» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Tajuk Rencana
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021: Salep untuk Jamur Kekerasan Seksual di Kampus
12 Desember 2021 | Tajuk Rencana | Dibaca 2435 kali
Permendikbud 30: Salep untuk Jamur Kekerasan Seksual di Kampus: - Foto: beritadiy.pikiran-rakyat.com/freepik
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 rasanya sudah tidak asing lagi di telinga. Peraturan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi itu ramai diperbincangkan di media sosial dan menuai banyak sekali pro dan kontra terkait dengan isi peraturannya, yaitu terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

retorika.id- Dewasa ini, dunia maya dihebohkan dengan berita mengenai keputusan Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ketika menetapkan peraturan menteri tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 merupakan salah satu upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mengatasi perilaku kekerasan seksual yang terjadi di setiap perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

Melalui episode “Merdeka Belajar ke-14 tentang Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual” yang diunggah di kanal YouTube Kemendikbudristek, Nadim Makarim mengungkapkan bahwa perguruan tinggi merupakan sebuah batu loncatan, maka dari itu setiap kampus di Indonesia seharusnya merdeka dari segala bentuk kekerasan dan menjadi lingkungan yang kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya. Sayangnya, lingkungan yang kondusif yang diekspektasikan belum terwujud.

Menurut survei yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi-Kemendikbudristek RI (Diktiristek), sebanyak 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% di antaranya tidak melaporkan kasus tersebut kepada pihak kampus. Selain Diktiristek, terdapat banyak pula survei yang mengungkapkan darurat kekerasan seksual pada perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Indonesia.

Survei-survei dan keluhan yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual baik secara fisik, psikis, maupun sosial menjadi landasan Kemendikbudristek dalam menyusun peraturan menteri ini. Selain itu, undang-undang berlaku yang dapat membantu sedikit banyak tentang kasus kekerasan


seksual belum cukup menjamah secara spesifik korban kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Begitu juga dengan KUHP yang masih terbatas dalam mendefinisikan dan menangani pelaku kejahatan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Di sisi lain, niat baik Kemendikbudristek dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus menuai beberapa respon negatif, baik dari media sosial maupun beberapa kelompok masyarakat. 

Poin kontroversi

Terdapat beberapa pasal dalam Permendikbudristek Nomor 30 yang dianggap kontroversial oleh beberapa pihak, khususnya golongan konservatif. Golongan tersebut menganggap bahwa perilisan kebijakan tersebut merupakan sebuah upaya liberalisasi lingkungan institusi pendidikan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Upaya liberalisasi tersebut dapat dilihat dari beberapa pasal kontroversial yang terindikasi adanya sebuah tindakan sekularisasi institusi publik melalui legalisasi aksi immoral yang berkaitan dengan tindakan seksual. Dalam upaya yang lebih konfrontatif, penolakan paling keras terjadi pada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5 Ayat (2) yang dianggap menjadi inti permasalahan kebijakan ini.

Anggapan tersebut menandakan kesalahan logika yang digunakan oleh pihak penolak kebijakan ini. Logika yang mereka gunakan diimplementasikan secara persis dan mentah seperti halnya dengan aksi penolakan draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Karena pada dasarnya, Permendikbudristek Nomor 30 dan RUU TPKS secara bersamaan berusaha menciptakan ruang yang aman bagi siapapun, terutama Permendikbudristek Nomor 30 yang secara khusus berusaha mengupayakan hal tersebut dalam lingkungan institusi pendidikan. Secara garis besar, permasalahan dalam kebijakan tersebut adalah consent atau persetujuan. Dengan menggunakan persetujuan sebagai dasar tindakan, pihak penolak kebijakan ini beranggapan bahwa hal tersebut akan meningkatkan angka seks bebas dan seiring dengan hal tersebut angka aborsi juga meningkat.

Dalam konteks kebijakan publik, Permendikbudristek Nomor 30 justru hadir sebagai sebuah kebijakan yang menghilangkan bagian "abu-abu" dalam kasus kekerasan seksual. Dengan penggunaan consent, kebijakan ini berusaha melindungi dan mencegah terjadinya kekerasan seksual dalam lingkup akademik. Karena pada faktanya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di area kampus mayoritas terdapat relasi kuasa di dalamnya. Oleh karena itu, penggunaan consent sebagai landasan dasar dalam kebijakan tersebut dibutuhkan sebagai upaya pencegahan serta perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Tuduhan mengenai legalisasi seks bebas sebagai reaksi keras terhadap Permendikbudristek Nomor 30  Pasal 5 Ayat (2) disinyalir sebagai langkah politis tanpa didasarkan atas kepentingan untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan seksual serta melindungi korban kekerasan seksual.

Kesimpulan

Jika kampus di Indonesia ingin bebas dari kekerasan seksual, maka sudah sepatutnya kita mendukung Permendikbudristek Nomor 30 tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. Hal tersebut karena undang-undang yang baru ini sangatlah progresif. Berbeda dengan undang-undang lainnya, Permendikbudristek Nomor 30 ini benar-benar melindungi pihak korban.

Contohnya adalah pada Pasal 20 yang membicarakan tentang pemulihan korban. Pemulihan korban dapat dilakukan dengan metode pendampingan-pendampingan, yang dapat berupa konseling, advokasi, layanan kesehatan, bantuan hukum, bimbingan sosial dan rohani, serta pendamping bagi penyandang disabilitas.

Selain itu, tuduhan-tuduhan terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang membolehkan adanya seks bebas adalah sebuah tuduhan yang keliru. Hal ini karena tidak adanya pasal dalam undang-undang tersebut yang berbunyi ‘boleh melakukan seks bebas asal mendapat persetujuan di wilayah kampus’ atau pernyataan lain yang berkaitan. Selain bermuatan politis, tuduhan tersebut seakan dibuat secara mengada-ada dan terlalu imajiner tanpa memperhatikan konsep fundamental lain seperti etika akademik atau etika publik. Melalui tuduhan tersebut, telah terlihat bahwa kepentingan penolakan kebijakan ini hanya didasarkan pada kepentingan politik yang terdapat di dalamnya. Padahal secara esensial, Permendikbudristek Nomor 30 dibuat dengan memperhatikan perspektif korban yang seringkali tidak mendapat keadilan dan cenderung terpinggirkan akibat kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, dukungan penuh terhadap Permendikbudristek Nomor 30 ini merupakan sebuah langkah konkret terhadap penciptaan ruang akademik dan publik yang aman dari tindakan amoral, yakni kekerasan ataupun pelecehan seksual.

Penulis: Tim Redaksi

Editor: Sindhie Ananda

Referensi:

Kemdikbud. (2021). Mendikbudristek: Ada Darurat Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi! Dilansir dari https://itjen.kemdikbud.go.id/webnew/2021/11/13/mendikbudristek-ada-darurat-kekerasan-seksual-di-lingkungan-perguruan-tinggi/ pada 2 Desember 2021

Detik. (2021). Pasal 5 Ayat 2 Permendikbud 30 Jadi Sorotan, Ini Isinya. Dilansir dari https://news.detik.com/berita/d-5811770/pasal-5-ayat-2-permendikbud-30-jadi-sorotan-ini-isinya. Pada 2 Desember 2021.

 


TAG#akademik  #aspirasi  #fisip-unair  #gender