"Tanpa kau pinta, hati ini akan selalu ku jaga dan hanya tertuju padamu ," ucap Nesya. Namun, dua insan tersebut tidak ditakdirkan untuk bersama. Seseorang itu meninggalkan Nesya dengan menyisakan sebuah kenangan manis sekaligus pahit, kehilangannya merupakan patah hati terhebat bagi Nesya.
retorika.id- Langit terlihat mendung, awan pun menghitam, tetes demi tetes air hujan mulai membasahi bumi dan mengiringi perjalanan kereta, perempuan berjilbab merah hati yang bernama Nesya sedang duduk di kursi belakang. Hari ini tiba, ia kembali ke Yogyakarta tempatnya dilahirkan. Sudah tiga tahun ia menempuh pendidikan di Kota Pahlawan, dan kini ia pulang karena sedang memasuki liburan semester.
Ia larut dalam lamunan, hatinya berdesir akan menginjakkan kaki di kota tersebut karena mengingatkannya sebuah rasa yang saat ini masih tertanam, disertai harapan-harapan yang dilangitkan bersama dengan seseorang. Rasa ini masih ia simpan tiga tahun lamanya kepada seseorang yang konon katanya menunggunya untuk menyelesaikan studi. Namun, kini rasa di hatinya telah diselimuti kesedihan.
Terhitung sudah setahun lamanya, seseorang itu pergi meninggalkannya. Meskipun begitu, kepergiannya masih menyisakan sebuah rasa dan kerinduan yang teramat mendalam. Sorot matanya yang teduh selalu membuat Nesya larut dalam ketenangan. Rangkaian kata yang terucap dari bibir, selalu memotivasi untuk terus maju melangkah.
Tiba-tiba lamunannya buyar ketika terdengar suara “sesaat lagi kereta Anda akan tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta,” tidak terasa ia sebentar lagi sampai tujuan. Tak lama kemudian, decitan kereta terdengar, kereta pun berhenti dan dilangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Dari jauh terlihat dua orang yang sangat ia rindukan, langkahnya pun semakin dipercepat, sesampainya di hadapan dua orang tersebut tangannya diulurkan sebagai bentuk rasa hormat. Mereka pun saling berpelukan untuk melepas rindu serta mengucap syukur.
"Umi, Abi, Nesya kangen. Bukankah Nesya menepati janji untuk segera pulang?" tanya Nesya, perempuan berjilbab merah hati dengan riang.
"Tentu saja kali ini kau tepati, sebelumnya kau sibuk dengan kegiatanmu sehingga jarang pulang, membuat Abi dan Umi rindu ocehanmu. Bukankah begitu Umi?" tanya Abi pada Umi sambil mencubit pipi putri kesayangannya tersebut.
"Tentu saja bi, anak ini jarang pulang. Sengaja membuat Umi rindu," ucap Umi dengan mengelus lembut pucuk kepala Nesya.
Mereka bertiga pun saling bersendau gurau, dan berjalan menuju mobil untuk melakukan perjalanan pulang. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya mereka sampai di rumah. Dengan cepat, Nesya mengemasi barang-barangnya dan membawanya ke dalam rumah sambil berlari karena hujan. Ia pun dengan gembira mengucap salam dan memanggil nama kakaknya yang saat ini sudah bergelar doktor.
Tubuhnya pun ditubrukan dengan tubuh tinggi kekar milik kakaknya dan dipeluknya dengan erat. "Hei pak doktor, bagaimana kabarmu? Aku tau kau pasti rindu denganku," ucap
Nesya dengan jahil, sambil diangkat kepalanya untuk melihat ekspresi kakaknya.
"Adik nakalku ini udah pulang rupanya, tenang saja kabarku baik. Dan, tolong lepaskan pelukanmu. Kau memelukku terlalu erat, sampai aku kesulitan bernafas," ucap Reyhan sambil menyentil dahi Nesya dan mendorong bahunya pelan.
Seketika Nesya pun mengerucutkan bibirnya karena kesal. Setelah itu, mereka terlibat perdebatan kecil. Abi dan Umi yang melihatnya pun geleng-geleng kepala.
-------------
Malam harinya, Nesya duduk di balkon. Wajahnya mendung lalu dipejamkan matanya sejenak sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Hawa dingin pun merasuki kulitnya, tetapi ia masih tetap setia duduk dan tidak ingin beranjak pergi.
Tangan kanannya memegang foto seseorang yang selama ini memenuhi hatinya. Diusapnya foto itu perlahan, dan ia berkata lirih. "Hatiku masih sama, hanya untukmu. Namun, kau pergi meninggalkanku."
Air mata yang sedari tadi ia tahan pun akhirnya lolos tanpa permisi, kesedihannya sangat mendalam mengingat seseorang yang berada di foto tersebut. Pundaknya tiba-tiba ditepuk seseorang dengan lembut yang membuatnya kaget dan menoleh, ternyata seseorang itu adalah kakaknya.
"Kakak ingin kau melupakan masa lalumu, dan kembalilah membuka hati untuk orang lain. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan, kamu harus berusaha mengikhlaskannya. Karena kalian tidak ditakdirkan untuk bersama," ucap Reyhan sambil duduk di sebelah Nesya, adiknya.
"Nesya tahu harus mengikhlaskannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kenangan indah bersamanya," ucap Nesya dengan menerawang jauh ke belakang.
--------------
Terekam jelas ingatan tiga tahun silam, Nesya dan Fahri memiliki kedekatan khusus. Keduanya saling mengungkapkan rasa di hati, hingga sepakat berkomitmen untuk menjaga hati.
"Sya, kau tahu hati ini sudah jatuh-sejatuhnya. Aku harap kau pun sama," ucap Fahri pada Nesya dengan tulus.
"Hatiku pun begitu sama halnya," jawab Nesya dengan malu.
Kedua insan tersebut pun saling beradu pandang dan melemparkan senyuman. “ Aku akan menunggumu untuk menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu, mari saling menjaga hati satu sama lain, hingga saatnya tiba kita bersama-sama menjalani kehidupan,” ucap fahri.
“Tanpa kau pinta, hati ini akan selalu ku jaga dan hanya tertuju padamu,”ucap Nesya pelan dengan senyuman.
"Semoga kita ditakdirkan untuk bersama, saling melengkapi satu sama lain hingga dapat berbagi suka maupun duka," ucap Fahri dengan senyuman.
Tidak dapat dipungkiri banyak sekali rencana yang dirancang, dan keduanya berharap bahwa semesta akan merestui. Mereka pun akhirnya harus berpisah sementara waktu karena menempuh pendidikan di tempat yang berbeda. Hari pun berganti bulan, meski terpisah jarak, keduanya saling memberi kabar dan saling memotivasi di tengah kesibukan masing-masing.
-------------
Melihat adiknya yang larut dalam lamunan, Reyhan pun mengusap kepala adiknya dengan perlahan sambil tersenyum. " Adik kakak ini jangan terus larut dalam kesedihan, ayo bangkit. Tunjukkan padanya bahwa kamu adalah perempuan yang hebat," ucap Reyhan
Seketika bibirnya Nesya melengkung. Ya, Nesya harus menunjukkan bahwa ia adalah perempuan yang hebat dan mampu menunjukkan eksistensinya, sesuai janjinya pada seseorang tersebut yang kini telah meninggalkannya.
Reyhan pun berusaha menghibur adiknya, keduanya kemudian saling melempar canda tawa. Beruntungnya Nesya, meski ia dan kakaknya selalu berdebat kecil. Namun, kakaknya mampu menjadi pelipur lara.
Reyhan pun kemudian beranjak dari kursi dan meminta Neysa untuk masuk ke kamar karena hari semakin larut malam. Nesya pun menuruti perintah kakaknya, keduanya berjalan beriringan menuju rumah.
-------------
Suara adzan subuh pun berkumandang, membuat keluarga kecil tersebut terbangun dari tidurnya dan melaksanakan kewajibannya sebagai Umat Muslim. Setelah itu, larut pada aktivitas masing-masing.
Lambat laun, matahari pun mulai menampakkan sinarnya. Hari ini Nesya berencana pergi ke suatu tempat di mana hatinya masih tertinggal untuk seseorang. Ia bersiap-siap dan tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi keluar.
Motor Honda kesayangannya pun segera dinyalakan. Dengan helm bogonya, Nesya siap melaju ke jalan raya. Sesaat setelah itu, ia berhenti sejenak di salah satu toko bunga "Flowrist."
Motornya pun diparkirkan, dan Nesya masuk ke dalam. Sesampainya di dalam Nesya disambut oleh pria paruh baya penjual bunga, namanya Paman Tio. Nesya dan Paman Tio sudah kenal lama karena Paman Tio adalah salah satu teman Abinya. Sewaktu kecil, ia sering sekali bermain di toko bunga ini bersama anak perempuan Paman Tio, yang juga teman Nesya.
"Hallo Nesya, kapan kau pulang?" ucap Paman Tio dengan sumringah sambil menghampiri Nesya.
Nesya pun juga menyambut Paman Tio sedemikian rupa. Senyumnya tidak berhenti mengembang. "Halo paman, aku pulang lusa. Bagaimana kabarmu, Paman?" ucap Nesya sambil menyalami tangan Paman Tio.
"Kabar paman baik, Nesya. Bisa kau lihat paman sehat dan bugar," ucap Paman Tio sambil tertawa.
Mereka berdua pun akhirnya berbincang-bincang cukup lama sambil melepas rindu. Hingga akhirnya Nesya berkata "Paman, aku kesini selain ingin melepas rindu denganmu, juga ingin membeli bunga mawar putihmu yang cantik," ucap Nesya sambil menunjukkan deretan giginya.
"Oh baiklah, sebentar aku siapkan untukmu bunga yang spesial," ucap Paman Tio dengan gembira.
Bunga mawar putih pun diberikan kepada Nesya secara gratis karena Paman Tio sangat menyayangi Nesya seperti anaknya sendiri.
"Ambillah Nesya, untukmu gratis. Ini bunga mawar tercantik untuk seorang yang cantik pula," ucap Paman Tio sambil tersenyum jahil.
Nesya pun tertawa, hingga akhirnya ia mengucapkan terima kasih kepada Paman Tio dan berpamitan untuk pergi menuju ke suatu tempat.
Motornya pun dilajukan kembali, hingga kemudian ia sampai ke tempat yang ingin dikunjungi. Dengan sigap ia segera turun dari motornya, langkah kakinya perlahan menuju ke sebuah tempat dimana seseorang yang ia rindukan kini tinggal.
Sesampainya di tempat, Nesya dihadapkan pada sebuah nama "Muhammad Alfahri," ia kemudian berjongkok dan mengusap perlahan nisan di hadapannya.
"Halo ri, aku di sini mengunjungimu. Lihatlah aku membawakanmu bunga yang sangat indah," ucap Nesya sambil tersenyum tipis dan meletakkan bunga mawar putih tersebut di nisan.
Tidak pernah terbayangkan bagi Nesya. Setahun lalu, Ia mendapat kabar duka, bahwa Fahri telah tiada akibat kecelakaan motor. Sesaat sebelum meninggal, kondisi Fahri sempat kritis. Mendengar kabar tersebut, tubuh Neysa seakan tak mampu berdiri, lidahnya kelu tak percaya akan kabar tersebut. Air matanya terus membasahi pipi dan tubuhnya meluruh ke lantai, hingga kemudian Ia memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta.
Betapa pilunya Nesya saat itu, melihat Fahri terbujur kaku. Ia tidak bisa lagi melihat senyum Fahri, Ia tidak bisa lagi mendengar suara Fahri.
Tangannya bergerak membersihkan nisan dari dedaunan kering. Di usapnya kembali nisan yang bertuliskan nama seseorang yang saat ini masih mengisi hatinya dengan perlahan. Senyumnya mengembang, mengingat Fahri.
“Ingatlah, aku akan selalu di sampingmu untuk menjaga dan melindungimu,” ucapan Fahri yang masih terngiang-ngiang dalam pikiran Nesya.
Dipejamkan matanya mengingat kenangan bersama Fahri, Nesya pun tertawa lirih. Ia meluapkan perasaannya dan bercerita banyak di depan nisan Fahri. Tidak Ia sangka, bahwa Fahri mengukir kenangan manis sekaligus pahit di hidupnya. Fahri yang dulu bagaikan cahaya penerang untuknya, namun kini cahaya tersebut padam. Rencana yang Ia rancang bersama Fahri pun seketika sirna. Kehilangan Fahri adalah patah hati terhebat baginya.
"Semoga kau tenang disana ya ri, doaku selalu mengiringimu," ucap Nesya sambil tersenyum tegar.
Nesya pun akhirnya beranjak pergi, sambil menahan sesak di dada. Nesya bertekad bahwa dirinya harus bangkit dari kesedihan, biarlah Ia mengingat Fahri menjadi seseorang yang telah mengukir kenangan manis dihatinya. Ia akan menjadikan semangat Fahri sebagai motivasinya untuk melangkah kedepan, meski raga tidak lagi bisa untuk bersama.
Penulis : Dina Marga H
Editor : Sindhie Ananda Dwianti
TAG: #karya-sastra #keluarga #kisah #romansa