya waktu populasinya semakin menurun akibat kolonisasi Eropa dan masuknya agama Abrahamik.

retorika.id-Gender dan seks adalah dua konsep yang saling berkaitan, tetapi berbeda. Secara singkat, gender adalah konstruksi sosial, sedangkan seks adalah pengelompokan jenis kelamin manusia berdasarkan tinjauan biologis. Biasanya, gender berkembang dan mudah berganti seiring perkembangan individu, sedangkan seks ditentukan saat manusia lahir dan memerlukan prosedur khusus untuk menggantinya. Di Indonesia, kedua istilah tersebut sering disamakan. Akibatnya, kebanyakan orang Indonesia melihat gender dari perspektif biner.

Binerisme gender adalah sebuah asumsi yang memahami gender sebagai sebuah dikotomi, dua sisi yang berlawanan, hitam dan putih, laki-laki dan perempuan. Padahal, gender memiliki arti yang lebih luas dari itu. Beberapa orang tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki maupun perempuan, sementara beberapa orang mengidentifikasikan dirinya sebagai penggabungan dari keduanya. Beberapa orang juga merasa nyaman dengan seks dan gendernya, sedangkan ada juga yang ingin mengubahnya.

Permasalahan muncul ketika masyarakat Indonesia yang cenderung konservatif dan cisnormatif menganggap bahwa identitas gender selain laki-laki dan perempuan adalah sebuah penyimpangan. Pemahaman tersebut membuat kelompok individu yang bukan laki-laki dan perempuan berada di ujung tanduk. Sebut saja kelompok transgender, nonbiner, dan gender lainnya yang rentan akan diskriminasi.

Namun, ternyata ada masyarakat di Indonesia yang tidak menggunakan kacamata biner dalam memahami gender. Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mengenal 5 gender, yaitu oroane, makkunrai, calalai, calabai, dan bissu. Oroane adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan laki-laki biologis yang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki, sedangkan makkunrai adalah istilah bagi perempuan biologis mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan. Calalai dapat didefinisikan sebagai perempuan biologis yang mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki, sedangkan calabai adalah laki-laki biologis yang mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan. Berbeda dengan 4 gender lainnya, bissu adalah metagender atau penggabungan dari semua gender yang


ada. Karena keistimewaannya ini, bissu dianggap memiliki kesaktian tersendiri, sehingga mereka diberi amanah untuk menjadi pendeta atau pemimpin spiritual masyarakat Bugis. Secara teknis, bissu dapat digolongkan sebagai gender nonbiner, yaitu gender yang bukan laki-laki maupun perempuan.

Sayangnya, populasi kelima gender tersebut semakin berkurang seiring berjalannya waktu. Selain itu, peran mereka juga tidak signifikan seperti di zaman dahulu. Hal tersebut diduga sebagai akibat dari kolonisasi Eropa dan masuknya agama Abrahamik (Islam, Kristen, dan Yahudi) ke Sulawesi Selatan.

Para pendatang tersebut hanya mengenal gender laki-laki dan perempuan, serta memposisikan gender tersebut sesuai dengan perannya masing-masing. Contohnya, laki-laki harus berperilaku macho dan bekerja di pekerjaan lapangan, sedangkan perempuan harus berperilaku lemah lembut dan berkewajiban mengurus ranah domestik. Konsep cisnormatif yang dibawa oleh para pendatang juga mengajarkan bahwa seseorang yang lahir dengan kelamin jantan harus memiliki identitas gender laki-laki. Sebaliknya, seseorang yang lahir dengan kelamin betina itu harus memiliki identitas gender perempuan. Padahal, sains telah membuktikan bahwa gender seseorang tidak selamanya dapat ditentukan oleh organ reproduksinya.

Kolonisasi yang brutal dan konstan dalam menyebarkan paham-pahamnya mengakibatkan perubahan perspektif masyarakat mengenai gender apa yang dianggap “normal”. Oleh karena itu, gender yang “tidak normal” seperti calalai, calabai, dan bissu menjadi tersingkirkan. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah bissu yang semakin berkurang dan penggunaan kata “calabai” sebagai hinaan bagi laki-laki yang dianggap “kurang laki-laki”, seperti dalam film Tarung Sarung (2020).

Perlu digarisbawahi bahwa, keberagaman gender patut untuk dinormalisasikan. Salah satu cara untuk menormalisasikan gender berdasarkan perspektif lokal adalah dengan melakukan dekolonisasi. Dekolonisasi adalah sebuah upaya untuk membumikan dan mengembalikan perspektif ke Indonesia-an, alih-alih menelan doktrin kolonial secara mentah. Oleh karena itu, dekolonisasi gender adalah upaya untuk membumikan perspektif Indonesiasentris dalam memahami gender.

Upaya dekolonisasi harus dilaksanakan dengan basis kemanusiaan dan toleransi, sehingga penghayat kepercayaan lokal maupun penganut agama Abrahamik dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Dengan demikian, dekolonisasi tidak akan membatalkan tradisi dan agama Islam dan Kristen di Sulawesi Selatan, tetapi justru akan memperkaya perspektif mereka dalam memahami keberagaman manusia di sekitarnya.

Sejatinya, eksistensi kelima gender di masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan adalah sebuah warisan budaya dan kearifan lokal yang harus dilestarikan. Namun, tidak cukup untuk melihat isu ini dari kacamata budaya saja. Kita juga harus turut menghadirkan perspektif kemanusiaan. Kelima gender di Bugis adalah satu dari sekian banyak variasi gender dan seksualitas manusia.

Saat kita sudah dapat melihat mereka sebagai manusia, barulah kita dapat menyadari bahwa mereka berhak untuk bebas melaksanakan keyakinannya, kebudayaannya, dan bebas untuk hidup tenang. Bebas untuk hidup sebagai manusia seutuhnya, tanpa diskriminasi, tanpa tatapan mengintimidasi, tanpa gestur tidak menyenangkan, dan tanpa ujaran kebencian. Dengan mendekolonisasi konstruksi gender di masyarakat Bugis, diharapkan kelima gender tersebut dapat lestari dan bebas dari belenggu diskriminasi.

Jargon kesetaraan gender yang digaungkan oleh berbagai kelompok feminis di Indonesia tidak ada artinya jika tidak menginklusikan gender-gender lain yang termarjinalkan. Cita-cita kesetaraan gender di Indonesia tidak akan tercapai tanpa memedulikan eksistensi gender “lainnya”. Setelah menyadari itu, maka sudah waktunya untuk memulai pergerakan yang inklusif dan interseksional. Pendekatan tersebutlah esensi dari pergerakan kesetaraan gender yang sesungguhnya.

 

Penulis: Sayf Muhammad Alaydrus 

Referensi :

Dannari, G. L., Ulfa, M. and Ayundasari, L. (2021) ‘Dekolonialisasi: Menuju pembebasan materi pembelajaran Sejarah di Indonesia abad 21’, Jurnal Integrasi dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial, 1(4), pp. 425–436. doi: 10.17977/um063v1i4p425-436.

Davies, S. G. (2010) Keberagaman Gender di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hekagery, A. (2020) Tarung Sarung. Indonesia: Netflix.

Ismoyo, P. J. (2020) ‘DECOLONIZING GENDER IDENTITIES IN INDONESIA: A STUDY OF BISSU “THE TRANS-RELIGIOUS LEADER” IN BUGIS PEOPLE’, Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, 10(3), pp. 277–288. doi: 10.17510/paradigma.v10i3.404.

Misdayanti, A. (2021) ‘Fungsi dan peran komunitas bissu di Kabupaten Bone’, ALLIRI: Journal of Anthropology, 3(1), pp. 29–37. Available at: http://103.76.50.195/JSB/article/view/22989/11803.

Pattinama, A. J., Mawara, J. E. T. and Mamosey, W. E. (2020) ‘Eksistensi komunitas bissu pada masyarakat Desa Bontomatene Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan’, HOLISTIK, Journal of Social and Culture, 13(4), pp. 1–16. Available at: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holistik/article/view/31942.

Sailana, D. C. (2020) ‘Parents’ understanding of gender towards parenting to teenagers’, Indonesian Journal of Social Sciences, 12(1), pp. 20–24. doi: 10.20473/ijss.v12i1.21157.

Suliyati, T. (2018) ‘Bissu: Keistimewaan Gender dalam Tradisi Bugis’, Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 2(1), pp. 52–61. doi: 10.14710/endogami.2.1.52-61.

Syaifullah, AT, R. and Muhammad, S. (2021) ‘Identitas bissu di tengah modernitas di Desa Bontomatene Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep’, Hasanuddin Journal of Sociology, 3(1), pp. 29–33. doi: https://doi.org/10.31947/hjs.vi.10755.

Untara, I. M. G. S. and Rahayu, N. W. S. (2020) ‘Bissu: Ancient Bugis Priest (Perspective On The Influence Of Hindu Civilization In Bugis Land)’, Vidyottama Sanatana: International Journal of Hindu Science and Religious Studies, 4(2), pp. 243–249. doi: http://dx.doi.org/10.25078/ijhsrs.v4i2.1837.

Vincent, B. and Manzano, A. (2017) ‘History and Cultural Diversity’, in Richards, C., Bouman, W. P., and Barker, M. J. (eds) Genderqueer and Non-Binary Genders. 1st edn. London: Palgrave Macmillan UK, pp. 11–30. doi: 10.1057/978-1-137-51053-2_2.


TAG#gender  #humaniora  #kerakyatan  # 
Rubrik "Surat Pembaca" terbuka untuk siapa saja. Silakan kirim karya Anda dengan melampirkannya ke email redaksi@retorika.id dengan subjek (Surat Pembaca) Nama - Judul Tulisan.